Oleh: Elli Nur Hayati*
Belakangan kita banyak mendengar dan melihat, baik secara langsung maupun tidak langsung, perundungan yang dilakukan terhadap seseorang yang posisinya lemah sehingga dampaknya sungguh berat bagi korban perundungan tersebut. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana anak-anak sekolah merundung kawan sekelas mereka, baik yang laki-laki (siswa) maupun yang perempuan (siswi), dan tindakan tersebut direkam lalu menjadi viral.
Dalam salah satu video rekaman perundungan yang beredar di sebuah platform sosial media, terlihat perilaku kasar dan jahat yang dilakukan oleh para siswa, baik laki-laki maupun perempuan, terhadap seorang siswi yang diam tak berdaya. Padahal dari pakaian yang dikenakan, netizen dapat mengenali identitas agama para pelaku perundungan itu yang tentunya melarang perundungan.
Dengan adanya berbagai platform sosial media yang memungkinkan hal-hal buruk menjadi mudah diviralkan ke seluruh dunia, fenomena perundungan sungguh mengkhawatirkan sebab dapat menjadi semacam “ide” atau “inspirasi” bagi mereka yang menonton. Karena merasa memperoleh ide, mereka yang menonton dapat meniru dan melanjutkan pergaulan sosial dengan cara-cara yang tidak sehat tersebut. Ini tentu berbahaya untuk kalangan anak-anak kita.
Apa Pengertian Perundungan?
Perundungan atau bullying adalah perilaku agresif (bersifat menyerang) yang tidak menyenangkan, baik secara verbal, non-verbal, fisik, ataupun sosial, di dunia nyata maupun maya, yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada (biasanya) seseorang. Tindakan atau perilaku perundungan adalah perilaku yang dapat menimbulkan efek negatif bagi orang yang menjadi sasaran.
Ada juga pendapat lain yang menyebutkan bahwa perundungan adalah tindakan yang bersifat repetitif (berulang) dan merupakan perwujudan dominasi seseorang terhadap orang lainnya yang dianggap lebih “rendah” atau “lemah” dibanding si pelaku.
Riset menunjukkan bahwa anak laki-laki lebih banyak menjadi pelaku dan korban perundungan dibanding anak perempuan. Anak laki-laki lebih banyak melakukan perundungan fisik. Sementara itu, perundungan anak perempuan cenderung bersifat emosional psikologis seperti sikap sinis atau menyebarkan gosip berupa informasi atau berita yang tidak benar.
Perundungan mayoritas terjadi di sekolah, baik tingkat dasar (SD), menengah (SMP) maupun atas (SMA). Hal ini karena sekolah adalah tempat berkumpul sehingga di dalamnya terjadi interaksi yang intens antar anak dengan berbagai profil demografis maupun kepribadian. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat adanya temuan kasus perundungan yang semakin meningkat pada kisaran 30-60 kasus per tahun. Pada tahun 2022, KPAI mencatat bahwa terdapat 4.124 aduan kasus perundungan anak. Informasi lain dari CNN Indonesia mengabarkan bahwa sebanyak 251 anak berusia 6-12 tahun yang menjadi korban kekerasan di sekolah pada periode Januari-April 2023 (https://www.cnnindonesia.com/ nasional/20230529171523-20- 955430/251-anak-usia-sd-jadi-korban- kekerasan-di-sekolah-sepanjang-2023).
Tentu kita memahami bahwa data-data tersebut hanyalah hasil aduan yang muncul di permukaan. Fakta yang sesungguhnya di lapangan sangat mungkin jauh lebih banyak dialami anak-anak kita, baik sebagai korban maupun pelaku perundungan.
Apa Saja Efek Perundungan?
Dampak perbuatan tak menyenangkan yang bersifat menyerang dan merendahkan ini tidak hanya dialami oleh mereka yang menjadi sasaran perundungan (korban), tetapi juga oleh mereka yang menyaksikan kejadiannya (bystander). Hal ini karena perundungan, khususnya di dunia nyata, seringkali terjadi di depan banyak orang sehingga kejadiannya disaksikan banyak pasang mata. Namun ada fakta menarik, riset menunjukkan bahwa anak perempuan lebih mudah bersimpati dan memberikan dukungan kepada anak perempuan maupun laki-laki yang menjadi korban perundungan. Hal sebaliknya terjadi pada anak laki-laki.
Mereka yang mengalami perundungan langsung dapat mengalami dampak seketika, baik secara fisik, jika perundungannya bersifat menyerang atau menyakiti secara fisik, maupun secara emosional seperti timbul rasa malu, terhina, sakit hati, jengkel, ataupun marah. Dampak jangka menengah dan jangka panjang biasanya bersifat psikologis seperti menjadi takut ke sekolah, sering membolos, kesulitan tidur, kehilangan rasa percaya diri, menutup diri dari pergaulan, kesulitan konsentrasi belajar, hingga trauma dengan kegiatan bersekolah.
Banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa anaknya telah mengalami perundungan di sekolah. Karena anak tidak menceritakan kejadian perundungan, para orang tua justru bersikap keras terhadap anaknya yang menunjukkan perubahan perilaku seperti menjadi lebih pendiam, mengunci diri di kamar, menjadi lebih pemarah, mudah tersinggung, atau bahkan menolak berangkat ke sekolah.
Sementara itu, mereka yang menyaksikan kejadian perundungan (bystanders) dan melihat bagaimana kawan yang menjadi sasaran tindak perundungan menjadi ketakutan, menangis, menjerit, dan mengekspresikan emosi negatif lainnya, akan memiliki ingatan akan kejadian tersebut yang tidak mudah hilang dan bahkan mungkin akan terkenang sepanjang hayatnya.
Baca Juga: Peacesantren Welas Asih: Selalu Happy Tanpa Bully
Beberapa riset tentang dampaka perundungan terhadap mereka yang menyaksikan kejadian perundungan menunjukkan bahwa hal itu dapat memunculkan kecemasan, perasaan tidak aman, serta kemarahan. Akan tetapi, mereka tidak tahu harus bagaimana sehingga meminta bantuan dari guru, orang tua, atau profesional kesehatan mental.
Faktor Melakukan Perundungan
Beberapa riset menemukan bahwa mereka yang memiliki pengalaman menjadi korban perundungan pada masa lalu sangat besar peluangnya untuk menjadi pelaku di kemudian hari. Selain itu, pelaku biasanya berasal dari keluarga dengan orang tua yang tidak memiliki kehangatan hubungan dan komunikasi.
Faktor selanjutnya adalah adanya penolakan figur orang tua terhadap anak. Anak yang “ditolak” oleh ayahnya lebih besar peluangnya untuk menjadi pelaku. Sementara itu, penolakan ibu memperbesar peluang anak menjadi pelaku perundungan non fisik.
Faktor berikutnya yang ditemukan dari hasil riset adalah bahwa para perundung merupakan anak yang tidak mendapatkan pendidikan empati, rasa kasih, serta tolong-menolong terhadap sesama dalam keluarga. Temuan selanjutnya dari hasil riset adalah bahwa pelaku perundungan merupakan anak-anak yang sering terpapar dengan tindak kekerasan seperti penghukuman fisik serta pelecehan dari orang dewasa di sekitarnya, atau dari media elektronik, termasuk televisi.
Anak-anak penggemar film kartun dengan konten action atau perkelahian lebih berpotensi menjadi pelaku dibandingkan anak-anak penggemar film kartun komedi. Dengan demikian, pelaku perundungan bukan disebabkan karena faktor kelas sosial ekonomi, suku, ras, maupun agama, namun semata-mata efek dari situasi psikososial anak pada masa tumbuh kembangnya dalam keluarga dan lingkungan.
Strategi Pengasuhan
Membaca hasil berbagai riset di seluruh dunia, tampak jelas bahwa pelaku perundungan lebih banyak dilatarbelakangi oleh adanya problem pada tumbuh kembang psikososial anak dalam keluarga. Oleh karenanya, selain berbagai program pencegahan perundungan dari sekolah, para orang tua juga wajib mendidik anak agar mereka memiliki bekal kepribadian dan kemampuan psikososial untuk mengendalikan dirinya sendiri ketika menghadapi tantangan kehidupan. Bentuk pendidikan tersebut antara lain sebagai berikut:
Pertama, didiklah anak untuk mengerti akhlak dan perilaku yang baik dan buruk, termasuk di dalamnya perilaku yang dikenal sebagai perundungan, pelecehan, maupun kekerasan seksual. Begitu mereka tahu apa itu perundungan, kekerasan seksual, dan pelecehan, anak-anak dapat mengidentifikasi dengan lebih mudah perilaku yang ia lihat di lingkungannya, apakah termasuk dalam tindakan yang baik atau buruk serta boleh dicontoh atau tidak.
