Liputan

Perempuan dalam Stigma Politik

politisi perempuan
politisi perempuan

(istockphoto/tunart)

Sampai saat ini, masih banyak masyarakat yang berpegang pada stereotip bahwa perempuan belum punya kapasitas mumpuni untuk berkiprah di dunia politik. Stereotip tersebut berujung pada praktik diskriminasi dan marginalisasi terhadap kaum perempuan.

Peneliti Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta, Dina Mariana, mengatakan, wujud nyata marginalisasi itu adalah tidak terlibat dan/atau tidak dilibatkannya perempuan dalam perumusan sebuah kebijakan. Padahal, perempuan punya jaringan, pengetahuan, dan kepedulian terhadap persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat, baik di sektor sosial, ekonomi, pendidikan, lingkungan, dan sebagainya.

Menurut Dina, tidak dilibatkannya perempuan di dalam perumusan sebuah kebijakan adalah miris sekaligus aneh. Sebab bagaimana mungkin perempuan yang merupakan subjek strategis di dalam proses pembangunan masyarakat, tetapi yang membuat kebijakan adalah laki-laki an sich.

Oleh karenanya, kehadiran perempuan di sektor politik harus terus didorong, minimal agar kebijakan yang dirumuskan dan diputuskan pro terhadap kepentingan perempuan dan anak. Hanya saja, kata Dina, ada beberapa kendala yang dihadapi perempuan ketika hendak masuk ke dunia politik, misalnya keterbatasan sumber daya ekonomi saat kampanye, sumber daya politik, sumber daya jaringan, dan sebagainya.

“Sumber daya yang terbatas itu yang menjadi sandungan. Jadi bukan tentang kapasitas perempuan. Ada persoalan budaya, jaringan, dan ekonomi yang itu tidak memungkinkan mereka berkompetisi secara fair,” ujar Dina ketika dihubungi Suara ‘Aisyiyah via panggilan WhatsApp.

Artinya, iklim politik di Indonesia belum sepenuhnya mendukung kebijakan afirmasi keterlibatan perempuan. Bahkan, kalaupun ada perempuan yang menjadi anggota legislatif, hal itu bukan lantas menafikan fakta bahwa suara perempuan masih dipinggirkan. Kalau kehadiran perempuan masih sedikit, kata Dina, perempuan akan tetap mengalami marginalisasi.

Supaya perempuan dapat terlibat dan berkontribusi dalam perumusan kebijakan, ia menyebut beberapa skema yang terlebih dahulu harus dilakukan, seperti: (a) memberdayakan perempuan di sektor-sektor strategis, dan (b) mendorong aksi kolektif perempuan. “Jangan sampai ada perempuan yang menjadi predator bagi perempuan lainnya,” terangnya.

Militansi Perempuan

Di Kalurahan Sendangsari, Kapanewon Minggir, Kabupaten Sleman, stereotip dan marginalisasi perempuan itu coba dihilangkan. Menurut Sunu Tri Widada, segenap komponen masyarakat baik laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda, dan apapun afiliasi keagamaan dan golongan, di Kalurahan Sendangsari, didorong untuk ikut berpartisipasi dan terlibat di ruang-ruang politik.

Politik yang dimaksud Sunu bukanlah semata tentang suksesi kepemimpinan. Lebih dari itu ialah menyangkut regenerasi, proses pendewasaan, perubahan pola pikir dan perilaku, dan pelibatan masyarakat di dalam proses perumusan kebijakan sehingga lahir kebijakan yang berpihak kepada warga.

Dalam rangka itu, pihak desa membentuk dan memberdayakan masyarakat melalui berbagai wadah, seperti Karang Taruna, PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga), organisasi kepemudaan, dan ruang kaderisasi bernama “vocal point”. Berbagai wadah ini memainkan peran sentral untuk mendidik dan menumbuhkan anak muda sehingga mereka siap untuk berkompetisi ketika ada kesempatan.

“Terutama yang dari kelompok muda kami rangkul untuk sama-sama membuat Sendangsari jadi desa yang melek politik. Butuh proses memang. Tetapi seiring berjalannya waktu, kami sudah sepakat dan sepemahaman, satu visi dan satu persepsi, ingin menginisiasi dan mewujudkan Sendangsari sebagai desa melek politik,” jelasnya.

Baca Juga: Perempuan, Srikandi Politik yang Terpingirkan

Salah satu hasil positif yang dipetik dari proses penyadaran dan penggemblengan itu adalah adanya keterlibatan perempuan di dalam struktur dan perumusan kebijakan di Sendangsari. Ketika ditemui di Kantor Kalurahan Sendangsari, Sunu mengungkapkan bahwa representasi perempuan kini teramat kentara. Setiap ada even, katanya, selalu muncul tokoh-tokoh perempuan. Ia kemudian menyebut beberapa nama perempuan yang kini memegang jabatan strategis di lembaga-lembaga kalurahan.

Tidak cukup berkiprah di lingkup desa, para perempuan juga didorong untuk menjadi panitia pemilihan di lingkup kecamatan, seperti KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara), PPS (Panitia Pemungutan Suara), dan sebagainya. “Ternyata,” kata Sunu, “justru yang lebih militan itu perempuan”.

