
(ilustrasi: freepik)
Oleh: Susilaningsih Kuntowijoyo
“Maka terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang” (Q.S. adh-Dhuha [93]: 9)
Betapa gundah gulananya ketika seorang anak tiba-tiba kehilangan salah seorang atau bahkan kedua orang tuanya. Perasaan terkejut, sedih, takut, bingung, khawatir, merasa kehilangan tempat bergantung diri, bercampur menjadi satu. Anak yang masih usia awal mungkin selalu menangis tiada henti. Sedangkan pada mereka yang berusia anak akhir, mungkin juga sering menangis, menjadi pendiam, bahkan sering marah-marah. Adapun pada remaja, mungkin lebih cenderung menjadi pendiam dan mencabut diri dari lingkup pergaulannya.
Dampak lebih lanjut, anak-anak yang kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya dapat mengalami kesedihan yang mendalam, merasa tidak berdaya, dan putus asa. Anak bisa mengalami depresi yang semua itu akan menghambat perkembangan dan kesehatan jiwanya di masa depan.
Beratnya situasi kejiwaan dan kehidupan anak yatim piatu diisyaratkan oleh Allah subhanu wata’ala di antaranya dalam ayat al-Quran yang tertulis pada awal tulisan ini. Bahkan dalam surat al-Ma’un [108] ayat 1 dan 2, Allah menegaskan bahwa orang yang menghardik anak yatim dinilai telah mendustakan agama. Pasalnya, bagi anak, orang tua adalah tempat menggantungkan berbagai perasaan dan kebutuhan hidupnya, tempat anak memperoleh modal awal secara kejiwaan dan fisik untuk mampu bersikap dan berperilaku dalam menempuh kehidupan di masa dewasa.
Kegagalan kehidupan, baik secara kejiwaan maupun jasmaniah, pada usia anak akan menghambat perkembangan anak, bahkan bisa menjadi penyebab terjadinya kegagalan dalam menempuh kehidupan. Oleh karena itu, perlu ada peran serta dari keluarga dekat, masyarakat, dan pemerintah untuk memastikan agar kebutuhan anak yatim piatu dapat berkembang secara normal, baik secara psikologis maupun biologis, dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat.
Baca Juga: Manfaat dan Tips Membuat Portofolio Anak
Situasi Covid-19 sejak Maret 2020 telah menimbulkan korban jiwa dalam jumlah yang cukup besar. Korban meninggal dari kelompok usia muda antara 20-50 tahun yang merupakan usia produktif juga cukup besar. Hal itu memberi gambaran bahwa jumlah anak yang ditinggalkan oleh ayah (yatim), anak yang ditinggalkan ibu (piatu), atau anak yang ditinggalkan ayah dan ibu (yatim piatu) juga cukup besar. Artinya, ada indikasi meningkatnya jumlah yatim piatu di Indonesia.
Padahal, anak-anak ini memiliki harapan dan tugas yang sama dengan anak dan remaja lainnya, yakni membawa dan menegakkan estafet kehidupan berbangsa dan bernegara di masa yang akan datang. Oleh karena itu, perlu adanya usaha dari semua pihak agar anak yatim, piatu, maupun yatim piatu juga dapat tumbuh dan berkembang secara normal dan optimal.
Penuhi Kebutuhan Anak
Pemenuhan kebutuhan biologis dan psikologis bagi anak yatim, piatu, atau yatim piatu yang kurang mampu akan difasilitasi orang tua asuh oleh Negara sesuai dengan PP. No. 44 Tahun 2017. Bagi anak yang masih mempunyai keluarga, pelaksanaan pengasuhannya tetap di dalam keluarga. Hal itu penting agar dampak secara psikologis karena kehilangan orang tua dapat diminimalisir karena anak masih merasa diterima dan disayang (bahasa Jawa: direngkuh) oleh keluarga yang dikenalnya. Orang tua asuh atau orang tua pengganti harus berusaha untuk mampu menggantikan posisi orang tua.
