Oleh: Elli Nur Hayati*
Dewasa ini, kehidupan kita sudah tidak dapat terhindarkan lagi dari berinteraksi dengan internet (Internet of Things/ IOT) dan sistem digital yang dikendalikan oleh sistem kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Sistem kecerdasan buatan itu telah eksis dalam kehidupan kita sehari-hari karena telah begitu banyak dilibatkan dengan dalih untuk memudahkan kehidupan manusia.
Faktanya, memang banyak tugas keseharian manusia telah dapat dibantu untuk bisa lebih cepat, lebih banyak, lebih jelas, lebih teliti, lebih bagus, dan berbagai lebih yang lain. Berkirim surat sudah tidak memerlukan kertas dan perangko. Bahkan, surat tidak perlu memakan berhari- -hari untuk sampai kepada si penerima.
Sekarang ini, surat sudah dapat dikirim secara online melalui media intenet. Oleh karena itu, surat elektronik hanya memerlukan beberapa detik saja untuk sampai kepada si penerima. Gambar foto yang kurang bagus sudah tidak perlu dikhawatirkan lagi akan membuat kecewa pihak yang diambil gambarnya. Hal ini dikarenakan sistem cerdas sudah dapat mengedit foto sehingga menghasilkan gambar yang sempurna dan jauh lebih baik dari fakta asli orang-orang yang diambil gambarnya. Sistem cerdas juga telah memung- -kinkan kita untuk selalu mendapatkan berita terkini kapanpun dan di manapun.
Kita juga dapat secara real time menyaksikan pertandingan olah raga ataupun seminar yang berlangsung di kota bahkan negara atau benua yang berbeda. Informasi yang diperlukan menjadi mudah diakses karena hampir semua informasi telah tersedia di dunia maya melalui berbagai platform. Di sinilah problematika sosial dan bidang lainnya mulai bermunculan melanda masyarakat kita hingga ke tingkat mikro, yaitu di tingkat rumah tangga.
Kekerasan Berbasis Gender pada Anak
Kekerasan terhadap anak (KTA) sudah bukan istilah yang asing bagi kita. Problematika ini telah menjadi perhatian serius negara karena telah diamanatkan melalui berbagai pintu kementerian berupa program pencegahan dan penindakan. Istilah KTA itu jika ditambahkan dengan kata “berbasis gender” menjadi KBGA (kekerasan berbasis gender terhadap anak) dan mengacu pada gender tertentu, yaitu anak perempuan. Mengapa demikian?
Ini karena secara umum, konstruksi gender memposisikan perempuan menjadi pihak yang lebih subordinatif atau inferior daripada laki-laki. Dengan demikian, kekerasan berbasis gender terhadap anak perempuan mengandung pengertian bahwa kekerasan yang dilakukan terhadap anak adalah karena asumsi gendernya. Misalnya, anak perempuan dicolek bagian tubuh tertentu karena ia dianggap memiliki tubuh yang bongsor dan berisi. Colekan tersebut adalah sebuah tindakan tidak senonoh yang sangat mungkin lebih jarang terjadi pada anak laki-laki yang memiliki postur tubuh sama.
Anak perempuan lebih biasa mendapat teguran lebih keras jika tidak sopan santun dalam berperilaku. Boleh jadi, anak perempuan juga lebih dibatasi pergaulan dan kegiatannya di luar rumah, dicukupkan sekolahnya tidak sampai ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena diasumsikan kelak perempuan hanya akan tinggal di rumah serta tidak perlu bekerja mencari nafkah, dan sebagainya. Data dari SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak), menunjukkan ada lebih dari 6000 anak perempuan mengalami kekerasan berbasis gender. Sementara itu, angka yang terjadi pada anak laki-laki berada pada 1000 lebih.
Ini menunjukkan anak perempuan lebih rentan mengalami KBGA daripada anak laki-laki. Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah bahwa KBGA tidak hanya terjadi dalam pergaulan sehari-hari (offline) tetapi juga terjadi melalui gawai (online) yang sudah menjadi alat komunikasi semua orang tanpa mengenal usia. Salah satu bentuk KBGA yang terjadi secara online adalah cyber bullying (perundungan siber) dan cyber harassment (pelecehan siber). Kedua bentuk kekerasan tersebut terjadi bukan hanya di dunia nyata sehari-hari melainkan di dunia maya.
Dari sebuah pusat informasi diperoleh keterangan bahwa platform media sosial yang sering dipergunakan untuk aksi perundungan adalah WhatsApp, Facebook, dan Instagram. Setidaknya, ada 5 bentuk perundungan dan pelecehan berbasis siber ini. Bentuk pertama adalah flaming yakni pesan teks yang berisi kata-kata kasar penuh amarah, kotor, dan jorok. Berikutnya ada harrasment atau pelecehan. Bentuk ini berupa pesan berupa narasi atau gambar tak senonoh yang mengganggu pada pada surat elektronik atau e-mail, short message service (SMS), maupun pesan teks tak senonoh di jejaring sosial lainnya yang berulang. Akibatnya, orang yang menerima merasa tidak nyaman dan terganggu.