Kedua, seringlah berkomunikasi secara terbuka dan empatik kepada anak. Semakin sering orang tua berbicara dengan anak-anaknya, semakin terbuka peluang anak untuk bercerita tentang pengalaman-pengalaman yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan di sekolah atau ketika bersama teman-temannya. Ketika mereka bercerita bahwa mereka mendapatkan perundungan, dengarkanlah secara empatik. Dengan demikian, mereka akan bercerita secara terbuka karena Anda dirasa “dapat memahami perasaan mereka” sehingga anak merasa terlindungi oleh orang tuanya, bukan malah disalahkan atau diabaikan.
Ketiga, jadilah role model atau teladan bagi buah hati Anda. Apa yang dilihat, didengarkan, atau dialami anak di rumah akan menjadi acuan mereka dalam bergaul dengan teman- temannya. Orang tua (ayah dan ibu) adalah role model pertama dan utama anak. Oleh karena itu, berkata dan bertindaklah baik agar anak-anak juga mencontoh kebaikan tersebut. Jika orang tua mendidik anak secara keras, menggunakan bentuk hukuman fisik, atau memperlihatkan perteng karan kedua orangtuanya, anak dapat mencontoh tindakan tersebut dan mengaplikasikannya kepada teman-temannya di sekolah. Demikian sebaliknya, jika anak melihat perilaku orang tua yang santun, saling menyayangi, dan saling mendukung, anak juga akan terstimulus untuk mengaplikasikan cara tersebut dalam pergaulan sosialnya.
Keempat, bantulah anak membangun kepercayaan diri. Dorong anak Anda untuk mengikuti berbagai kegiatan ekstrakurikuler yang sesuai dengan minat dan bakat anak. Hal itu baik bagi anak untuk mengenal kekuatan dan kelemahan dirinya, serta melatih interaksi sosial yang positif dengan lingkungan.
Kelima, ajarkanlah anak bagaimana mengelola rasa marah. Mengenali perasaan adalah hal sederhana yang sering terlupakan untuk diajarkan orang tua. Anak harus mampu mengidentifikasi akan apa yang ia rasakan dan pikirkan. Dengan demikian, mereka memahami tindakan apa yang harus dilakukan secara memadai serta dapat mengendalikan perasaannya agar tidak muncul dalam bentuk perilaku yang negatif.
Keenam, ajarkanlah anak bagaimana menyelesaikan masalah (problem solving). Problem solving adalah salah satu ketrampilan hidup yang paling dasar bagi manusia. Mengajarkan bagaimana membuat prioritas dalam hidup sehari-hari dan bagaimana mempertimbangkan untung ruginya dalam memilih. keputusan satu dan lainnya merupakan kiat sederhana dalam melakukan problem solving. Ajak anak untuk berpikir dan bertindak berdasarkan pertimbangan-pertimbangan baik dan buruk, untung dan rugi, atau konseksuensi dari suatu pilihan perbuatan. Oleh karena itu, anak akan tumbuh menjadi manusia yang matang dan bijak dalam bertindak.
Terakhir, tingatkan literasi orang tua dalam bidang teknologi informasi dan media sosial. Hal ini dimaksudkan agar orang tua dapat memahami pembicaraan anak terkait masalah-masalah terkini yang ada dalam dunia sosial, sekaligus memahami bagaimana menggunakan terknologi komunikasi terkini agar dapat memantau penggunaan alat-alat tersebut pada anak.
Kiat-kiat di atas adalah bentuk-bentuk usaha yang bisa dilakukan orang tua untuk mencegah agar anak tidak menjadi pelaku perundungan. Meskipun demikian, tetap harus diingat bahwa selain berbagai usaha tersebut, orang tua tetap harus selalu memohon kepada Allah subhanahu wata’ala agar diri dan keluarga selamat di dunia dan akhirat serta terjaga dari api neraka.
*PPA MKS, F. Psikologi UAD – Yogyakarta