Wawasan

Perempuan dan Ijtihad Kontemporer untuk Korban Kekerasan Seksual

Redefinisi Ashnaf Zakat

Redefinisi Ashnaf ZakatOleh: Halwa Karimah Intansari*

Sudah lebih dari satu bulan kita menjalani kehidupan di tahun 2022. Beberapa orang telah melakukan refleksi dan rekreasi sebagai self love satu tahun belakang. Banyak peristiwa yang terekam satu tahun belakangan, salah satunya adalah lagi-lagi Indonesia kembali menelan banyak korban kekerasan seksual. Hal ini dibenarkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).

Kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang Januari-Oktober 2021 naik hingga dua kali lipat dibandingkan tahun 2020, yaitu 4.500 aduan. Meskipun dalam Catatan Tahunan (Catahu) 2020 mengalami penurunan signifikan, yakni 299.911 kasus dibandingkan tahun sebelumnya, namun pada kasus ranah personal mengalami peningkatan sebanyak 79% atau 6.480 total pelaporan kasus.

Fenomena puncak gunung es ini telah mencuat dalam ruang-ruang akademik, seperti bangku sekolah sampai perguruan tinggi. Sayangnya, upaya pemerintah Indonesia tidak kunjung memberikan payung hukum secara tegas mengenai hal-hal tersebut. Sebelumnya, Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang hari ini sudah berganti nama menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) telah masuk Proglenas tahun 2014, namun sampai hari ini belum disahkan.

Tetapi menariknya, Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan telah melakukan ikhtiar progresif untuk pencegahan dan penangan korban seksual di lingkungan perguruan tinggi, sehingga tidak heran pro-kontra hadirnya Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 menjadi polemik. Bagaimana tidak, layaknya kotak pandora, pemberitaan mengenai pelaku korban kekerasan meledak. Misalnya saja pencabulan terhadap 12 santri –dan tidak sedikit yang hamil dan melahirkan–, termasuk kasus baru yang melibatkan mahasiswa UMY yang melakukan perbuatan biadab terhadap korban.

Baca Juga: Kekerasan Seksual pada Anak dan Perempuan

Ada persepsi bahwa perempuanlah yang menjadi ‘obyek’ pengundang syahwat, padahal sebagai manusia kita telah dibekali nafsu. Hal itulah yang membedakan manusia dengan malaikat. Artinya, semua berpotensi menjadi penggoda. Hanya saja, tergantung bagaimana masing-masing orang memanage diri dalam cara pandang atas lawan jenis dan untuk tidak melakukan pelecehan. Sehingga gerakan kolektif bernuansa filantropi juga perlu digalakkan. Lantas ikhtiar dan kontribusi apa yang bisa kita bantu untu para korban?

Gagasan yang dibawa oleh Ibunda kita, Yulianti Muthamainnah menjadi jawaban konkret atas persoalan yang terjadi. Sebelumnya, ia mencoba ikhtiar untuk melakukan bedah pemikiran dan penggalangan dana zakat yang dilakukan secara kontinyu selama 16 pekan yang diselenggarakan Pusat Studi Islam Perempuan dan Pengembangan Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (PSIPP ITB AD) Jakarta.

Ada dua buah pemikiran yang dapat dipahami penulis, yakni menafsirkan ulang penerima zakat dan memastikan adanya bentuk ijtihad kontemporer untuk para korban kekerasan seksual dengan berhaknya zakat yang bisa melindunginya.

Allah berfirman dalam Q.S. at-Taubah ayat 60 (yang artinya): “sesungguhnya zakat-zakat it, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat (amil zakat), para muallaf yang dilunakkan hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana

Dalam ayat tersebut jelas ada delapan golongan yang wajib menerima dan berhak atas zakat, yakni  fakir, miskin, amil, riqab, gharim, sabilillah, dan ibnu sabil. Lalu di posisi mana para korban kekerasan seksual sehingga dapatkan keadilan? Mereka menempati kriteria riqab. Kenapa demikian? Karena banyaknya korban kekerasan seksual posisinya dilemahkan selayaknya budak, tidak ada keahlian dalam pribadi, bahkan tidak mendapatkan dukungan dan perlindungan, yang seharusnya dilindungi, diadvokasi, dan dipulihkan.

Penafsiran baru riqab menurut Zainuddin, sebagaimana dikutip Yulianti (2021), adalah mereka yang terkungkung akibat kemiskinan struktural dan korban perdagangan (trafficking) manusia, miskin secara ekonomi dan eksploitasi, dipaksa melacurkan diri, dan tidak memanusiakan para pekerja rumah tangga. Sebagai umat Islam yang mempunyai landasan atau pedoman hidup, yakni al-Quran dan as-Sunnah, maka perlu kita untuk mengamalkan dan mengimplementaasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Baca Juga: Redefinisi Ashnaf Zakat dalam Perspektif Tarjih

Seperti dalam surat al-Maun yang kemudian muncul istilah Teologi Al-Maun dan dipopulerkan oleh Muslim Abdurrahman. Ia terinspirasi dari kisah Kiai Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) yang mengajarkan kepada muridnya kala itu selama tiga bulan dengan terus menerus mengulang-ulang pada setiap pertemuan. Hingga tujuan Kiai Dahlan pada saat itu bukan hanya untuk hafalan semata, namun mengajarkan dan mengamalkan akan substansi yang ada di dalam surat tersebut dan dijadikan sebuah gebrakan dan gerakan.

Implementasi pemikiran Kiai Ahmad Dahlan digambarkan melalui sikap welas asih (filantropi) kepada kaum yang tertindas ataupun kaum yang termarginalisasi. Ibadah ritual kepada Allah tidak ada artinya jika tidak merefleksikan kesadaran dalam kemanusiaan atau melakukan ibadah sosial. Wujud dari spirit teologi al-Maun ini bisa dijumpai saat ini, yakni kehadiran rumah sakit, lembaga panti asuhan, lembaga pendidikan, dan sebagainya. Namun tidak hanya itu, membantu tetangga yang sedang kesusahan dalam menghadapi situasi seperti ini juga termasuk bagian dari implementasi spirit tersebut.

Jadi, penting membawa spirit Al Maun dalam mendorong lembaga-lembaga filantropi (Lazismu, Lazisnu, Dompet Dhuafa, Baznas, dsb) untuk menambahkan para korban kekerasan seksual sebagai kelompok yang berhak juga atas pembagian zakat.

 

*Kader PC IMM Kudus

Related posts
Berita

Tindak Lanjuti Terbentuknya SATGAS PPKS, Polita Sumbar Adakan Sosialisasi

Padang, Suara ‘Aisyiyah – Politeknik ‘Aisyiyah (Polita) Sumatera Barat (Sumbar) adakan kegiatan Sosilaisasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) bagi sivitas akademika…
Berita

UMMI, Kampus Bebas Kekerasan Seksual Ikuti Workshop Peningkatan Kapasitas Satgas PPKS

Sukabumi, Suara ‘Aisyiyah – Berangkat dari Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi,…
Berita

Perempuan Juga Bisa Menjadi Ketua Kloter: Kisah Siti Rohmah dan Mafrudah

Makkah-Suara ‘Aisyiyah “Ketua kloter perempuan ki abot, wong laki aja abot” (Ketua kloter perempuan ki berat, laki-laki aja berat-red). Ungkapan yang terlontar…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *