Sosial Budaya

Peningkatan Kesejahteraan Warga Melalui Pengembangan Wisata Berbasis Komunitas di Desa

Desa Wisata

Oleh: Budhi Hermanto

Pariwisata merupakan salah satu sektor penting bagi peningkatan ekonomi di Indonesia karena Indonesia memiliki ragam keindahan alam, warisan budaya, dan ragam keunikan yang menjadi daya tarik wisata. Industri pariwisata di Indonesia pernah menyumbang sekitar US$10 miliar dari devisa negara. Sumbangan devisa ini adalah kontribusi terbesar keempat setelah minyak, batu bara, dan kelapa sawit.

Akhir-akhir ini, banyak desa yang mengembangkan pariwisata sebagai kegiatan ekonomi desa melalui berbagai destinasi buatan maupun alami, seperti Desa Ponggok, Kabupaten Klaten, Pujon Kidul di Malang, dan lain sebagainya. Potensi wisata di desa sebagai peluang untuk pengembangan ekonomi memang menjanjikan peningkatan kesejahteraan warga.

Namun, hal itu memerlukan kreativitas yang serius lagi autentik, tidak terjebak untuk sekadar meniru sesuatu yang sedang viral di media sosial. Bila desa wisata hanya ikut-ikutan membuat destinasi wisata buatan dengan mengandalkan tempat spot foto, misalnya, dipastikan destinasi wisata tersebut tidak berumur panjang. Hal itu dikarenakan hampir pasti orang hanya akan berfoto di tempat yang sama sekali seumur hidupnya.

Pariwisata adalah kegiatan ekonomi yang mensyaratkan kreativitas. Selanjutnya, kreativitas ini bukan semata terkait dengan destinasi, melainkan juga aktivitas (atraksi) wisata dan kreativitas kebudayaan dalam makna yang lebih luas. Perihal kreativitas kebudayaan ini dijelaskan di bagian akhir tulisan ini.

Banyak daerah di Indonesia yang telah mencoba melakukan pembangunan pariwisata. Sayangnya, sebagian dari mereka terfokus pada pembangunan infrastruktur semata. Akibatnya, tidak sedikit daerah yang tidak memperoleh hasil yang memadai atau bahkan (bisa dikatakan) bangkrut.

Kita bisa melihat hal ini pada tempat-tempat wisata yang tak terurus sehingga tempat-tempat itu justru menjadi beban bagi keuangan daerah dan kemudian menjelma sebagai “rumah hantu”. Kasus lainnya ialah kecenderungan latah untuk membuat tempat foto (selfie/welfie) dan membangun “miniatur-miniatur keajaiban dunia” yang hanya berefek sensasional sementara dan tidak kontekstual dengan lingkungan sosial budaya setempat.

Melihat kasus-kasus demikian, beruntunglah daerah yang memiliki kekayaan keindahan alam (nature). Tanpa harus berusaha, mereka telah memiliki modal yang dapat dikembangkan menjadi objek pariwisata. Namun, mengandalkan modal karunia alam saja belum cukup karena kini muncul kecenderungan bahwa wisata itu bukan hanya perkara “pergi ke mana”, melainkan juga “mendapat pengalaman apa”.

Wisata yang hanya mengandalkan keindahan alam juga semakin turun peringkatnya. Kita bisa melihat contohnya pada Danau Toba di Sumatra Utara, Danau Laut Tawar di Aceh Tengah, Baturaden dan Grojogan Sewu di Jawa Tengah, serta beberapa destinasi lain yang mengandalkan keindahan alam.

Keramaian beberapa tempat wisata semacam itu, seperti di Baturaden atau Grojogan Sewu, hanya terjadi setahun sekali, yakni setelah lebaran Idul Fitri. Hari-hari selanjutnya menjadi biasa saja, bahkan cenderung sepi.

Baca Juga: Metamorfosis Desa Miskin Menuju Unggul

Pariwisata yang bertahan, berkembang, dan berumur panjang adalah pariwisata yang melibatkan peran serta masyarakat setempat dalam satu ekosistem industri pariwisata yang sehat, diperkuat dengan narasi budaya (culture) yang dimiliki. Dalam pariwisata seperti ini, wisatawan tidak hanya melihat, tetapi juga melakukan sesuatu dan mendapatkan suatu pengalaman.

Wisata kekinian adalah ekosistem pariwisata yang bisa mengawinkan kekuatan nature dan culture sekaligus. Contoh baik pada soal ini banyak terjadi di Bali dan Yogyakarta. Daerah lain yang sedang berkembang ke arah sana adalah desa-desa di Borobudur dan Dieng di Jawa Tengah.

Dengan mengedepankan juga aspek culture tersebut, maka sesungguhnya banyak tempat (terutama desa-desa) di Indonesia yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi destinasi wisata. Hal ini seharusnya bisa menjadi andalan untuk mengangkat taraf hidup masyarakat. Kuncinya ada pada kreativitas dan pelibatan warga dalam pengembangannya. Bagaimana cara memulainya? Berikut ini beberapa tips yang bisa kita lakukan dalam mengembangkan wisata desa.

Pertama, mengidentifikasi potensi wilayah. Identifikasi ini menjadi kunci awal dalam penataan wisata. Potensi itu bisa sesuatu yang tampak, berwujud, benda (tangible), atau sesuatu yang takbenda (nontangible). Potensi yang tampak misalnya adalah keindahan dan keunikan alam, tradisi dan budaya, menu makanan dan minuman khas tradisional, kerajinan-kerajinan khas atau situs atau peninggalan-peninggalan yang mempunyai nilai sejarah tinggi, bahkan bisa juga berbagai hasil unggul dalam bidang pertanian, perkebunan, perikanan, dan lain-lain.

