Keluarga

Peran Ayah sebagai Orang Tua Tunggal

Sc: Halodoc
Sc: Halodoc

Sc: Halodoc

Oleh: Susilaningsih Kuntowijoyo

Orang tua, ayah dan ibu merupakan penanggungjawab utama perkembangan anak untuk menjadi pribadi yang sehat secara psikologis dan biologis yang meliputi seluruh aspek perkembangan. Dengan demikian, anak akan menjadi pribadi yang percaya diri, tangguh, beradab, dan religius.

Dalam proses perkembangan itu, di samping memiliki kesamaan peran, ayah dan ibu juga memiliki peran spesifik yang berbeda. Masing-masing peran tersebut sangat diperlukan dalam proses perkembangan kepribadian anak, semenjak usia dini dan paling tidak sampai melewati usia remaja.

Seorang anak bisa dikatakan berkembang dengan baik bila semua aspek dari unsur kepribadiannya berkembang secara optimal pada setiap tingkat perkembangannya. Seorang ibu, karena kedekatannya dengan anak pada usia bayi dan anak awal, berperan mengembangkan rasa kasih sayang, rasa percaya diri, rasa sosial, dan dorongan religiusitas pada anak, bahkan semenjak dalam kandungan si janin.

Seorang ayah berperan mengembangkan daya kecerdasan, rasionalitas, dan motivasi, serta melatih ketangguhan fisik anak. Secara bersama, ayah dan ibu juga berperan untuk membentuk sikap religius dan keterampilan anak dalam bergaul dengan orang lain di tengah masyarakat.

Dalam mengantarkan perkembangan anak sampai usia remaja, peran sinergis antara ibu dan ayah di atas akan dapat membentuk kepribadian anak yang berkembang secara optimal tanpa hambatan yang memadai. Meskipun demikian, ketika ada situasi yang mengharuskan hanya ayah sebagai penanggung jawab perkembangan anak utama, mungkin karena kasus perceraian, istri meninggal dunia, atau istri sedang bertugas atau belajar di kota bahkan negara lain, baik dalam jangka waktu pendek atau panjang, berarti mayoritas atau bahkan semua tanggung jawab atas perkembangan anak ada pada pundak ayah.

Oleh karena itu, agar anak tetap dapat berkembang secara optimal, seorang ayah tunggal harus mampu berperan untuk memenuhi kebutuhan kejiwaan anak, baik yang biasanya diperoleh dari ibunya maupun yang dari ayahnya. Implikasinya, di samping harus menata kejiwaan diri karena kesendiriannya, ayah tunggal juga harus berusaha memahami berbagai hal terkait kebutuhan perkembangan anak, baik secara rohani maupun jasmani.

Seorang ayah tunggal harus tidak menganggap bahwa tugas mengasuh dan mendidik anak secara sendirian sebagai beban, tetapi harus mampu menganggapnya sebagai kewajiban yang mesti ditunaikan. Dengan demikian, ayah terhindar dari tekanan perasaan yang berat dalam melaksanakannya. Oleh karena itu, seorang ayah tunggal perlu berusaha menata kondisi perasaan diri sendiri agar bisa menerima keadaan yang sedang dihadapi.

Hal pertama yang perlu dilakukan oleh ayah tunggal adalah membangun dan menjaga daya resiliensi atau daya tangguh anak. Kehilangan seorang ibu bagi anak terasa seperti kehilangan sandaran hidup, khususnya pada usia kanak-kanak. Penyebabnya karena keberadaan ibu adalah sumber adanya rasa terlindungi dan disayangi yang tumbuh semenjak dalam kandungan.

Selanjutnya, sikap apresiatif ibu juga menumbuhkan rasa percaya diri dan tangguh. Ketelatenan ibu dalam menyiapkan makanan untuk kebutuhan fisiknya juga modal penting bagi pertumbuhan dan kesehatan jasmani anak. Tidak mengherankan jika kehilangan ibu akan menimbulkan ketakutan serta menghilangkan rasa aman dan rasa percaya diri pada anak.

Untuk itu, ayah tunggal harus segera bisa mendudukkan diri pada posisi ibu dalam kaitannya dengan kedekatan kepada anak dan membantu kembalinya rasa aman dan rasa percaya diri anak. Seorang ayah biasanya agak berjarak dalam hubungannya dengan anak. Hal ini karena ayah sering harus menaruh perhatian lebih banyak pada aspek pekerjaan serta sikap ayah yang cenderung rasional dan formal.

