Setelah berdiri, ‘Aisyiyah berkembang dengan pesat. Anggotanya terdiri dari remaja putri serta ibu-ibu yang sudah berkeluarga. Dari Yogyakarta, organisasi ini meluas ke berbagai daerah di Pulau Jawa dan luar Jawa. Pertumbuhan cepat ini disebabkan oleh kerja keras para pengurusnya yang bekerja tanpa pamrih, hanya berharap ridha Allah SWT, karena menganggap bahwa pekerjaan tersebut sangat mulia.
Pada tahun 1919, hanya dua tahun setelah berdiri, ‘Aisyiyah memulai pendidikan dini bagi anak-anak, yang berkembang menjadi taman kanak-kanak (TK) di seluruh Indonesia. TK ini diberi nama seragam “TK ‘Aisyiyah Bustanul Athfal” pada workshop Wilayah ke-10 tahun 1973. Langkah ini menunjukkan besarnya perhatian ‘Aisyiyah terhadap pentingnya pendidikan sejak dini, baik pendidikan agama maupun umum, agar anak-anak tumbuh menjadi individu yang pandai, bijaksana, memahami ajaran Islam, serta dapat berperan aktif dalam pembangunan bangsa.
Pada tahun 1922, ‘Aisyiyah mendirikan musala di Kampung Kauman, Yogyakarta, yang menjadi pusat kegiatan dan tempat pertemuan anggota. Di tempat ini pula muncul berbagai ide untuk membuka amal usaha organisasi.
Setahun kemudian (1923), ‘Aisyiyah menginisiasi Gerakan Pemberantasan Buta Huruf, baik huruf Latin maupun Arab, untuk mengurangi kebodohan. Langkah ini mencerminkan peran ‘Aisyiyah dalam memajukan masyarakat, sejalan dengan perintah Allah dalam al-Quran yang dimulai dengan kata “bacalah”.
Pada tahun 1926, ‘Aisyiyah menerbitkan majalah organisasi bernama Suara ‘Aisyiyah dalam bahasa Jawa, sebagai media komunikasi untuk menyebarkan informasi organisasi yang sudah mulai berkembang jauh dari Yogyakarta. Hal ini menunjukkan pemahaman ‘Aisyiyah akan pentingnya media komunikasi yang efektif.
Baca Juga: Usaha Nyai Ahmad Dahlan dalam Membina Generasi Muda
Pada tahun 1928, ‘Aisyiyah menjadi salah satu organisasi wanita yang memprakarsai terbentuknya federasi organisasi wanita yaitu Kongres Perempuan Indonesia yang kini dikenal sebagai KOWANI. Melalui federasi ini, berbagai amal usaha dapat dikerjakan secara bersama, dengan tujuan membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan dan kebodohan.
Kongres Perempuan Indonesia diselenggarakan pada 22-25 Desember 1928 di nDalem Joyodipuran Yogyakarta. Dalam Kongres ini, ‘Aisyiyah mendapatkan banyak teman seperjuangan dari berbagai daerah di Indonesia. Dua utusan ‘Aisyiyah, Siti Munjiyah dan Siti Hayinah Mawardi turut menyampaikan pidato dalam Kongres ini. Siti Munjiyah menyampaikan topik “Derajat Wanita”. Sementara Siti Hayinah menyampaikan “Persatuan Wanita”.
Keterlibatan ‘Aisyiyah dalam Kongres Perempuan Indonesia menunjukkan komitmennya terhadap persatuan bangsa dan perjuangan menuju kemerdekaan.
Pada Kongres ke-19 tahun 1930 di Bukittinggi, ‘Aisyiyah memutuskan untuk membuka urusan Adzakirat, yang bertugas mengumpulkan dana untuk organisasi. Dana ini digunakan untuk mendukung berbagai amal usaha, termasuk mendirikan koperasi. Selain itu, Kongres juga menyerukan agar setiap cabang ‘Aisyiyah mengadakan kursus bahasa Indonesia, menyesuaikan dengan perkembangan organisasi yang meluas ke berbagai daerah di luar Yogyakarta.
Pada tahun 1937, untuk menyemarakkan Muktamar ke-26 di Yogyakarta, ‘Aisyiyah mengadakan lomba Baby Show (bayi sehat), suatu pemeriksaan bayi sehat dan penimbangan bayi (umur 0-1 tahun). Hal ini menunjukkan perhatiannya terhadap kesehatan bayi dan anak-anak. Kegiatan ini sering disebut sebagai “Kongres Bayi Sehat,” menandakan betapa pentingnya perhatian terhadap kesehatan anak-anak sejak usia dini.
2 Comments