Adapun potensi itu yang bersifat tak-benda misalnya adalah kebudayaan, keramahan warga, nilai dan norma yang dianut, seni tradisi, dan lain sebagainya. Apabila potensi-potensi tersebut dikelola dengan perencanaan yang baik dan matang, maka sangat mungkin untuk dimanfaatkan dan dikembangkan menjadi wisata desa yang menarik.

Kedua, memperkuat pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang ada di desa untuk menciptakan ekosistem wisata yang berkelanjutan. Keterlibatan warga dalam pengelolaan wisata desa berperan penting, mulai dari penguatan kultur keramahtamahan (hospilatily), hunian, transportasi, hingga kuliner. Semua itu merupakan fondasi penting untuk terciptanya ekosistem wisata di desa.

Peningkatan kualitas SDM yang terlibat sebagai pelaku maupun pengelola aset wisata ini harus dilakukan secara berkelanjutan. Usaha ini sangat penting mengingat bahwa bagusnya situs wisata (termasuk atraksi wisata) maupun promosi hanya akan menjadi sia-sia bila tidak diimbangi dengan perilaku masyarakat yang mendukung.

Ketiga, fokuslah pada kuatnya karakteristik secara sosial budaya dan aspek lain yang dimiliki oleh desa. Sebaiknya, jangan meniru begitu saja (copy-paste) apa yang telah dilakukan oleh desa/daerah lain. Bila terpaksa meniru, lakukan modifikasi dengan memperkuat karakteristik lokal. Bila hendak membangun infrastruktur penunjang wisata desa, upaya itu haruslah terkonsep dengan baik, kreatif, dan inovatif.

Untuk membangun infrastruktur yang memiliki suatu karakteristik, cara yang paling mudah adalah menyesuaikannya dengan adat dan budaya setempat. Untuk membangun desa atau nagari wisata di Sumatra Barat, misalnya, maka artefaknya harus sesuai dengan budaya Minangkabau. Gazebo-gazebo didesain dengan gaya rumah Minangkabau, bukan membuat Menara Eiffel tiruan seperti di Paris.

Keempat, menjalin kerja sama dan kolaborasi dengan banyak pihak dari luar desa. Kini dalam bidang profesional apapun, kolaborasi menjadi salah satu softskill penting untuk pengembangan diri dan komunitas.

Kerja kolaborasi adalah kerja bersama dengan prinsip yang saling membangun kepercayaan, bahu-membahu demi tujuan bersama yang saling menguntungkan. Demikian pun dalam kegiatan pengembangan wisata di desa. Kolaborasi memegang peranan penting, bukan hanya antarpelaku industri wisata, melainkan juga pelaku dengan wisatawan.

Kelima, perkuat pemajuan kebudayaan. Sebagaimana disebutkan pada bagian terdahulu, kebudayaan yang dimaksud adalah kebudayaan dalam makna yang luas. Kebudayaan sebagai the way of life, tentang laku hidup dan tatanannya. Perspektif wisata masa kini mengajarkan bahwa berbagai situs wisata yang ada, apalagi wisata alam atau wisata buatan memerlukan peranti baru agar dapat terus berkembang dan hidup.

Peranti tersebut adalah interaksi bersama masyarakat sekitar dengan aneka ragam kehidupan yang merupakan bagian dari kebudayaan setempat. Tentu saja kebudayaan dalam arti yang sangat luas, bukan semata seni dan tradisi, tetapi kehidupan masyarakat, relasi sosial, tata nilai, dan pertemuan (baca: dialog) antara wisawatan dengan masyarakat.

Baca Juga: Dakwah Kebudayaan, Tugas Raksasa yang Harus Bisa

Dalam konteks kebudayaan, wisata masa depan adalah sebuah peristiwa kebudayaan yang terus-menerus terjadi dan berkembang. Peristiwa tersebut berimplikasi baik terhadap pengembangan desa, warga desa, pun bagi wisatawan itu sendiri. Desa wisata menjadi tempat bertemu, belajar, dan upaya menumbuhkan kerja sama banyak pihak.

Bila desa mau melakukan kegiatan atraksi wisata, misalnya festival seni kebudayaan atau sejenisnya, maka peristiwa kebudayaan tersebut haruslah dipastikan bisa berumur panjang. Selain itu, bisa diselenggarakan secara mandiri oleh warga dan ada keterlibatan warga sekitar dalam pelaksanaannya.

Sebagai penutup, perlu dikemukakan bahwa untuk memulai pengembangan wisata di desa bisa dilakukan sejak sekarang, tidak harus menunggu ketersediaan infrastruktur pendukung. Banyak ragam aktivitas wisata yang bisa dikembangkan di desa, mulai dari wisata kuliner, wisata agro, wisata pendidikan, wisata alam, wisata budaya, wisata spiritual, dan banyak lagi lainnya.

Fokusnya ialah pada aktivitas dan peristiwanya, bukan pada destinasinya (meskipun hal ini juga perlu). Dalam istilah seni pertunjukan teater, yang dibutuhkan adalah “penubuhan”, di mana wisatawan dan pelaku wisata “mengalami” peristiwa yang mengesankan, dan berkontribusi positif bagi dirinya. Selamat mencoba.

*Pegiat Wisata Desa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *