Kebijakan Politik

Peran Politik Perempuan: Belajar dari Seruan Aisyiyah Tahun 1955

Suara Aisyiyah 1955

Oleh: Hajar Nur S

Majalah Suara ‘Aisyiyah, Dzul-Qo’dah 1374, Juni 1955, memuat Seruan Pusat Pimpinan ‘Aisyiyah tentang Pemilihan Umum. Terdapat empat hal yang diserukan. Pertama, agar ‘Aisyiyah ikut aktif dalam KAPU mulai dari ranting sampai tingkatan atas dengan terlibat sebagai pengurus. Kedua, bagi saudari yang telah menjadi pengurus KAPU agar menginsafkan kaum perempuan tentang tugas setiap warga negara untuk memberikan suaranya dalam pemungutan suara.

Ketiga, saat pemungutan suara, supaya menyediakan tempat/pondokan/tempat istirahat, makan, minum, maupun obat-obatan bagi mereka yang membutuhkan. Keempat, di dalam tindakan hendaklah selalu taat pada instruksi KAPU setempat, sehingga segala sesuatu dapat berjalan dengan lancar. Seruan tersebut ditandatangani oleh Hajinah yang saat itu menjadi ketua.

Masih di Suara ‘Aisyiyah pada tahun yang sama, namun di bulan September, bulan berlangsungnya pemilihan umum (pemilu) pertama di Indonesia, terdapat informasi dari ‘Aisyiyah Yogyakarta yang diberi judul ‘Aisyiyah Menghadapi 29 September’ atau tanggal berlangsungnya pemilu. Tidak berbeda jauh dengan isi poin seruan ketiga, ‘Aisyiyah se-wilayah Yogyakarta memutuskan agar ‘Aisyiyah beserta Nasyiah menyediakan amal sosial pada tempat yang berdekatan dengan tempat pemungutan suara.

Saat itu disediakan tempat sembahyang, makanan, minuman, obat-obatan, dan menariknya juga tempat pengasoan (istirahat) bagi orang-orang yang membawa anak-anak kecil atau orang tua yang memerlukan istirahat selama menunggu giliran yang agak lama.

Apa yang diserukan oleh ‘Aisyiyah pada tahun 1955 saat perhelatan pemilu pertama kali digelar secara nasional di Indonesia menunjukkan bahwa ‘Aisyiyah sebagai organisasi perempuan sudah ‘melek’ atau memiliki kepedulian pada isu politik. Meski pada tahun tersebut terjadi kompetisi politik yang terfragmentasi secara ideologis. Muhammadiyah-‘Aisyiyah sebagai organisasi Islam berada di haluan Masyumi yang merepresentasikan kelompok politik Islam.

Namun kepedulian organisasi perempuan ini pada isu politik perempuan dapat menjadi pembelajaran bagi gerakan ‘Aisyiyah ke depan. Pada poin pertama misalnya, ‘Aisyiyah sudah mengajak perempuan berpartisipasi aktif, bukan saja sebagai pemilih tetapi juga penyelenggara pemilihan yang mengorganisir jalannya pemilihan.

Baca Juga: Kepemimpinan Perempuan dalam Pandangan Islam Wasathiyah

Seruan ‘Aisyiyah kala itu ternyata masih relevan hingga saat ini, bahwa kita masih harus terus mendorong para kader ‘Aisyiyah untuk terlibat dalam panitia pemilihan mulai dari tingkat desa/kelurahan hingga kecamatan maupun menjadi komisioner pada Komisi Pemilihan Umum di berbagai tingkatan.

Beranjak pada poin kedua, seruan ‘Aisyiyah untuk memberikan edukasi dan menumbuhkan kesadaran, khususnya pada kaum perempuan, tentang pentingnya warga negara menggunakan hak pilihnya. Inilah yang kemudian kerap disebut dengan pendidikan politik perempuan.