Dengan demikian, ayah tunggal memang perlu segera mengubah sikap hubungannya dengan anak, yaitu lebih komunikatif, menunjukkan sikap kasih sayang yang ekspresif, apresiatif, dan empatik pada kondisi anak. Hal ini diperlukan agar anak akan tetap kuat jiwanya dan tegar dalam menghadapi masalah.

Selanjutnya, dalam proses pengasuhan pada anak, ayah juga harus mampu menerapkan pola asuh yang tepat, yaitu yang bersifat demokratis, suatu pola asuh yang memberi kesempatan anak untuk memahami bagaimana dan mengapa harus bersikap sesuatu dalam kehidupan. Anak diberi kesempatan dan tanggung jawab untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya.

Baca Juga: Ayah, Tak Sekedar Pemberi Nafkah

Dalam hal ini, ayah perlu menanggapinya secara tepat sehingga anak merasa aman dan terlindungi dalam keluarga, walau berada di rumah tanpa ibu di sampingnya. Anak akan mengerti apa yang mesti dilakukannya dan muncul rasa tanggung jawab terhadap apa yang dikerjakannya.

Selanjutnya, seorang ayah tunggal juga perlu memahami perkembangan pendidikan dan kejiwaan anaknya, baik dari segi keagamaan, intelektualitas, motivasi, perasaan, maupun hubungan sosialnya. Hal itu bisa dilakukan dengan membina hubungan yang baik dengan pihak sekolah tempat anaknya belajar, di samping juga perlu mendampingi belajar di rumah.

Untuk pelajaran yang terkait dengan tugas-tugas dari sekolah, ayah perlu juga menyiapkan diri untuk mendampingi belajar di rumah. Adapun terkait dengan kesadaran keagamaan, ayah perlu membinanya sejak dari rumah, misalnya tentang pembiasaan salat serta ibadah-ibadah yang lain.

Demikian juga tentang pembiasaan perilaku yang sesuai dengan akhlakul karimah, misalnya bersikap murah hati, ramah serta sopan terhadap orang lain, suka menolong, mencegah sikap mudah marah, dan memunculkan tanggung jawab terhadap pilihan-pilihan sikap dan perilakunya. Perkembangan dan kesehatan fisik dari anaknya pasti harus menjadi tanggung jawab ayah tunggal juga. Oleh karena itu, aspek pemenuhan kebutuhan gizi pada anak, kesempatan untuk olahraga, serta tamasya bersama untuk relaksasi juga perlu menjadi perhatian dari ayah tunggal.

Untuk mengurangi beratnya beban dalam melaksanakan tugas pengasuhan anak agar dapat juga melaksanakan tugas dunia kerjanya dengan baik maka ayah tunggal dapat meminta bantuan pada saudara, orang tuanya yaitu nenek dari si anak, atau asisten rumah tangga. Namun perlu diingat bahwa masing-masing pihak memiliki pola asuh yang mungkin berbeda sehingga akan berpengaruh pada sifat anak sebagai hasil pola asuh itu.

Misalnya, pola asuh nenek yang sering bersikap lebih memanjakan cucu karena didorong oleh rasa kasihan bisa berakibat pada sifat anak yang kurang disiplin dan mudah tersinggung. Oleh karena itu, ayah tunggal perlu menyampaikan kepada pihak yang membantu pengasuhan anak tentang pola asuh yang diharapkan untuk diterapkan bagi anaknya. Hal itu tentu tidak mudah, apalagi ayah tunggal juga perlu menyiapkan waktu untuk memantau sikap anak setelah berada di bawah pengasuhan pihak lain tersebut.

Semoga semua usaha baik ayah tunggal dalam mengasuh dan mendidik anak dapat mengantarkan sang buah hati menjadi anak saleh yang akan mendoakan orang tua, baik ketika masih hidup maupun setelah tiada. Sebagaimana dinyatakan dalam hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang artinya: “Dari Abu Hurairah radhiyallahu‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila manusia meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan orangtuanya”” (HR. Muslim). [10/23]

Related posts
KeluargaKeluarga Sakinah

Ayah, Tak Sekedar Pemberi Nafkah

Oleh: Annisa Fithria Pengasuhan anak merupakan salah satu tugas paling krusial dan mendasar dalam keluarga dan secara luas terhadap kehidupan manusia. Kualitas…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *