Oleh: Sriwiyanti
Dilema Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dan Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTMT) masih dirasakan oleh siswa. Terutama menjamurnya berita kluster sekolah sejak kebijakan PTMT mulai berlaku di beberapa daerah. Tidak bisa dipungkiri, sejak awal, berbagai pihak harus merasakan uji coba kebijakan sistem pendidikan yang terus berubah mengikuti tingkat perkembangan kasus Covid-19.
Di awal tahun 2020, Kemendikbudristek memulai kebijakan baru dengan mengeluarkan Surat Edaran No 4 Tahun 2020, di mana tujuan pembelajaran di saat Pandemi adalah memberikan pengalaman belajar dan fokus pada pendidikan tentang kecakapan hidup sehari-hari. Namun, seiring grafik kasus Covid-19 yang fluktuatif di setiap daerah, kebijakan ini mengalami revisi, yang terbaru dan masih diterapkan hingga saat ini yaitu Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri yang dikeluarkan pada April 2021 dengan dua aturan utama yaitu; PTM terbatas dan pembelajaran jarak jauh. Dua alternatif ini bisa diputuskan oleh sekolah dengan mempertimbangkan tingkat persebaran kasus di daerah masing-masing. Artinya, beberapa sekolah di Indonesia masih ada yang menyelenggarakan PJJ.
Faktanya, PJJ selama pandemi memicu ragam reaksi dari berbagai pihak yang merasa terdampak. Orang tua mengeluhkan sulit untuk menemukan pola adaptasi antara urusan pekerjaan dengan mendampingi anak mengikuti PJJ. Tidak semua orang tua mampu memfasilitasi kebutuhan teknologi dan biaya internet bagi anak, terlebih tingginya angka PHK karyawan yang berdampak pada rendahnya pendapatan. Guru senior turut mengeluhkan sulitnya menggunakan perangkat digital dalam menyampaikan materi ajar. Bahkan, pemerintah sendiri merasa takut dengan kemungkinan learning loss yang bisa dialami siswa.
Pertanyaannya adalah, bagaimana solusi menghadapi problematika sistem pendidikan anak di tengah pandemi?
Orang tua adalah salah satu jawabannya, di mana momen ini patut dijadikan refleksi titik balik pengasuhan. Sebab, di tengah musibah berkepanjangan semacam ini, banyak orang tua yang menyadari bahwa ada sesuatu yang menjadi sekat hubungan mereka dengan anak. Di tengah waktu luang karena tidak bebas beraktifitas di luar, dan kebersamaan dengan keluarga, justru muncul distress yang menghambat produktifitas.
Baca Juga: Perbedaan Pola Asuh dalam Keluarga
Hal tersebut menstimulasi pertanyaan, apakah seseorang justru merasa lebih dekat dengan komunitas sosial tertentu dibandingkan dengan keluarga? Anak-anak lebih lekat dengan peer group atau teman sebayanya, ibu dengan komunitas hobi, ayah dengan kolega, atau dalam berbagai bentuk lain. Sehingga, mau tidak mau, problematika PJJ yang diterapkan pemerintah tidak hanya membuka catatan merah dalam sistem pendidikan. Tetapi, mengurai masalah mendasar dalam sebuah keluarga.
Berangkat dari titik inilah, orang tua harus mengembalikan fungsi keluarga, melalui dukungan emosional yang bersifat konstruktif terhadap psikologis anak. Dukungan sosial atau social support merujuk pada teori yang dikembangkan Tardy (1985) yang terdiri dari empat jenis dukungan utama yaitu informational support, instrumental, appraisal, dan emotional support. Meskipun aplikasi konstruk ini bersifat universal, tetapi banyak juga dikembangkan di dunia pendidikan. Terutama dalam mencari korelasi dan mengukur sumbangan dukungan sosial terhadap berbagai hal positif bagi perkembangan psikologis anak, maupun yang berkaitan dengan bidang akademik seperti prestasi belajar, burn out di sekolah, tingkat drop out siswa, hingga resiliensi akademik siswa.
