Oleh: Tri Hastuti Nur R.*
Sejak awal berdirinya, negara Indonesia dibangun dengan semangat kebhinekaan karena realitas perbedaan agama, suku, ras, status sosial ekonomi, kondisi geografis. Meskipun berangkat dari keberagaman, negara ini memiliki cita-cita sama, yaitu kemerdekaan Indonesia, kemajuan, dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali.
Namun dalam perkembangannya, 77 tahun sejak Indonesia merdeka, pembangunan Indonesia belum mencapai cita-cita yang diharapkan bahwa manfaat pembangunan dapat dirasakan secara merata oleh rakyat Indonesia. Masih banyak kelompok yang belum dapat menikmati hasil pembangunan baik kelompok perempuan, remaja, kelompok penyandang disabilitas, masyarakat di daerah terpencil, kepulauan, perkebunan, masyarakat adat, dan kelompok marginal lainnya.
Angka kemiskinan di Indonesia meskipun sudah turun, masih cukup tinggi yaitu 9,36 persen; dan angka kemiskinan ekstrem 1,74 di akhir tahun 2023. Kesenjangan dalam bidang ekonomi ini menunjukkan bahwa belum semua rakyat Indonesia terpenuhi hak dasarnya sebagai warga negara. Demikian juga akses pada layanan kesehatan, masih tingginya angka kematian ibu melahirkan, angka kematian bayi, kasus stunting, kehamilan tidak dikehendaki, kematian perempuan karena kanker serviks dan payudara menunjukkan bahwa pembangunan dalam bidang kesehatan belum memperhatikan pengarusutamaan gender; dan juga perhatian pada kelompok remaja dan anak-anak.
Masih tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak semakin menguatkan argumentasi ini dan pentingnya pengarusutamaan gender dalam pembangunan. Masih rendahnya angka partisipasi perempuan dalam proses perencanaan pembangunan, masih minimnya perempuan yang menjadi anggota legislatif dan pemimpin lokal (kepala desa, BPD, camat dan bupati) semakin menegaskan bahwa pembangunan harus melibatkan semua kelompok dalam masyarakat termasuk kelompok perempuan.
Jumlah penyandang disabilitas di Indonesia tahun 2023 mencapai angka 22,97 juta (8,%%) dari jumlah penduduk di Indonesia dengan jumlah penyandang disabilitas terbanyak adalah usia lanjut. Namun penyandang disabilitas masih tertinggal jauh dalam menerima manfaat pembangunan. Sebagai contoh banyak penyandang disabilitas yang tidak dapat mengakses pekerjaan meskipun sudah ada mandat dari UU bahwa pemerintah harus menyediakan akses pekerjaan minimal 2% di pemerintahan dan minimal 1% di sektor swasta. Demikian juga akses pendidikan, masih banyak penyandang disabilitas yang tidak memiliki akses pendidikan. Dalam bidang kesehatan, penyandang disabilitas dengan keragaman disabilitasnya tidak jarang yang kesulitan mendapatkan layanan kesehatan.
Beberapa gambaran di atas merupakan potret bahwa pembangunan di Indonesia belum sepenuhnya menerapkan prinsip inklusif dengan memperhatikan GEDSI. GEDSI (gender, disabilitas dan sosial inklusi) merupakan salah satu strategi, pendekatan, dan proses dalam mewujudkan pembangunan yang merata, sekaligus proses pembangunan yang melibatkan semua pihak.
Partisipasi bermakna dalam proses pembangunan adalah kunci dalam implementasi GEDSI. Pembangunan dengan pendekatan GEDSI bertujuan untuk mengatasi diskriminasi, marginalisasi terhadap kelompok tertentu dalam masyarakat dikarenakan perbedaan identitasnya, seperti jenis kelamin, disabilitas, usia, agama, suku, ras, status sosial ekonomi, maupun lokasi geografis. Pendekatan GEDSI ini ingin memastikan bahwa semua warga negara tanpa kecuali memiliki hak, akses, pengakuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan sekaligus mendapatkan manfaat dari pembangunan.