Bentuk ketiga adalah denigration (fitnah), yaitu pesan yang berisi ujaran keburukan seseorang yang diviralkan di dunia maya dengan maksud merusak reputasi dan nama baik seseorang (character assassination). Selanjutnya, impersonation (peniruan), yaitu seseorang mengunakan akun palsu dan berpura-pura menjadi orang lain agar tak dikenali jati dirinya. Kemudian, orang tersebut mengirimkan pesan-pesan atau status yang tidak baik kepada seseorang. Terakhir, outing, yaitu tindakan memviralkan rahasia orang lain, atau foto-foto pribadi orang lain, dengan maksud mengobral keburukan atau privasi orang lain (doxing).
Baca Juga: Literasi Keuangan Anak: Menyiapkan Generasi Bijak dalam Mengelola Uang
Kelima macam bentuk perundungan dan pelecehan siber inilah yang sekarang banyak menjadi problematika sosial bagi para pengguna media sosial. Sudah banyak berita yang kita baca tentang bagaimana anak atau remaja putri yang dikabarkan telah menjadi korban pelecehan siber dari laki-laki dewasa yang mereka kenal dari media sosial. Interaksi yang terjadi akhirnya menjebak mereka ke dalam perbuatan tak senonoh tanpa mereka sadari. Hal ini disebabkan oleh keluguan mereka dan juga karena kepandaian si laki-laki dalam membujuk dan merayu.
Pengasuhan Era Digital
Di era digital sekarang ini, tak terhindarkan lagi bahwa tantangan menjadi orang tua dan mengasuh anak-anak tidak sama persis dengan yang terjadi pada era tahun 1980 atau 1990-an. Menjadi orang tua Gen Z dan Gen Alfa yang dilahirkan pada era digital menuntut pola pengasuhan yang adaptif dengan zamannya. Berikut ini adalah tips melek dan bijak digital dalam mengasuh buah hati.
Pertama, orang tua harus melek digital dan friendly dengan paltform dunia maya, setidaknya media sosial. Jika friendly dengan dunia digital, orang tua menjadi tahu apa dan bagaimana memberikan saran dan arahan kepada anakanaknya agar bijak bermain gawai dan berselancar di media sosial. Sebaiknya, para orang tua rajin mengikuti berita dan edukasi seputar dunia digital serta penyalahgunaan penggunaan gawai yang banyak terjadi di masyarakat.
Kedua, orang tua menjadi role model penggunaan gawai. Hindari pelanggaran terhadap aturan yang telah ditetapkan orang tua kepada anak-anaknya. Orang tua adalah panutan maka ketika aturan telah dibuat, orang tua harus konsisten mengikuti aturan tersebut. Jika orang tua melanggar, anak akan merasa diperlakukan tidak adil dan akan beranggapan orang tuanya hanya dapat membuat aturan untuk orang lain tetapi dirinya sendiri melanggar aturan tersebut.
Ketiga, edukasilah anak tentang penggunaan gawai yang sehat, seperti kapan, di mana, mengakses apa, dan berapa lama anak boleh menggunakan gawai. Orang tua harus membuat aturan berapa lama waktu anak boleh bermain gawai (screen time) dan pada hari apa saja boleh bermain dengan gawai. Misalnya, anak hanya diizinkan mengakses gawai pada akhir pekan atau hari libur selama beberapa jam saja. Jelaskan bahwa screen atau layar gawai mengandung radiasi yang dapat membahayakan retina mata jika ditatap terlalu lama.
Keempat, edukasilah anak tentang penggunaan media sosial yang sehat. Ketika anak sudah bertambah usia menjadi remaja, penggunaan gawai akan beriringan dengan penggunaan media sosial sebagai sarana interaksi sosial yang lebih luas, termasuk sarana konformitas dengan teman sebaya mereka (peer group). Media sosial merupakan salah satu pintu masuk bagi berkembangnya masalah KBGA. Hal ini karena si remaja yang tengah senang-senangnya bereksplorasi dan berinteraksi sosial seringkali tertipu oleh pengguna media sosial laki-laki yang lebih berpengalaman. Akhirnya, remaja tersebut terjerumus dalam pelecehan siber hingga menjadi pelaku pornografi anak di dunia maya.
Kelima, pantau penggunaan gawai dan media sosial anak. Orang tua wajib memantau penggunaan gawai dan keikutsertaan anak-anaknya dengan media sosial. Hal ini akan memudahkan orang tua untuk melakukan intervensi dini jika terjadi tindakan perundungan atau pelecehan siber kepada anak-anaknya.
Terakhir, ciptakan suasana komunikasi yang terbuka dan bersahabat dengan anak. Kebiasaan berkomunikasi terbuka dan bersahabat antara orang tua dengan anak-anaknya amat sangat membantu memecahkan solusi jika anak mengalami perundungan atau pelecehan siber. Anak akan dengan ringan hati untuk bercerita atau membuka pengalaman buruknya di media sosial kepada orang tua mereka karena suasana komunikasi dekat dan akrab yang telah terbangun. Dengan keterbukaan anak, orang tua akan menjadi lebih mudah untuk mengarahkan, memberikan dukungan, dan menyelesaikan permasalahan anak yang terkait dengan perundungan dan pelecehan siber.
Nah, para orang tua, mari kita hadapi era digital ini dengan bijak, dinamis, dan adaptif. Peradaban memang terus berubah dan membuka celah bagi terjadinya problematika yang baru. Pada era digital ini, pengasuhan yang melek dan bijak digital menjadi tips antisipatif dalam menjaga buah hati kita dari masalah-masalah KBGA dunia maya, terutama perundungan dan pelecehan siber. InsyaAllah. [6/24]
*F. Psikologi – UAD PPA MKS