Oleh: Hana Mufidatul Roidah*
Di banyak ruang kehidupan masyarakat Indonesia, ungkapan seperti “perempuan tempatnya di dapur” masih sering terdengar. Ia menjadi bagian dari cara berpikir yang diwariskan turun-temurun, bahkan diucapkan dengan nada bercanda hingga mengandung bias gender yang kuat.
Dapur seolah menjadi simbol identitas perempuan. Tempat yang dianggap paling “tepat” bagi mereka untuk berperan dan mengabdi.
Namun, di tengah perubahan zaman dan meningkatnya kesadaran akan kesetaraan gender, pandangan ini patut dikaji ulang. Apakah benar berada di dapur adalah kodrat perempuan yang tidak bisa diubah, ataukah hanya hasil konstruksi sosial yang terbentuk dari budaya patriarki yang telah mengakar?
Kodrat Menurut Islam: Setara dalam Derajat, Berbeda dalam Peran
Islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam, tidak pernah menempatkan perempuan di posisi yang rendah dibandingkan laki-laki.
Dalam Q.S. An-Nahl [16]:97, Allah menegaskan, “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
Ayat ini menunjukkan bahwa ukuran kemuliaan manusia tidak terletak pada jenis kelamin, tetapi pada amal saleh dan ketakwaannya.
Dalam Islam, istilah “kodrat” lebih tepat dimaknai sebagai ketentuan biologis dan fitrah yang diberikan Allah seperti kemampuan perempuan untuk mengandung, melahirkan, dan menyusui.
Sementara itu, peran sosial seperti memasak, mencuci, atau mengurus rumah tidak termasuk dalam kategori kodrat. Tugas-tugas tersebut bersifat ijtihadiyyah (tergantung pada kesepakatan sosial dan kondisi). Artinya, siapa pun dapat melaksanakannya, baik perempuan maupun laki-laki.
Baca Juga: Perempuan di Tengah Krisis Iklim: Dari Pesisir, Pertanian, Hingga Perkotaan
Nabi Muhammad saw. memberikan teladan yang menepis stereotip gender dalam pekerjaan rumah. Dalam hadis riwayat al-Bukhari, Aisyah ra. pernah berkata, “Rasulullah saw. biasa membantu pekerjaan keluarganya di rumah; beliau menjahit pakaian, memerah susu, dan melayani diri sendiri.”
Hadis ini menjadi bukti bahwa Islam tidak pernah menganggap urusan rumah tangga sebagai tanggung jawab tunggal perempuan. Sayangnya, dalam perjalanan sejarah, ajaran Islam yang egaliter ini sering ditafsirkan secara bias oleh budaya patriarki.
Akibatnya, banyak masyarakat menganggap bahwa urusan dapur adalah “tugas alami” perempuan, padahal Islam memandangnya sebagai hasil kesepakatan, bukan kodrat.
Dapur dalam Kacamata Sosial: Simbol Cinta atau Alat Penyekatan?
Secara budaya, dapur memiliki dua sisi makna. Di satu sisi, ia bisa menjadi simbol kasih sayang dan pengorbanan. Banyak perempuan yang menjadikan dapur sebagai ruang ekspresi cinta, tempat mereka menyiapkan makanan bagi keluarga dengan sepenuh hati.
Namun di sisi lain, dapur juga sering dijadikan alat untuk mengekang ruang gerak perempuan.
Sosiolog kontemporer menilai bahwa identitas perempuan yang dilekatkan pada dapur adalah bentuk konstruksi sosial yang muncul dari sistem patriaki.
Dalam sistem ini, laki-laki ditempatkan sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah, sementara perempuan dianggap bertugas menjaga rumah. Pembagian ini kemudian dilegitimasi oleh nilai-nilai budaya, sehingga dianggap “alami” meski sejatinya hasil rekayasa sosial.
Padahal, sejarah Islam sendiri menunjukkan betapa luasnya peran perempuan di luar dapur. Khadijah binti Khuwailid, istri pertama Nabi, adalah seorang saudagar sukses yang menjadi mitra bisnis sekaligus penopang perjuangan dakwah Rasulullah.