Lalu bagaimana mengarusutamakan GEDSI dalam organisasi? ‘Aisyiyah sebagai organisasi dengan nilai Islam Berkemajuan, merujuk pada Q.s. al-Hujurat ayat 13 yang menyatakan bahwa “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Baca Juga: Kemampuan Bertahan dan Berlari
Ayat ini menegaskan bahwa penciptaan manusia di dunia sangat beragam latar belakang; dan perbedaan ini adalah sunatullah yang harus dihargai. Kita tidak boleh memberikan perlakuan diskriminatif kepada orang dikarenakan perbedaan identitasnya. Demikian halnya dengan Q.s. al-Anbiya ayat 107 bahwa Islam hadir sebagai agama rahmatan lil alamin. Agama yang memberikan kebaikan, kenyamanan, keselamatan dan kedamaian bagi seluruh alam. Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai universal, dinamis, humanis, kontekstual dan mampu menjawab berbagai persoalan kemanusiaan.
Dengan landasan nilai inilah pimpinan ‘Aisyiyah berdakwah, menggerakkan organisasi untuk menjawab berbagai kompleksitas masalah dan tantangan dakwah yang semakin berat. GEDSI menjadi budaya organisasi sebagai fondasi terjadinya perubahan. Organisasi menjadikan kesetaraan gender sebagai bagian visi misi organisasi serta perspektif dalam kerja-kerja organisasi (program dan kegiatan).
Dalam hal ini, ‘Aisyiyah sejak awal berdirinya telah menerapkan nilai-nilai kesetaraan gender sebagai nilai organisasi dan sekaligus misi yang diemban; dan selalu dikuatkan dalam dokumen organisasi, misalnya dituangkan dalam Pokok-Pokok Pikiran ‘Aisyiyah Abad Kedua dan Risalah Perempuan Berkemajuan di abad kedua ini. Demikian halnya dengan nilai-nilai penghargaan terhadap penyandang disabilitas, dalam program-program Muktamar maupun dalam Risalah Perempuan Berkemajuan, secara eksplisit telah dijabarkan dan menjadi program yang dimandatkan dalam muktamar untuk dilaksanakan oleh pimpinan organisasi dari pusat sampai dengan ranting sesuai dengan konteks problem yang dihadapi.
Lalu bagaimana dengan kelompok marginal yang seringkali dieksklusi dalam proses pembangunan negara? Dalam berbagai dokumen program, ‘Aisyiyah telah menuangkan komitmennya pada kelompok-kelompok marginal (dhuafa mustadhafin) sebagai penerimaan manfaat utama program dakwah organisasi.
Mandat terkait implementasi pendekatan GEDSI yang telah tertuang dalam dokumen organisasi hasil muktamar ini, sebaiknya dipahami secara komprehensif oleh para pimpinan organisasi untuk dilaksanakan. Pimpinan organisasi memperdalam dan memahami perspektif ini dalam kerja-kerjanya mengawal organisasi dan amal usaha yang menjadi tanggungjawab dan amanahnya; dan menjadikannya sebagai budaya organisasi. Nilai-nilai penghargaan terhadap perempuan, komitmen untuk memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender dalam kerja-kerja organisasi harus terinternalisasi dalam diri pribadi para pimpinan organisasi.
Termasuk dalam hal ini pemahaman atas kerangka hukum misalnya CEDAW (Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention of the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) dan juga SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan). Demikian halnya dengan pemahaman atas hak-hak penyandang disabilitas dan juga kelompok marginal lainnya baik dari sisi perspektif maupun kerangka hukumnya.
Dalam menerapkan pendekatan GEDSI di organisasi, proses monitoring dan dokumentasi menjadi penting. Monitoring ini menjadi langkah yang penting untuk merefleksikan apakah kerja-kerja kita sudah menggunakan prinsip inklusifitas dan juga sudah merangkul kelompok-kelompok marginal sebagai penerima manfaat.
Tentu secara kelembagaan tidak harus rigid dalam pelaksanaannya, misalnya bekerja untuk kelompok disabilitas tidak harus selalu majelis kesejahteraan sosial namun majelis ekonomi juga penting jika terkait dengan peningkatan akses ekonomi, majelis PAUD dan pendidikan juga penting jika menyangkut akses pendidikan; dan sebagainya. Jadi GEDSI bukan dipahami secara sektoral namun GEDSI adalah proses, pendekatan, dan sekaligus adalah tujuan yang harus dicapai untuk mewujudkan prinsip no one left behind (tak seorang pun boleh ditinggalkan). [5/24]
*Sekretaris Umum PP ‘Aisyiyah
2 Comments