Untuk itu, memang memerlukan kesadaran dan kemampuan dari orang tua pengganti untuk menjadi seperti orang tua kandung dari anak terkait. Hal ini terutama dalam menerapkan pendekatan psikologis pada proses pengasuhan sehari-hari, sehingga anak merasa nyaman dan pelaksanaan pendidikan berjalan dengan baik. Bagi anak yang masih mempunyai salah satu orang tua, orang tua yang masih ada harus mampu berperan ganda. Seorang ayah harus mampu juga berperan sebagai seorang ibu. Seorang ibu juga harus mampu berperan sebagai seorang ayah. Hal ini disebabkan bahwa pada dasarnya seorang anak itu memerlukan figur ibu dan ayah.
Kebutuhan Psikologis
Kebutuhan psikologis pada anak secara umum adalah kemampuan berkembangnya semua aspek kejiwaan secara normal dan optimal pada usia anak dan remaja. Kedua orang tua mempunyai kewajiban untuk mampu mendampingi dan mendukung perkembangan kejiwaan pada anak-anaknya. Keberadaan kasih sayang orang tua secara lengkap, yaitu ayah dan ibu, sangat berarti bagi anak. Hal itu menjadi modal utama yang akan mendukung perkembangan kejiwaan anak secara optimal. Kasih sayang orang tua yang terasakan oleh anak pada semua tingkatan usia akan menimbulkan rasa aman, nyaman, semangat, dan percaya diri dalam menjalani kehidupan.
Kondisi kejiwaan anak yang orang tuanya telah tiada berbeda dari anak pada umumnya. Hal utama yang perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan psikologis atau kejiwaan anak tersebut adalah membantu mereka terlepas dari rasa kehilangan kasih sayang dan keamanan sebagai akibat dari meninggalnya ayah, ibu, atau kedua-duanya. Santunan kejiwaan yang diberikan oleh orang tua pengganti harus mampu menghilangkan atau paling tidak, banyak mengurangi kehilangan rasa kasih sayang dan keamanan itu. Orang tua pengganti memang harus dilatih untuk memiliki empati yang mendalam agar mampu bersikap dan bertindak layaknya orang tua kandung dalam memberikan santunan psikologis.
Di depan telah disampaikan bahwa karena kehilangan orang tua, dua-duanya atau salah satunya, anak usia berapapun akan mengalami pukulan kejiwaan yang berat. Hanya saja ekspresi antara anak usia awal, anak akhir, dan remaja memang berbeda. Untuk anak usia awal, perasaan tidak aman karena kehilangan pelindung kehidupan akan lebih menonjol. Sedangkan pada usia anak akhir, ekspresi rasa kehilangan gantungan hidup lebih nampak pada rasa ketakutan terhadap masa depan yang tidak jelas. Status sebagai anak yatim piatu akan menghantui kesehariannya (Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, 1978).
Baca Juga: Perbedaan Pola Asuh dalam Keluarga
Untuk anak yang sudah memasuki masa remaja, kehilangan orang tua dapat memunculkan perasaan pesimis dan rendahnya rasa percaya diri. Bukan tidak mungkin timbul rasa bersalah pada diri anak karena merasa tidak mampu menjaga orang tuanya. Masa remaja adalah juga masa ketertarikan kepada lawan jenis. Oleh karena itu, perasaan rendah diri yang muncul karena ketiadaan orang tua juga akan menjadi penghambat hubungan pergaulannya dengan lawan jenis (Philip Barker, Basic Child Psychiatry, 1988). Selanjutnya akan disampaikan secara lebih rinci mengenai kebutuhan psikologis dari anak yang kehilangan orang tua.