Dalam pengamatannya, perempuan lebih sensitif dan peka dalam membaca isu sosial yang terjadi di masyarakat. Sebagai implikasinya, beberapa isu yang sebelumnya “tidak tersentuh” karena ketidakhadiran perempuan di dalam perumusan kebijakan menjadi lebih diperhatikan.

Potensi dan Peluang Kader ‘Aisyiyah

Dina Mariana melihat, ‘Aisyiyah sebenarnya punya energi dan sumber daya perempuan yang besar untuk membawa perempuan bergerak lebih masif di sektor politik. Apa yang disampaikan Dina ini diafirmasi oleh Wakil Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah Titi Anggraini.

Perempuan yang sudah malang melintang di dunia pemilu ini mengatakan bahwa ‘Aisyiyah sudah teruji mampu melahirkan kader mumpuni yang punya kapasitas dan integritas politik yang baik. Bukan tanpa alasan. Pasalnya, ‘Aisyiyah menempa kader-kadernya dengan proses kaderisasi dan iklim berorganisasi yang kental dengan nilai-nilai kepemimpinan dan integritas yang kuat.

Dengan bekal kaderisasi dan penanaman nilai-nilai kepemimpinan tersebut, menurutnya, akan mudah bagi kader ‘Aisyiyah untuk menjalankan peran publik yang diamanahkan kepada mereka, baik pada posisi eksekutif maupun legislatif. “Istilahnya, kader ‘Aisyiyah adalah figur berkemajuan yang merupakan sosok politik yang “sudah jadi” dan siap mengisi berbagai posisi publik yang ada,” ujar Titi.

Titi menyebut ada banyak peran publik yang bisa “direbut” oleh perempuan termasuk oleh kader ‘Aisyiyah, baik di level desa maupun daerah, seperti menjadi kepala desa atau kepala dan wakil kepala daerah. Selain itu, kader ‘Aisyiyah juga perlu merebut posisi di badan perwakilan desa dan dewan perwakilan daerah dalam rangka perjuangan pemenuhan dan penguatan hak-hak perempuan, khususnya di bidang politik.

Dari sisi kapasitas dan kompetensi, ia tidak melihat ada banyak hambatan para kader ‘Aisyiyah untuk berkiprah di bidang politik. Menurutnya, hambatan sebenarnya yang dialami perempuan adalah: pertama, adanya stigma atas politik yang masih dianggap buruk dan transaksional Kedua, stereotip budaya yang menganggap politik sebagai dunianya laki-laki.

Ketiga, kendala ekonomi sehingga perempuan kesulitan untuk dapat berkiprah lebih aktif, terutama karena ongkos politik di Indonesia terhitung “mahal”. Keempat, “adanya anggapan bahwa kiprah melalui amal usaha maupun bidang pendidikan dan kesehatan lebih memberi manfaat langsung pada kepentingan orang banyak, khususnya perempuan dan anak,” jelas Titi.

Dengan adanya hambatan tersebut, maka ‘Aisyiyah perlu mendorong kader-kadernya untuk lebih melek politik dan mau terlibat di dalamnya. Bagaimana caranya? Pertama, menjadikan nilai-nilai kepemimpinan politik sebagai bagian integral dalam proses kaderisasi di ‘Aisyiyah. Kedua, melalui otoritas penganggaran, legislasi, dan pengawasan yang diperankan oleh para pejabat publik. “Kesadaran itu perlu dibangun bersama, sebab visi dan misi ‘Aisyiyah akan lebih mudah kita capai kalau banyak kader yang mengisi posisi-posisi publik yang ada di negara kita,” jelasnya.

Selanjutnya, untuk meluaskan daya jangkau pelibatan kader di bidang politik, Titi mengatakan bahwa ‘Aisyiyah juga dapat berkolaborasi dan bersinergi dengan berbagai kementerian dan lembaga terkait. Kolaborasi dan sinergi itu misalnya dilakukan dengan KPU, Bawaslu, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Kementerian, maupun Institusiinstitusi serupa lainnya.

“Banyak sekali program pemberdayaan politik yang dapat dimasuki dan melibatkan ‘Aisyiyah. Hal yang mana berdasar pengamatan saya, ‘Aisyiyah juga sudah terlibat aktif di dalamnya. ‘Aisyiyah juga selama ini dianggap sebagai sumber rekrutmen anggota dan pengurus parpol yang sangat strategis. Tinggal diperkuat saja, karena jalurnya sudah tersedia,” pungkasnya. (Sirajuddin)

Related posts
Perempuan

Mengapa Istrimu Berjilbab?

Oleh: Ahsan Jamet Hamidi* Saya pernah bekerja di sebuah lembaga yang tidak terafiliasi dengan agama tertentu. Suatu hari, supervisor saya yang kebetulan…
PerempuanSains dan Tekno

Perempuan dan Energi Terbarukan (ETB)

Energi menjadi kebutuhan hidup siapapun. Negara bertanggungjawab memenuhi dan mengatur kebutuhan energi bagi seluruh warga negara tanpa kecuali. Kebutuhan energi masyarakat digunakan…
Lensa OrganisasiSejarah

Di Mana Aisyiyah Ketika Masa Revolusi Indonesia?

Oleh: Ghifari Yuristiadhi Masyhari Makhasi* Tahun ini, Indonesia telah memasuki usia yang ke-79. Hal ini menjadi momentum untuk merefleksikan perjuangan para pendahulu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *