Keluarga Sakinah

Peran Orang Tua bagi Perkembangan Anak dengan Disabilitas

difabel

difabelOleh: Susilaningsih Kuntowijoyo

Anak dengan disabilitas, menurut World Health Organization, adalah anak yang memiliki keter-batasan baik yang bersifat fisiologis, psikologis, maupun kelainan struktur atau fungsi anatomis. Disabilitas bisa disebabkan oleh adanya kelainan sejak lahir ataupun hambatan yang terjadi dalam proses perkembangannya saat usia anak, remaja, atau dewasa karena adanya suatu penyakit atau kecelakaan. Suatu keluarga yang memiliki anak dengan disabilitas dapat memiliki beban yang lebih berat baik secara psikis, fisik, maupun material. Meskipun demikian, beban tersebut harus ditanggung dan dilalui demi perkembangan sang buah hati.

Saat mengetahui adanya keadaan disabilitas pada anaknya, orang tua, baik ayah maupun ibu, rentan mengalami kegelisahan yang mendalam. Berbagai pertanyaan muncul dalam dirinya, mengapa hal itu bisa terjadi dan bagaimana cara mengasuh serta menangani masalah-masalahnya. Namun keadaan tersebut tidak boleh dibiarkan  terlalu lama.

Demi optimalisasi perkembangan anaknya, orang tua harus segera mampu beradaptasi dengan keadaaan tersebut. Mereka harus segera mampu mengelola hatinya untuk menerima takdir Allah swt. tentang keadaan anaknya, berusaha menghadapi dengan tabah, dan berusaha membantu perkembangan anaknya menuju kemandirian. Tidak kalah penting, anak dengan disabilitas memiliki hak yang sama dengan anak-anak lain untuk tumbuh, berkembang, dan mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya (Undang-Undang Nomor 8 tahun 2026 tentang Penyandang Disabilitas).

Orang tua dengan dibantu oleh keluarga dekatnya perlu segera membuka wawasan diri dan mencari informasi kepada para ahli atau pihak yang berpengalaman tentang cara pengasuhan anak dengan disabilitas agar mencapai perkembangan yang maksimal. Hendaknya para orang tua tidak berputus asa dan tidak berlepas diri dari rahmat Allah swt. Pasalnya, banyak contoh yang dapat diamati di masyarakat tentang orang-orang dengan disabilitas yang berkembang dengan baik serta berhasil dalam hidupnya.

Kita dapat menarik pelajaran dari event besar Asian Para Games yang menampilkan prestasi hebat dari para penyandang disabilitas dalam berbagai macam bidang olahraga. Prestasi tersebut tentu tidak terlepas dari adanya ketegaran dan usaha yang sungguh-sungguh dari orang tua mereka.

Ada dua hal utama yang perlu diketahui oleh orang tua maupun pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan anak dengan disabilitas, yaitu tentang jenis penyandang disabilitas dan tentang cara pengasuhannya secara umum (lihat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Menjadi Orang Tua Hebat, Jakarta, 2017). Berikut ini akan disampaikan secara ringkas tentang kedua hal tersebut.

Jenis Penyandang Disabilitas

Ada beberapa jenis disabilitas yang masing-masing memerlukan cara pengembangan dan pendampingan berbeda. Meskipun demikian, secara umum, semua penyandang disabilitas tersebut memerlukan pendampingan psikologis yang sama, khususnya dari orang tua serta keluarga dekatnya. Jenis-jenis penyandang disabilitas adalah sebagai berikut:

Pertama, tunadaksa. Tunadaksa adalah seseorang yang mengalami ketidakmampuan secara fisik untuk menjalankan kegiatan dalam hidup karena anggota tubuh yang tidak lengkap atau tidak sepenuhnya berfungsi, geraknya terbatas, dan mengalami hambatan dalam melaksanakan tugas sehari-hari.

Kedua, tunanetra, yakni seseorang yang memiliki hambatan dalam penglihatan. Ada dua macam, yaitu tunanetra total, yang tidak dapat melihat apapun, serta jenis gangguan penglihatan sedang (low vision). Untuk jenis kedua ini, seseorang masih ada sisa penglihatan, dan agar fungsi penglihatannya bertambah, perlu alat bantu penglihatan khusus.