Pertama, kebutuhan psikologis anak yatim piatu usia bayi adalah memiliki kelekatan (attachment ) positif terhadap orang tua pengganti yang akan menimbulkan rasa diterima, rasa aman, dan rasa dicintai. Pada usia selanjutnya, terpenuhinya kelekatan ini akan menjadi modal dalam mengikat hubungan sosial pada masa anak dan remaja (Iman Setiadi Arif, Psikologi Positif, 2016). Rasa kelekatan positif pada bayi bisa terbentuk ketika orang tua pengganti mengekpresikan sikap menerima dan menyayangi bayi selama masa proses pengasuhan awal itu, sehingga bayi tersebut mampu merasakan bahwa orang tua penggantinya dirasa seperti orang tuanya sendiri.
Walaupun pada pandangan umum, kehilangan orang tua pada bayi dianggap kurang menimbulkan dampak psikologis, namun sering kali orang tua pengganti kurang bersikap seperti orang tua yang sebenarnya terhadap bayi tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya sikap yang mengisyaratkan kasih sayang yang mendalam dari orang tua pengganti yang mampu dirasakan bayi tersebut.
Kedua, kebutuhan psikologis anak usia awal adalah perasaan disayangi yang menimbulkan rasa aman, ceria dan gembira. Dalam hal itu, tugas orang tua pengganti adalah memberikan sikap menyayangi yang menimbulkan rasa aman karena merasa terlindungi, serta membangun suasana ceria agar anak memiliki rasa gembira yang mampu menimbulkan semangat dalam kehidupannya. Usia anak awal adalah usia bermain. Dengan bermain itu, anak belajar berkomunikasi dengan teman sebayanya, baik di sekolah (PAUD atau TK) maupun di sekitar tempat tinggal.
Ancaman yang terjadi dalam pergaulan adalah ejekan teman-teman terhadap statusnya sebagai anak yatim piatu. Ejekan tersebut dapat menimbulkan rasa sedih mendalam yang akan mengganggu perkembangan rasa percaya dirinya. Oleh karena itu, orang tua pengganti harus mampu mengendalikan suasana itu melalui guru di sekolah serta lingkungan tetangga agar hal itu tidak terjadi.
Sementara itu, realitas kepergian atau ketiadaan orang tua itu dapat disampaikan kepada anak dengan disertai penekanan bahwa hal itu tidak akan mengurangi terpenuhinya rasa aman dan kasih sayang yang dapat diperoleh dari orang tua pengganti. Hal tersebut juga akan berlanjut pada usia anak yatim piatu saat memasuki usia anak akhir (usia Sekolah Dasar).
Kepergian orang tua secara mendadak dan untuk selamanya akan cukup memukul perasaan anak usia Sekolah Dasar. Orang tua bagi anak usia Sekolah Dasar adalah tempat mengadu, tempat menyampaikan permasalahan hingga keberhasilan di sekolah dan tempat pergaulannya, teman akrabnya, dan tempat menggantungkan harapan masa depannya. Di samping itu, orang tua juga menjadi idola atau figur ideal bagi kehidupan dalam pergaulan serta harapan masa depan. Dengan demikian, secara psikologis kehilangan orang tuanya, baik salah satu atau keduanya, merupakan pukulan yang berat.
Untuk itu, orang tua pengganti yang bisa menyelami kondisi kejiwaan anak sangat diperlukan. Di samping perhatian dan kasih sayang yang perlu diberikan, orang tua pengganti juga harus mampu menjadi tempat mengadu, menyampaikan kegembiraan, bahkan juga menjadi figur idola bagi anak usia Sekolah Dasar. Tujuannya adalah agar penderitaan yang diakibatkan kehilangan orang tua dapat terkurangi dan setengah terlupakan. Orang tua pengganti juga harus mampu membangun rasa percaya diri dan sikap optimis pada anak, terutama ketika anak berada dalam pergaulan di sekolah dan di lingkungan tetangga.
