Potret fenomena masyarakat di Indonesia saat ini masih cenderung menganggap bahwa kaum difabel sebagai orang yang tidak mampu melakukan pekerjaan, hidupnya bergantung kepada orang lain dan tidak ada harapan untuk hidup mandiri sehingga mereka patut dikasihani. Hal tersebut cara pandang yang salah dan masih mengikuti cara pandang dalam UU No. 4 Tahun 1997.
Paradigma atau stigma buruk tersebut biasanya diikuti berbagai bentuk marginalisasi dan diskriminasi terhadap kaum difabel. Diskriminasi ini tidak hanya dalam fasilitator akomodasi publik yang tidak memberi akses yang memadai bagi kaum difabel, tetapi terutama akses informasi, pendidikan, hukum, dan pekerjaan.
Dinamika wacana mengenai penguatan pemenuhan hak-hak disabilitas perlu diperkuat kembali, tidak hanya kaum difabel sendiri dan keluarganya. Hal tersebut juga tanggung jawab seluruh stakeholder, masyarakat, ormas, dan pemerintah. Sebagaimana yang tertuang dalam UU No. 8 Tahun 2016
Kaum difabel adalah salah satu kelompok sosial yang dalam konteks budaya manapun mengalami marjinalisasi dan diskriminasi di hampir semua aspek kehidupan, salah satunya dalam ranah perkawinan. Sebenarnya, posisi kaum difabel memiliki kesamaan hak untuk melangsungkan sebuah perkawinan. Mengenai hak melangsungkan perkawinan tersebut dapat kita lacak dan temui dalam Pasal 7 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang mengatur dan menjamin hak tersebut.
Selain itu, dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 dan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016, Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia telah mengamanatkan bahwa setiap orang yang termasuk kedalam kelompok masyarakat rentan berhak untuk mendapatkan perlakuan dan perlindungan lebih berkaitan dengan kekhususannya.
Tidak hanya itu, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Mengenai Hak-Hak kaum difabel Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD). Yang kemudian terwujud dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 dan kemudian dipertegas kembali dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016.
Idealnya, Undang-Undang tersebut seharusnnya menjadi tonggak baru bagi berbagai aturan hukum dan kajian-kajian hukum di Indonesia, khususnya pada perkawinan dan penguatan hak-hak bagi kaum difabel penting untuk ditelaah secara mendalam, baik secara normatif maupun empiris.
Maka dari itu, dalam hukum Islam mengenai isu penguatan hak-hak dan kewajiban suami istri kaum difabel diatur secara tegas dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Bab XII yang terdiri dari Pasal 77 sampai dengan Pasal 79 yang menjadi landasan pijakan penulis.
Baca Juga: Difabel Butuh Kesetaraan, Bukan Belas Kasihan
Namun, ternyata pasal-pasal Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatur mengenai isu pemenuhan hak-hak kaum difabel tersebut masih membatasi hak-hak hukum dan sosial kaum difabel dalam lingkup kajian hukum keluarga. Meskipun CLD-KHI dan Pokja PUG (Pengarusutamaan Gender) telah menawarkan perubahan kerangka berpikir pembentukan hukum Islam yang lebih populis, induktif dan antroposentris karena menggunakan perspektif demokratis, pluralism, HAM, dan gender, tetapi tetap saja nalar hukum CLD-KHI masih belum merepresentasikan prinsip egaliter pada kelompok kaum difabel.
Seiring dengan pemahaman dan cara pandang baru terkait disabilitas yang mengedepankan isu hak (right based approach) dan struktur sosial yang tidak berpihak, maka produk perundangan klasih fikihh maupun hukum positif dinilai mengandung bias normalisme yang memposisikan kaum difabel secara tidak adil.
Maka demikian kondisi hal tersebut memberikan tantangan bagi para akademisi dan praktisi hukum untuk meninjau kembali pemahaman, penafsiran dan praktik hukum dan perundangan agar dapat memenuhi rasa keadilan masyarakar, terutama kaum difabel di Indonesia.
Demikian pada artikel kali ini dapat ditarik benang merah bahwasanya mengenai isu-isu penguatan hak-hak dan kewajiban kaum difabel memiliki posisi yang sangat penting baik dalam hukum Islam maupun hukum positif diatur secara tegas. Namun hal tersebut belum bisa di implementasikan secara baik.
Perlu adanya dukungan peran masyarakat, akademisi, tokoh masyarakat, pemerintah dan seluruh stakeholder dalam pengimplementasian hal tersebut dengan tujuan saling memanusiakan manusia dan mewujudkan Indonesia ramah difabel. Sehingga harapannya Indonesia menjadi negara yang ramah terhadap kaum difabel.
Semoga kita senantiasa diberikan kesehatan, kekuatan dan rizki yang berlimpah oleh Allah swt. Semoga dengan kita mengimplementasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari kita menjadi golongan orang-orang yang beriman dan dimasukan ke surga-Nya. Aamiin
* Mahasiswa Hukum Keluarga Islam UIN Raden Mas Said Surakarta