Ketiga, adalah tunarungu dan tunawicara, yaitu seseorang yang mengalami gangguan pendengaran, baik sebagian atau menyeluruh. Gangguan ini biasanya berdampak pada hambatan bicara dan bahasa. Penyandang tunarungu ringan masih dapat mendengar sedikit. Akan tetapi, gangguan pendengaran yang berat dapat mengakibatkan ketidakmampuan dalam berkomunikasi baik secara lisan maupun tertulis. Dampak lebih lanjut, para penyandang tunarungu dan wicara biasanya menggunakan bahasa isyarat dalam berkomunikasi.

Keempat, tunalaras, yaitu seseorang yang memiliki masalah atau hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Ciri-ciri dari tunalaras adalah berperilaku menyimpang dari norma atau aturan, bersikap membangkang, mudah marah serta bertindak kasar.

Kelima, hiperaktivitas, yaitu suatu kondisi di mana seseorang mengalami gangguan perhatian, pengendalian diri, emosi, dan perilaku. Ciri-ciri seseorang yang hiperaktif adalah tidak bisa tenang, tidak kenal lelah, tidak sabar, terlihat tidak bertanggung jawab, dan sering menghabiskan waktu mengerjakan sesuatu yang menarik bagi dirinya.

Keenam, autis. Autis adalah seseorang dengan gangguan perkembangan saraf yang dapat mempengaruhi kemampuan dalam berkomunikasi, berinteraksi sosial, dan berperilaku. Ciri-ciri seseorang dengan kondisi autis adalah menghindari tatapan mata orang lain, mengalami kesulitan dalam berteman, mengalami gangguan berbicara, melakukan gerakan yang berulang-ulang, serta sering mengulangi kata-kata orang lain (membeo).

Baca Juga: Islam Agama Ramah Difabel

Ketujuh, tunagrahita, yaitu seseorang yang memiliki tingkat kecerdasan di bawah rata-rata dibanding anak seusianya, disertai dengan ketidakmampuan dalam penyesuaian diri dengan lingkungan. Ciri-ciri dari penyandang tunagrahita adalah memiliki tingkat kecerdasan (IQ) di bawah 70, memiliki ketergantungan yang tinggi pada orang lain, kurang tanggap atau mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, perkembangan bicaranya lambat serta perkembangan bahasanya terbatas.

Kedelapan adalah kesulitan dalam belajar, yaitu seseorang yang mempunyai kesulitan dalam membaca, menulis, atau berhitung. Kelemahan pada ketiga kemampuan tersebut masing-masing mempunyai ciri-ciri tersendiri.

Kesulitan kemampuan membaca ciri-cirinya adalah membaca lambat, sering salah membaca kata karena ada huruf yang tidak terbaca, mengulang kata-kata, sulit mengeja, serta sulit menangkap isi bacaan.

Kesulitan kemampuan menulis ciri-cirinya adalah lambat dalam menulis, spasi antar kata dan antar huruf kadang tidak jelas, tulisan terlalu tipis atau terlalu menekan serta sering tidak terbaca, baik oleh dirinya sendiri maupun orang lain.

Adapun kesulitan kemampuan berhitung ciri-cirinya antara lain mengalami gangguan dalam proses berhitung, baik penjumlahan, pengurangan, perkalian, maupun pembagian, serta adanya gangguan dalam mengenal dan memahami lambang bilangan.

Kesembilan, jenis disabilitas ganda, yaitu kondisi di mana seseorang memiliki lebih dari satu disabilitas. Ciri-cirinya adalah orang yang bersangkutan memiliki lebih dari satu gangguan, misalnya tunarungu dan netra, tunagrahita dan netra, maupun tunanetra dan daksa. Kondisi disabilitas ganda tersebut dapat memicu ketidakstabilan emosi, hambatan gerak, indra, dan kecerdasan.

Membangun Sikap Menghadapi Anak Penyandang Disabilitas

Sebelum akhirnya mampu menerima dan  beradaptasi, orang tua yang memiliki anak dengan disabilitas rentan mengalami kegelisahan  perasaan dan pikiran tentang keadaan anaknya. Pada awalnya, muncul berbagai pertanyaan pada diri sendiri tentang penyebab keadaan anaknya serta cara pengasuhan dan penanganan keadaan-keadaan khusus yang terkait dengan kondisi tersebut.