Aisyah ra. dikenal sebagai cendekiawan perempuan yang meriwayatkan ribuan hadis dan menjadi rujukan sahabat dalam persoalan hukum Islam. Bahkan dalam sejarah Nusantara, perempuan seperti Cut Nyak Dien dan Rahmah El Yunusiyyah membuktikan bahwa ruang publik bukanlah wilayah eksklusif laki-laki.
Dengan demikian, menjadikan dapur sebagai batas peran perempuan justru mengerdilkan potensi mereka. Perempuan bukanlah ciptaan yang ditakdirkan hanya untuk melayani, melainkan untuk berperan dan berkontribusi sesuai kemampuan serta pilihan hidupnya. Islam menempatkan perempuan dan laki-laki sebagai dua mitra sejajar yang saling melengkapi dalam mewujudkan kemaslahatan hidup.
Menghapus Sekat, Menggerakkan Perempuan
Sejak berdiri lebih dari satu abad lalu, Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah telah menjadi pelopor gerakan pembebasan perempuan dari kungkungan domestik.
K.H. Ahmad Dahlan menegaskan bahwa Islam yang sejati adalah Islam yang memuliakan perempuan melalui ilmu pengetahuan dan amal nyata. Karena itu, ‘Aisyiyah hadir untuk menegaskan bahwa perempuan bukan hanya ibu rumah tangga, tetapi juga pendidik masyarakat dan agen perubahan sosial.
‘Aisyiyah membuktikan bahwa perempuan dapat aktif di berbagai bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hingga dakwah tanpa kehilangan jati dirinya sebagai Muslimah.
Melalui gerakan Islam Berkemajuan, ‘Aisyiyah menolak pandangan sempit yang membatasi perempuan di dapur. Sebaliknya, organisasi ini mengajarkan keseimbangan antara peran domestik dan publik. Perempuan boleh mencintai dapur sebagai ruang kasih sayang, tetapi tidak boleh terpenjara di dalamnya.
Dalam praktiknya, banyak kader ‘Aisyiyah yang berkiprah sebagai guru, tenaga kesehatan, pebisnis, hingga tokoh masyarakat. Mereka membuktikan bahwa menjadi perempuan berdaya tidak berarti menolak kodrat, tetapi menghidupkan nilai keadilan dan kesetaraan sebagaimana diajarkan Islam.
K.H. Ahmad Dahlan pernah berpesan kepada para perempuan Muhammadiyah: “Jadilah manusia yang berguna, bukan hanya bagi keluargamu, tetapi bagi umat dan kemanusiaan.”
Pesan itu menjadi refleksi bahwa kontribusi perempuan sejatinya melampaui tembok dapur, ia mencakup pengabdian pada sesama, pada ilmu, dan pada kebaikan.
Perempuan Berhak Menentukan Jalan Hidup
Dapur tidaklah salah, dan perempuan yang memilih mengurus rumah tangga sepenuhnya pun tidak bisa dianggap kurang berdaya. Namun, membatasi perempuan hanya di dapur adalah bentuk ketidakadilan yang bertentangan dengan nilai Islam. Setiap perempuan berhak menentukan jalan hidupnya, apakah ingin menjadi ibu rumah tangga, pekerja profesional, atau keduanya.
Islam memuliakan perempuan bukan karena di mana ia berada, tetapi karena amal dan kontribusinya. Semangat Islam Berkemajuan mengajarkan bahwa kemuliaan perempuan terletak pada keberaniannya untuk berilmu, berkarya, dan berperan aktif dalam membangun peradaban.
Maka, sudah saatnya masyarakat berhenti mengukur kehormatan perempuan dari dapur, dan mulai menghargainya dari peran nyata yang ia berikan kepada kehidupan. Karena sejatinya, Islam tidak menempatkan perempuan di belakang laki-laki, melainkan di sampingnya berjalan bersama, menuju kemajuan dan keberkahan yang diridai Allah.
*Mahasiswa Ilkom UNISA Yogyakarta dan Jurnalis Magang Suara ‘Aisyiyah


1 Comment