Upaya tersebut nyatanya masih menjadi bagian dari program ‘Aisyiyah hingga saat ini dalam lingkup yang semakin luas. Bukan saja memberikan hak pilih, tetapi juga dipilih, terlibat dalam proses perencanaan pembangunan, hingga bersikap kritis terhadap kebijakan yang ada.

Seruan ketiga menyoal tentang pentingnya ‘Aisyiyah memperhatikan kebutuhan para pemilih termasuk perempuan, anak, dan lansia selama penyelenggaraan pemilu, mulai dari tempat istirahat, makan, minum, maupun obat-obatan bagi mereka yang membutuhkan. Seruan ini dapat dibaca sebagai bentuk keberpihakan ‘Aisyiyah pada kelompok rentan yang memiliki kebutuhan khusus agar mereka sebagai warga negara dapat memberikan hak suaranya secara aman dan nyaman.

Sampai saat ini, isu tersebut masih relevan dan belum semua panitia penyelenggara pemilu memfasilitasi kebutuhan kelompok rentan tersebut, termasuk kelompok disabilitas. Misalnya, kita masih jarang mendapati tempat pemungutan suara (TPS) yang menyediakan fasilitas bermain bagi anak saat orang tuanya harus memberikan suaranya di bilik suara.

Penyediaan fasilitas bagi para lansia, ibu hamil, maupun kelompok disabilitas saat berlangsungnya pemilu, sampai saat ini, masih menjadi pekerjaan rumah yang perlu terus disuarakan dan dikawal implementasinya. Rupanya, ‘Aisyiyah telah mendorong dan melakukannya sejak perhelatan pemilu dimulai di negeri ini. Sebuah keteladanan yang perlu kita lanjutkan dan perluas dalam konteks yang terus berubah, seperti bertambahnya kelompok rentan seperti difabel yang perlu menjadi perhatian ‘Aisyiyah selain ibu, anak, dan lansia.

Sebelum berlangsungnya pemilu pertama pada tahun 1955, sebenarnya Indonesia telah melakukan uji coba pemilihan umum di tingkat lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi DIY pada tahun 1951, sebagai mekanisme pemilihan secara demokratis sejak Indonesia diproklamasikan.

Pemilu tersebut diselenggarakan mengacu pada UU No. 7 Tahun 1950 tentang Pemilihan Anggota DPRD Provinsi dan daerah-daerah di dalam lingkungannya, dengan sistem pemilihan bertingkat, yaitu pemilihan umum memilih pemilih, dan pemilih memilih anggota DPRD. Dua daerah di antaranya terpilih untuk melakukan pemilihan umum tersebut, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta dan Minahasa.

Dalam momen tersebut, khususnya di Yogyakarta, kita akan melihat para tokoh ‘Aisyiyah  menggunakan haknya, baik untuk memilih maupun dipilih, terutama melalui Partai Masyumi sebagai partai yang merepresentasikan suara umat Islam saat itu. Dari 296 calon anggota DPRD DIY, hanya terdapat 15 calon perempuan. Di antara 15 perempuan tersebut, partai Masyumi menjadi partai yang mencalonkan perempuan terbanyak dengan 6 calon perempuan dibandingkan partai lainnya.

Keenam perempuan tersebut yaitu Siti Zaenab Damiri, Nj. Anisah Djufri, St. Aisjah Hilal, Nj. Alfiah Muhadi, Siti Ruchajanah, dan Siti Halifah. Nama Siti Zaenab Damiri, St. Aisjah Hilal, hingga Alfiah Muhadi tentu bukan nama yang asing di kalangan ‘Aisyiyah karena ketiganya merupakan aktivis ‘Aisyiyah di tingkat pusat.

Di antara 15 perempuan itu, hanya Siti Zaenab Damiri dari Partai Masyumi yang terpilih. Para calon perempuan saat itu harus menghadapi tantangan berupa penggunaan istilah yang bersifat maskulin, yaitu ‘Djago’ untuk menyebut calon pemilih yang akan memilih anggota DPRD. Sedangkan ‘Djago’ dalam bahasa Jawa identik dengan laki-laki. Secara simbolik, penggunaan istilah tersebut dapat menunjukkan adanya anggapan bahwa politik adalah wilayahnya laki-laki.

Baca Juga: Perempuan, Srikandi Politik yang Terpingirkan

Dalam susunan seksi-seksi DPRD Istimewa Yogyakarta hasil pemilihan tahun 1951 tersebut, Siti Zaenab Damiri masuk dalam seksi sosial dan pendidikan bersama anggota DPRD dari partai lainnya. Selain dikenal aktif di ‘Aisyiyah dan kerap menulis di Suara ‘Aisyiyah, Zaenab aktif di Muslimat Masyumi, sayap perempuan partai politik Masyumi. Bahkan ia pernah menjadi Ketua Pengurus Besar Muslimat Masyumi.

Tidak banyak perempuan memilih jalur politik sebagai jalan perjuangan karena sering dianggap sebagai dunianya laki-laki. Di tengah masih minimnya kesadaran politik perempuan, Siti Zaenab Damiri justru berani mengambil pilihan tersebut. Ia memilih politik sebagai salah satu jalan perjuangannya. Dalam pandangan Zaenab yang dikenal pandai berbicara di depan publik ini, melalui politik, ia berharap dapat mewarnai kebijakan dan menjadi aspirasi bagi perempuan.

Dalam tulisannya di Suara ‘Aisyiyah, Zaenab mengutarakan pandangannya perihal kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sebagai bagian dari ajaran Islam. Menurutnya, bahwa perempuan juga berhak hidup sebagaimana laki-laki. Keduanya memiliki hak untuk menyeru pada kebaikan maupun mencegah hal yang merugikan, terutama bagi bangsa dan negara. Ia mengajak perempuan untuk berperan aktif dalam pembangunan, “Jangan ada yang ketinggalan, jangan ada yang mempunyai sikap masa bodoh.”

Menurut Zaenab, hendaknya perempuan berani menempuh jalan baru, sistem baru, cara baru, pikiran baru, dan daya cipta agar dapat mengatasi masalah yang dihadapi rakyat. “Sekuatkuatnya kita bekerja giat, kita harus lepaskan tabir-tabir, kita tempuh jalan yang dinamis… Jika tidak kita mulai sekarang, maka kita akan menghadapi dua alternatif yang mau tidak mau harus kita telan, kita biarkan mereka bingung, terus sengsara, atau kita tinggalkan rakyat kita mencari yang lain.”

Dari seruan ‘Aisyiyah menyambut pemilihan umum 1955 maupun pengalaman dan pandangan politik Zaenab, kita belajar pentingnya perempuan terlibat dalam pengambilan kebijakan untuk meningkatkan derajat kehidupan perempuan maupun kelompok rentan lainnya. Seruan ‘Aisyiyah juga ditujukan pada semua pimpinan dan kader ‘Aisyiyah di berbagai tingkatan hingga ke tingkat desa. Sebuah imbauan yang masih relevan hingga saat ini, yakni membumikan peran kader sebagai kader bangsa dengan terlibat dalam berbagai kelembagaan publik hingga di tingkat kecamatan maupun desa.

Related posts
Sejarah

Aisyiyah sebagai Panggung Good Governance

Oleh: Mu’arif* Ketika Kiai Ahmad Dahlan dan kawan-kawan mendirikan Muhammadiyah (18 November 1912), yang pertama kali dilakukan bukanlah menawarkan paham keagamaan baru,…
Lensa Organisasi

Lirik Mars Aisyiyah

Wahai warga ‘Aisyiyah sejati Sadarlah akan kewajiban suci Membina harkat kaum wanita Menjadi tiang utama negara Di telapak kakimu terbentang surga Di…
Liputan

Ulama Aisyiyah Memajukan Umat dan Bangsa

Jika dirujuk ke akar katanya, kata “ulama” sebenarnya mempunyai makna yang luas. Kata ‘ulamā’ merupakan jamak dari ‘alīm yang bermakna orang yang…

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *