
foto: freepik
Oleh: Dian Guci
“Durhaka sekali, orang yang berani menghalangi perempuan belajar dan melarang kaum istri mengetahui tulis baca… Nyatalah mereka yang mengharamkan ini, bertabuh di ujung lidah, bergandang di ujung bibir, demikianpun katanya itu salah dan alasannya lemah” (Siti Hayinah, 1906-1991).
Hampir seratus tahun yang lalu, Siti Hayinah, anggota Pemimpin Kongres Perempuan pertama 1928, mengungkapkan pendapatnya di atas. Di Pakistan, seabad kemudian, ada Malala Yousafzai, yang diganjar Nobel Perdamaian pada 2014 karena perjuangannya menegakkan hak anak perempuan untuk mengenyam pendidikan formal. Fakta bahwa Malala adalah Nobel laureate karena memperjuangkan hak pendidikan anak perempuan, menjadi pukulan pedih bagi dunia Islam. Sebuah kenyataan miris: abad sudah berganti, teknologi semakin hebat, namun posisi perempuan dan anak masih sama seperti ketika Siti Hayinah bicara di hadapan Kongres Perempuan.
Sampai kini, stigma sebagai “korban opresi hukum patriarkis”, masih mereduksi sosok muslimah menjadi sekedar obyek penelitian tentang “keterbelakangan” atau “kebijakan yang tak ramah gender”. Di sini kita tidak akan mempertanyakan apakah wujud represi itu benar ada. Yang patut dikaji adalah, nampaknya seolah ada semacam kesepakatan di antara para muslimah sendiri, untuk membatasi langkah intelektual mereka sampai tingkat tertentu.
Inayatillah, dosen dan peneliti Pusat Studi Gender UIN Ar Raniry Banda Aceh yang kini menjabat Rektor STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh, meneliti fenomena unik yang menggejala di kampus agama Islam. Menurut Inayah, jumlah mahasiswi di kampus-kampus ini jauh lebih banyak daripada mahasiswa. Namun, selepas wisuda, mereka seperti lenyap ditelan udara. Jumlah mahasiswi yang berminat untuk melanjutkan studi, atau memilih jalur intelektual sebagai peneliti dalam keilmuan Islam, terjun bebas hingga tinggal sepersepuluhnya. Menurut Inayah, 90% muslimah sarjana ini memilih karir dalam rumah tangga.
Sementara itu, Eka Srimulyani, Guru Besar Fakultas Psikologi UIN Ar Raniry dalam Publik dan Privat, Pekerjaan dan Relasi Kuasa dalam Rumah Tangga (2020) menjelaskan bahwa argumen yang muncul selama ini tentang dikotomi peran perempuan dan laki-laki adalah laki-laki bekerja mencari nafkah di ruang publik sementara perempuan berada di ruang privat. Ini menunjukkan polarisasi pikiran bahwa “ruang publik” adalah ranah kerja yang dibayar dan/atau berelasi dengan kekuasaan. Yang menarik, Eka juga menengarai bahwa di Aceh, pekerja “kantoran” perempuan jarang yang meniti karier hingga jenjang tertinggi, padahal jumlah mereka lebih besar daripada pegawai laki-laki.
Dalam penelitian kedua akademisi tadi, kaum muslimah yang diteliti bukannya tidak memiliki kapasitas, baik secara intelektual mau pun ekonomi. Namun mereka telah dengan sadar tidak memilih untuk menapak lebih jauh.
Seorang perempuan muda yang menjabat Pemimpin Redaksi sebuah media online di Aceh, mengaku medianya kerap kesulitan untuk menemukan perempuan yang mau menjadi narasumber. Umumnya jawaban mereka ketika dimintai kesediaan adalah melempar balik pertanyaan berbau self-awareness, “apa saya pantas?” Padahal, dari kacamata publik para perempuan calon narasumber ini tentu memang memiliki kapasitas.
Self-awareness yang tinggi di kalangan muslimah nampaknya berakar pada tradisi pendidikan dalam masyarakat, yang telah berurat berakar. “Muslimah yang baik” diharapkan untuk tidak menonjolkan diri, tidak mengutarakan pendapat yang memancing perdebatan. Sedangkan melanjutkan studi, memiliki ambisi dalam karier, juga berpendapat, semua dianggap lebih sebagai kualitas maskulin.
Ini masih ditambah dengan kecenderungan misterius di mana perempuan yang memiliki ambisi dipandang negatif oleh sesamanya. Julukan “wanita naga” bagi perempuan yang menjadi pengambil keputusan di dalam masyarakat sudah biasa didengar. Dulu, perempuan seperti ini bahkan disebut “jalang”. Pada titik tertentu, perempuan juga ditakut-takuti dengan mantera “jauh jodoh”. Di samping dianggap sebagai karakter negatif, perempuan yang memiliki ambisi akan mengalami “sabotase” dari lingkungannya sendiri, agar ia gagal menapak lebih tinggi.
Gejala ini dapat diterangkan dengan fenomena kepiting dalam ember: sekelompok kepiting dalam ember akan saling mencapit, dan kepiting yang berhasil memanjat dinding ember akan ditarik oleh kepiting lainnya sehingga kembali jatuh.
Baca Juga: Bolehkah Perempuan Safar Tanpa Mahram?
Psikolog Loretta Breuning dalam tulisannya When Others Hold You Back (2019) mengatakan bahwa sebenarnya yang dilakukan para kepiting tadi tujuannya bukan untuk menghambat kawannya. Tetapi lebih pada mekanisme survival. Di lautan, kepiting mengandalkan pada jumlah untuk bisa bertahan melawan predator. Kepergian satu saja dari kawanannya akan mengancam kelangsungan hidup mereka.
Demikian juga manusia. Sebagai mamalia sosial, manusia sedikit banyak juga tergantung pada kelompoknya. Individu yang nampak menonjol akan membahayakan keharmonisan kelompok. Bawah sadar manusia akan berusaha untuk membuat individu tersebut tetap berada dalam komunitas.
Dengan kata lain, perempuan yang bersikap negatif tentang rekannya yang menampakkan ambisi untuk naik ke jenjang lebih tinggi, sebenarnya adalah kepiting yang takut stabilitas kelompoknya akan amburadul.
Gejala ini sudah demikian mengakar sehingga banyak orang tua secara tak sadar mendidik anak perempuannya agar memberi batas imajiner pada prestasi yang mungkin diraihnya. Masih ada rekan yang menganggap bahwa pekerjaan itu “punya kelamin”. Alias membaginnya menjadi “pekerjaan laki-laki” dan “pekerjaan perempuan”.
Mantera “jauh jodoh” yang didengungkan orang tentang perempuan berpendidikan dan berjabatan tinggi, ternyata masih efektif untuk menyurutkan ambisi bagi sebagian besar perempuan. Ini juga yang menjadi alasan banyak ibu melarang anak perempuannya mengejar ambisi.
Sebenarnya, muslimah harus memiliki peluang dan dukungan yang besar untuk memiliki andil dalam pengambilan keputusan. Ini bercermin pada sosok Ummu Imarah, perempuan Anshar yang sangat asertif, tidak ragu mengutarakan pendapat. Rasulullah saw. tidak pernah mencegah Ummu Imarah urun rembug pendapat. Setelah Perang Uhud dimana Ummu Imarah ambil bagian, Rasulullah malah menyatakan bahwa derajat Ummu Imarah adalah derajat penghuni surga.
Maka, kita boleh dan bahkan harus membekali anak perempuan dengan materi intelektual, kepercayaan dan peluang yang sama dengan yang kita berikan pada lawan jenisnya.
Anak perempuan harus diberi kesempatan menyatakan pendapat, memilih jenis pendidikan dan karir yang diminatinya, dan tetap mendapat predikat “muslimah yang baik”. Ia juga harus dibolehkan menentukan batas sendiri, perilaku seperti apa yang bersedia ditolerirnya dari lingkungannya. Perempuan harus diberi hak untuk mengatakan “tidak”, dikotomi tugas antara perempuan dan laki-laki dalam Islam harus berlandaskan fitrah dan bukan kapasitas intelektual.
Sudah saatnya pula kita berhenti memandang sesama perempuan yang tengah mengejar ambisinya sebagai “jalang”. Kenapa? Karena, seperti kata Siti Hayinah dalam pidatonya pada pembukaan Kongres Perempuan I di Yogyakarta, kita ini bukan binatang. Kita bukan kepiting. Kita adalah manusia yang dibekali akal budi. Tak usah takut pada rekan yang nampak maju dan berprestasi. Bila kita saling mendukung di antara sesama perempuan, maka kita juga yang akan memetik hasilnya.