Ketiga, kebutuhan psikologis yang diperlukan anak usia remaja yang kehilangan orang tuanya adalah kedekatan dengan sosok yang dianggap teman dekat. Sekilas, mungkin mereka tampak lebih kuat dari pada anak usia di bawahnya, namun sebenarnya kegundahan hatinya juga sama beratnya.
Bagi remaja, di samping berperan sebagai pendukung kehidupan, orang tua juga berperan sebagai pendukung untuk memiliki semangat dan figur idola dalam mencapai masa depannya. Pada usia remaja, anak harus sudah mulai memiliki cita-cita masa depan. Untuk itu, remaja harus sudah mulai memiliki konsep diri yang kuat, serta rasa percaya diri dan sikap optimis untuk mampu menggapai masa depannya, serta memiliki sikap kompetitif yang sehat.
Baca Juga: Keluarga, Pilar Perkaderan di Era Pandemi
Masa remaja juga masa munculnya perasaan dan perhatian khusus kepada lawan jenis. Untuk semua kondisi kejiwaan pada remaja itu, ia memerlukan teman dekat yang memahami dirinya, dan itu adalah orang tuanya, khususnya ayah bagi remaja laki-laki, dan ibu bagi yang perempuan. Oleh karena itu, orang tua pengganti yang ada bagi remaja harus mampu memahami kondisi jiwanya, serta mencoba berperan sebagai teman yang dapat membantu, agar semangat hidup dan sikap optimisme tetap terbangun.
Dalam proses berkembangnya seorang anak, baik pada usia anak awal, anak akhir, maupun remaja, memerlukan figur ayah dan ibu secara bersama, yang masing-masing mempunyai peran untuk mengembangkan sifat keibuan (femininitas) dan sifat kebapakan (makulinitas). Contoh sikap keibuan ini seperti sifat lembut, telaten, sabar. Adapun contoh sikap kebapakan ini seperti sikap tegas dan berani. Kedua jenis sifat itu diperlukan di dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, orang tua pengganti harus mampu berperan untuk mengembangkan kedua jenis sifat itu pada anak asuhnya.
Sedangkan orang tua tunggal, ayah saja atau ibu saja, juga harus mampu berperan ganda. Seorang ayah yang berstatus sebagai orang tua tunggal harus mampu berperan juga sebagai seorang ibu, terutama untuk anak usia anak awal dan anak akhir. Adapun seorang ibu juga harus mampu berperan sebagai ayah juga, terutama bagi anak usia remaja.
Kebutuhan Biologis
Pada dasarnya, kebutuhan biologis diperlukan untuk mendukung kesehatan secara fisik yang imbasnya juga berpengaruh pada kesehatan jiwa. Pemenuhan kebutuhan biologis meliputi makanan yang bergizi, pakaian yang layak dan cukup, kebutuhan untuk kebersihan fisik, seperti alat mandi, pakaian sehari-hari dan pakaian sekolah, pakaian ibadah, dan sarana untuk bepergian (kendaraan). Semuanya itu adalah kebutuhan minimal yang harus tersedia bagi anak.
Kebutuhan tersebut harus terpenuhi dan disiapkan, baik oleh orang tua pengganti atau oleh orang tua tunggal yang ada. Ketiadaan kebutuhan-kebutuhan tersebut juga akan mengganggu kejiwaan anak. Oleh karena itu, terpenuhinya kebutuhan biologis juga akan mendukung kesehatan psikologis anak yang kehilangan orang tua.
Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah telah memiliki ratusan panti asuhan yang menjadi tempat bagi anak yatim piatu untuk bersandar, di samping panti asuhan yang dikelola oleh pemerintah dan lembaga lain. Anak yatim piatu juga banyak yang diasuh di dalam keluarga dekat mereka. Semoga dengan penerapan pendekatan psikologis dalam proses pengasuhan yang tepat, tunas-tunas harapan umat ini dapat berkembang secara optimal sebagai modal kehidupan selanjutnya.