Sumber ilustrasi : wikipedia.org
Negara Kesatuan Republik Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan jumlah bahasa ibu terbanyak di dunia. Menurut Arief Rahman, Ketua Harian Komisi Nasional untuk Badan Pendidikan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Dunia (UNESCO), Indonesia sedikitnya memiliki 783 bahasa ibu Dari jumlah itu empat ratusan bahasa ibu ada di Papua Sayangnya, keanekaragaman bahasa ibu di Papua semakin menyusut karena tidak digunakan. Dengan jumlah bahasa ibu sebanyak itu dibutuhkan satu bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia.
Sumpah Pemuda 1928, yang berisi pengakuan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa nasional kita merupakan langkah pertama yang menentukan di dalam perumusan garis kebijaksanaan mengenai bahasa nasional kita. Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36 yang menyatakan bahwa “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia” memberikan dasar yang kuat dan resmi bagi pemakaian bahasa Indonesia bukan saja sebagai bahasa perhubungan pada tingkat nasional tetapi juga sebagai bahasa resmi kenegaraan. Kongres Bahasa Indonesia 1954 di Medan yang mengakui bahwa bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu, dan bahwa di dalam pertumbuhan dan perkembangannya itu bahasa Indonesia telah diperkaya oleh bahasa bahasa lain, terutama bahasa-bahasa daerah yang terdapat di Indonesia merupakan langkah maju yang berdasarkan kenyataan.
Dalam pembahasan ini telah muncul dua istilah yang sering dipakai bersamaan yaitu bahasa ibu dan bahasa daerah Yang dimaksud dengan bahasa ibu ialah bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak awal hidupnya melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya seperti keluarga dan masyarakat sekelilingnya. Bahasa daerah adalah bahasa yang lazim dipakai di suatu daerah, atau suku bangsa tertentu. Dalam wilayah Republik Indonesia sudah umum diketahui bahwa terdapat beratus-ratus bahasa daerah yang merupakan bahasa ibu bagi penduduk yang bersangkutan, misalnya Aceh, Bali, Batak, Bugis, Jawa, Sunda, Mongondow, Madura, dsb.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional, dan bahasa resmi memiliki daerah penggunaan yang lebih luas daripada bahasa daerah dan meliputi seluruh wilayah negara kita. Akibatnya ialah bahwa tiap daerah di samping menggunakan bahasa Indonesia bagi situasi tertentu, tetap menggunakan bahasa daerah, bahasa ibunya dalam situasi-situasi yang lain. Bangsa Indonesia pada umumnya terlahir bilingual, dwibahasawan menguasai dua bahasa sekaligus untuk mengucapkan pikiran dan perasaannya. Keadaan semacam itu kita temukan pula di tempat-tempat lain di dunia yang di samping bahasa resmi yang ditetapkan pemerintah sebagai bahasa negara, masih memakai bahasa-bahasa setempat sebagai bahasa ibu, bahasa pergaulan sehari-hari bagi penduduk setempat dalam hubungan yang tidak formal dan terasa akrab. Dalam suasana akrab orang merasa lebih “sreg” (comfortable) menyatakan isi hatinya dalam bahasa ibu.
Almarhum Bapak KH.A.R. Fachruddin, mantan Ketua Muhammadiyah, merasa lebih rumesep (meresap dalam hati) menggunakan bahasa Jawa dalam Soal Jawab Agama yang disampaikan di Radio Republik Indonesia Yogyakarta tahun 1980. Pada mula penerbitannya majalah Suara Aisyiyah pernah pula menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantarnya karena bahasa Jawa itulah yang lebih banyak digunakan daripada bahasa Indonesia
Bahasa adalah alat yang paling kuat untuk menjaga dan mengembangkan kekayaan budaya suatu bangsa. Kalau suatu bahasa hilang atau punah, hilang pula tradisi dan budayanya. Oleh karena itu, dihimbau para orang tua untuk membiasakan anak-anak mereka berbicara dalam bahasa ibu mereka. Paling tidak dalam lingkup keluarga bahasa tetap digunakan. UNESCO mendukung semua upaya untuk mempromosikan penyebaran bahasa ibu.Tujuannya tidak hanya untuk memperkuat keberagaman linguistik dan pendidikan multilingual tetapi budaya dan tradisi di seluruh dunia.
Hari Bahasa Ibu Internasional diperingati setiap tanggal 21 Februari diadopsi oleh UNESCO pada November 1999. Berdasarkan hasil penelitian terbaru Global Education Monitoring yang dirujuk UNESCO, 40 persen populasi dunia ternyata mengakses pendidikan dengan bahasa yang mereka sendiri tidak pahami Laporan itu berjudul cukup kritis “Jika tak Paham Bahasa Guru, Bagaimana Anda Bisa Belajar?” Dalam penelitian itu, pakar pendidikan berpendapat, bila para murid diajarkan bukan dalam bahasa sehari-hari mereka di rumah, hal itu akan berdampak negatif.. Ditegaskan pentingnya menggunakan bahasa ibu si anak dalam proses belajar mengajar. Hal itu nantinya mendorong sikap keterbukaan di dalam pendidikan sekaligus mempromosikan keberagaman bahasa
Penelitian itu mengungkapkan, di negara-negara yang multietnik semisal Turki, Pakistan, Nepal, Bangladesh, dan Guatemala dominasi bahasa nasional seringkali mengabaikan imbas budaya bagi para murid Sebaiknya anak-anak diajar dalam bahasa yang mereka pahami. Setidaknya hal itu mesti diterapkan dalam enam tahun pertama pendidikan dasar. Para guru juga dianjurkan memahami dua bahasa sekaligus, yakni bahasa nasional dan bahasa ibu setiap muridnya. (Siti Sundari)
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 4 April 2016, Rubrik Aksara