Mereka memerlukan adanya penguatan emosional dari pihak lain, terutama dari pihak keluarga dekat. Di samping itu, mereka juga perlu segera mencari informasi tentang cara-cara mengasuh dan menangani keadaan khusus dari anaknya yang tidak bisa disamakan dengan pengasuhan anak normal lainnya.

Orang tua, dengan didukung oleh keluarga, dapat mencari informasi tentang hal tersebut kepada berbagai pihak, di antaranya kepada keluarga-keluarga yang juga telah membesarkan anak dengan disabilitas, serta pihak-pihak yang berkompeten terkait dengan pengasuhan dan penanganan permasalahan anak dengan disabilitas tersebut.

Bahkan selanjutnya, orang tua perlu bergabung dengan kelompok atau komunitas orang tua yang anaknya juga menyandang disabilitas. Hal itu penting supaya orang tua tidak merasa “sendirian” dan memiliki ruang untuk saling berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam pengasuhan anaknya.

Hal lain yang perlu dilakukan oleh orang tua adalah membangun sikap lingkungan dalam keluarga maupun masyarakat sekitar agar mampu menerima keberadaan anak dengan disabilitas dan bersikap sebagaimana biasanya terhadap anak-anak yang lain. Di samping itu, orang tua juga perlu membiasakan anaknya yang mengalami disabilitas untuk tetap bergaul seperti biasa dengan lingkungan.

Dalam al-Quran surat an-Nur [24] ayat 61, Allah berfirman bahwa orang-orang dengan disabilitas semestinya juga dapat bergaul bersama dengan orang yang normal. Bahkan dalam al-Quran surat ‘Abasa [80] ayat 1-11, Allah menyampaikan teguran kepada Nabi Muhammad saw. ketika beliau bermuka masam terhadap orang buta yang datang kepada beliau untuk belajar.

Prinsip Dasar Pengasuhan Anak dengan Disabilitas

Dalam perjalanan proses pengasuhan anak dengan disabilitas tersebut, orang tua dan anak sebenarnya sama-sama berada dalam proses belajar. Pasalnya, meskipun orang tua mungkin sudah pernah mengasuh dan membesarkan anak yang lain, mereka akan selalu menemukan hal baru pada keadaan disabilitas yang akan mendorongnya untuk terus  mencoba dan mempelajari cara yang tepat dalam pengasuhan tersebut. Untuk itu, ada 5 (lima) prinsip dasar pengasuhan anak yang dapat dijadikan acuan untuk mendampingi anak disabilitas.

Pertama, memenuhi kebutuhan psikologis anak. Sebenarnya, kebutuhan psikologis anak disabilitas sama dengan anak-anak yang normal, yaitu kebutuhan merasa dicintai dan mencintai, diterima dan menerima, dihargai dan menghargai, serta kebutuhan psikologis yang lain. Meskipun demikian, kadar kebutuhan tersebut relatif lebih tinggi karena anak dengan disabilitas memiliki emosi yang lebih sensitif.

Hal ini menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan tersebut membutuhkan kesabaran dan perjuangan yang lebih dari orang tua atau pengasuh yang terkait. Anak-anak dengan disabilitas juga membutuhkan perasaan gembira agar mereka terdorong untuk memiliki motivasi dalam hidup. Bergurau bersama atau piknik bersama keluarga merupakan cara memperoleh rasa gembira itu.

Kedua, mengarahkan, mendampingi, dan menjaga keamanan anak. Kondisi disabilitas memiliki kerentanan yang lebih tinggi dari sisi keamanan dibandingkan anak dengan kondisi normal. Oleh karena itu, mereka memerlukan pendampingan dan penjagaan agar dapat terhindar dari cedera ataupun ancaman keamanan yang lain. Namun dalam perkembangan selanjutnya, proses pendampingan anak perlu diarahkan untuk melatih anak agar mampu menjaga dirinya sendiri.