Dalam konteks PJJ di tengah pandemi, dukungan emosional dari orang tua adalah hal yang paling mudah untuk diterapkan. Sebab, orang tua bisa jadi memiliki kendala dalam memberi dukungan informational maupun appraisal terhadap anak, dikarenakan tingkat pendidikan yang rendah. Di sisi lain, sulit untuk memfasilitasi anak dengan dukungan instrumental berupa barang maupun kebutuhan materil, terutama berkaitan dengan masalah finansial. Sehingga, dukungan emosional menjadi alternatif terbaik yang bisa dicoba oleh semua orang tua yang sedang mendampingi anak di masa sulit seperti saat ini.
Dukungan emosional dari orang tua dapat diberikan dalam berbagai bentuk. Secara umum seperti kepercayaan, kepedulian, sikap empati, penerimaan, interaksi yang hangat, dan kasih sayang yang tulus. Jika diaplikasikan dalam konteks dukungan emosional selama PJJ, orang tua bisa meluangkan waktu mempelajari permasalahan anak, mendengar anak bercerita tentang kesulitan maupun pengalaman belajar daring, serta berusaha membantu mencari solusi dan menawarkan pilihan-pilihan, termasuk dengan bercerita pengalaman pribadi. Berkomunikasi dengan melibatkan fisik dan emosi, serta benar-benar hadir dalam dunia anak.
Melalui dukungan tersebut, tercipta sebuah ketahanan atau ketangguhan dalam proses belajar yang sedang ditempuh anak. Kondisi ini disebut sebagai resiliensi akademik, yang merujuk pada teori resiliensi secara umum, yaitu kemampuan individu untuk bertahan di tengah kondisi yang sulit, berusaha untuk tidak menyerah dan bangkit kembali, serta melanjutkan proses adaptasi dengan cara yang konstruktif. Resiliensi bukan berarti seseorang terus-menerus sukses dalam segala hal. Namun, individu yang tidak berhenti berusaha meskipun berada dalam kesulitan.
Dalam konteks PJJ, hal ini tentu dialami oleh siswa. Sebab, mereka tidak bisa terlepas dari berbagai hambatan. Terlebih pada siswa yang berasal dari status sosial ekonomi rendah, sulit untuk mendapat akses teknologi. Termasuk masalah kesenjangan kelompok urban dan rural, di mana jaringan internet di daerah pedesaan yang berbukit sulit untuk dijangkau. Selain itu, proses adaptasi terhadap kondisi yang berubah total, bukan sesuatu yang mudah. Siswa harus menyesuaikan ritme pembelajaran daring dengan kegiatan lain seperti membantu orang tua di rumah, melawan keinginan untuk bermain dengan teman sebaya di lingkungan tempat tinggal, atau berusaha menyimak pembelajaran yang tak jarang berupa monolog dari guru, sehingga siswa merasa cepat bosan.
Baca Juga: Keluarga, Pilar Perkaderan di Era Pandemi
Pada saat sulit seperti ini, siswa yang memiliki resiliensi akademik yang tinggi tidak akan mengambil jalan pintas dalam menyelesaikan masalah, seperti mengambil pilihan menikah dini, atau berhenti sekolah. Siswa yang memiliki resiliensi akademik selama PJJ akan tercermin melalui empat hal utama yaitu, menempuh kesulitan (adversity), tidak berusaha kabur dari zona yang penuh tekanan (pressure), bangkit kembali setelah jatuh atau gagal pada suatu tugas (setback), dan menganggap setiap masalah sebagai tantangan (challenge) yang harus dilalui.
Jika merujuk pada teori resiliensi, sikap seperti ini tidak terbentuk dalam sekejap. Salah satunya, ada peran besar orang tua melalui caring relationship, unconditional love, yang menjadi bagian dari dukungan emosional, hadir, mendengarkan, penuh empati, memberi bantuan, mengerti, mencintai anak dengan tulus, dan menghargai perasaan anak. Dukungan ini dapat meningkatkan kemampuan anak dalam mengontrol impuls atau dorongan negatif dalam dirinya, menumbuhkan optimisme, regulasi emosi yang baik, serta memiliki efikasi diri yang tinggi sehingga memandang setiap kesulitan sebagai sebuah proses.
Inilah satu-satunya bentuk dukungan yang bisa diaplikasikan oleh semua orang tua di Indonesia, tanpa peduli status ekonomi, tingkat pendidikan, atau berbagai sekat sosial lain. Dukungan emosional tanpa biaya, tulus, dan sederhana. Tapi, berdampak besar dan nyata.
1 Comment