Baca Juga: Difabel Butuh Kesetaraan, Bukan Belas Kasihan

Ketiga, membentuk rasa percaya diri pada anak. Rasa percaya diri merupakan modal untuk mencapai kemandirian. Anak dengan disabilitas memerlukan daya kemandirian lebih dari anak biasa karena kondisi mereka mendorong untuk tergantung kepada orang lain. Oleh karena itu, orang tua perlu sering mendengarkan dan merespons pembicaraan dan pendapat anaknya, serta memberi kesempatan anak melakukan sendiri hal-hal terkait keperluan pribadinya, sepanjang anak mampu dan tidak mengancam keselamatan dirinya.

Orang tua juga perlu sering memberikan apresiasi pada tiap keberhasilan yang telah diperoleh anak. Di samping itu, orang tua perlu membawa dan mendorong anak untuk bergaul dan bermain dengan anak-anak normal seusia di lingkungannya semenjak usia dini, khususnya ketika persepsi tentang perbedaan yang ada belum terbentuk pada anak-anak.

Keempat, memberikan kemampuan anak untuk berkembang sesuai dengan potensinya (lihat Branka Starc dalam Growing Up Together Plus. UNICEF). Anak-anak dengan disabilitas memerlukan suatu kemampuan untuk mengembangkan dan mewujudkan potensinya sehingga mereka memiliki modal kemandirian. Untuk itu, orang tua perlu memberikan kesempatan pada anak serta memfasilitasinya dengan hal-hal atau peralatan yang dapat mendukung kemampuan agar ia dapat mengekspresikan kemampuannya.

Bagi anak yang sudah usia sekolah, orang tua dapat bekerja sama dengan pihak sekolah. Anak dengan disabilitas yang kondisi kemampuannya dapat digabungkan dengan sekolah umum, sebaiknya memang bersekolah di sekolah umum tersebut. Orang tua perlu memberi informasi kepada sekolah tentang kondisi anak serta kemampuan yang dimilikinya serta sering berkomunikasi tentang perkembangan anaknya. Selanjutnya, orang tua perlu mengajak anaknya untuk berkunjung kepada tempat atau orang yang memiliki jenis disabilitas yang sama dan telah memiliki keberhasilan tentang suatu keahlian agar anak dapat belajar dari tempat maupun orang tersebut.

Kelima, mengembangkan religiusitas anak. Religiusitas atau rasa keagamaan merupakan potensi manusia yang perlu mendapat kesempatan untuk dikembangkan. Bagi anak disabilitas yang beragama Islam, religiusitas perlu dikembangkan dan dibiasakan semenjak usia dini, baik dari segi akidah, ibadah, muamalah, maupun akhlaknya.

Setelah sampai pada masa anak sadar akan kondisi diri yang berbeda dari anak normal, keyakinan akan adanya takdir akan membantunya untuk menerima dengan ikhlas kondisi dirinya. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah ajaran Islam yang terkait dengan kehidupan sebagai laki-laki dan perempuan. Untuk usia menjelang remaja, perlu diberikan bimbingan masalah menstruasi dan mimpi basah, serta cara membersihkan dan mensucikannya. Demikian juga tentang pergaulan antara laki-laki dan perempuan.

Mengasuh anak dengan disabilitas memang membutuhkan kesabaran, ketelatenan dan perjuangan yang lebih dari orang tua. Uraian tentang cara-cara pengembangan anak dengan disabilitas di muka tentu belum cukup komprehensif. Namun demikian, semoga dapat menambah wawasan.

Related posts
Perempuan

Peran Perempuan dalam Mendukung Keberhasilan Puasa Keluarga

Oleh: Zubaida Rohmawati* Puasa adalah salah satu ibadah yang dilakukan oleh umat muslim di seluruh dunia. Selain sebagai bentuk ibadah, puasa juga…
Konsultasi Keluarga

Bagaimana Menghadapi Suami Egois?

Pertanyaan: Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Kak ‘Aisy yang saya hormati, saya seorang ibu rumah tangga, sudah menikah selama sebelas tahun, dan mempunyai dua…
Pendidikan

Kampus Ramah Difabel

Oleh: Frida Kusumastuti* Setelah puluhan tahun mengajar, baru beberapa tahun belakangan ini penulis menemukan sejumlah mahasiswa yang dikategorikan sebagai difabel. Beberapa di…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *