Oleh: David Efendi*
Fenomena akibat perubahan alam sering disebut sebagai perubahan iklim atau krisis iklim. Kedua istilah ini memiliki konotasi yang sedikit berbeda. Perubahan iklim memiliki nada yang netral dan kurang menunjukkan kemendesakan (urgensi). Sementara, krisis iklim menunjukkan suasana kemendesakan, atau dorongan untuk berbuat sesuatu karena dampaknya yang sangat nyata.
Muhammadiyah, tentu dengan ‘Aisyiyah di dalamnya, dapat dikatakan tergolong memiliki terminologi krisis iklim. Namun, untuk menyebutnya, Muhammadiyah menggunakan istilah krisis ekologi. Hal ini mengemuka tepatnya sejak Muktamar Muhammadiyah 2015. Istilah ini digunakan dalam dokumen resmi ataupun pembicaraan yang berkembang di dalam “konggres” Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah.
Setidaknya ada dua faktor yang memengaruhi bagaimana sebuah komunitas atau organisasi memberikan respons terhadap berbagai persoalan yang disebabkan oleh perubahan alam, yaitu faktor eksternal dan faktor internal berupa nilai-nilai yang melekat (embedded) di dalam nalar teologis komunitas tersebut.
Apa yang Dimiliki ‘Aisyiyah?
Faktor eksternal datang dari situasi global yang menyajikan beragam pengetahuan tentang perubahan iklim dan pemanasan global. Terkait dengan hal ini, harus diakui, Muhammadiyah atau organisasi perempuan ‘Aisyiyah sedikit terlambat untuk membangun infrastruktur guna meresponsnya. Keterlambatan tersebut punya banyak penjelasan. Selain itu, keterlambatan itu bersifat relatif karena hanya bisa dibandingkan dengan gerakan perempuan di luar negeri yang lebih awal mengupayakan pendidikan ekoliterasi dan ketahananan lingkungan. Misalnya gerakan di India, Tunisia, Turki, dan negara-negara muslim di Benua Afrika.
Adapun faktor internal yang dimiliki ‘Aisyiyah dapat terlihat dalam ruangruang pendidikannya yang memang terbuka bagi beragam pengetahuan umum, agama, sains, dan informasi global. Nilai-nilai yang menunjukkan kepedulian pada lingkungan secara kuat terlihat dalam ruang-ruang pendidikan ‘Aisyiyah dan hal ini dapat dilihat dalam fakta sejarah pergerakan perempuan ini. Pengembangan pengetahuan, pendidikan, dan literasi yang berlangsung di ‘Aisyiyah memuat ekoliterasi di dalamnya. Perlu dicatat bahwa dalam hal ini pendidikan tidak dimaknai sebagai sesuatu yang terpisah dari hal-hal praktis karena pada umumnya kegiatan Fenomena akibat perubahan alam sering disebut sebagai perubahan iklim atau krisis iklim.
Kedua istilah ini memiliki konotasi yang sedikit berbeda. Perubahan iklim memiliki nada yang netral dan kurang menunjukkan kemendesakan (urgensi). Sementara, krisis iklim menunjukkan suasana kemendesakan, atau dorongan untuk berbuat sesuatu karena dampaknya yang sangat nyata. Dan salah satu pilar penting dalam peperangan agar tidak kalah adalah dengan membangun pendidikan literasi lingkungan atau iklim yang memadai. ‘Aisyiyah merupakan suatu applied science. Karakter ini sama persis dengan nalar ekoliterasi Capra (2009). Dari kesadaran akan krisis ekologi, tumbuh menjadi kepedulian atau empati, lalu mendorong adanya perbuatan (aksi langsung). Itulah nalar yang mengge-rakkan ‘Aisyiyah seperti tampak pada beragam program lumbung hidup dan pendidikan lingkungan.
Faktor internal selanjutnya adalah nilai-nilai Qurani dan hadis yang menjadi acuan utama ‘Aisyiyah. Kedua acuan itu telah melahirkan respons yang relevan terhadap berbagai derita dan kerusakan lingkungan yang nyata seperti kasus gagal panen, kekeringan, banjir, darurat sampah, pandemi, dan juga problem penggunaan sumbersumber energi yang menimbulkan pencemaran lingkungan. Masalah terakhir ini telah memicu kelompok perempuan ‘Aisyiyah mengemukakan wacana pentingnya panel surya sebagai teknologi ramah lingkungan dan energi bersih.
Baca Juga: Resep Ala Aeshnina: Perjuangan Menyelamatkan Lingkungan
Banyak ayat dan nilai-nilai Islam yang sangat memadai bagi organisasi perempuan ini untuk memobilisasi dukungan, sumber daya, jaringan, kemitraan global, dan juga memastikan bahwa gerakan lingkungan adalah bagian dari ibadah yang tidak kalah penting dari ibadah wajib. Dakwah Islam untuk perempuan pun tak bisa dipisahkan dari ketersediaan daya dukung lingkungan karena bagi perempuan, keberadaan sumber daya alam, misalnya air, merupakan perkara yang sangat vital. Pernyataan ini sebagaimana teori ekofeminisme memercayai bahwa jika alam rusak, perempuan adalah kelompok yang paling terdampak dan berisiko. ‘Aisyiyah merupakan organisasi yang sedang membuktikan bahwa Islam adalah agama hijau. Islam punya teladan bagaimana nabi-nabi membangun peradaban tanpa merusaknya.
Muslimah Environmentalis
Bagi penulis, pelembagaan gerakan lingkungan merupakan bukti tak terbantahkan akan fenomena munculnya muslimah environmentalis dengan basis organisasi dakwah perempuan berkemajuan yang ada di Indonesia. Selama beberapa dekade, gerakan lingkungan didominasi oleh kelompok ilmuwan dan NGO internasional. Entitas muslim dianggap absen selama ini hingga munculnya apresiasi penting dari Anna Gaade (2019) yang mendokumentasikan gerakan Islam dan lingkungan di Indonesia dengan istilah muslim environmentalism yang menunjukkan bahwa kelompok Islam di Indonesia tidaklah absen dalam kepedulian dan respons nyata terhadap berbagai isu kerusakan alam.
Mereka hadir dan memberikan warna yang beragam. Dimensi literasi atau ekoliterasi dalam gerakan perempuan Islam seperti ‘Aisyiyah tidak hanya berkutat pada pengetahuan lingkungan, tetapi sangat komprehensif, meliputi internalisasi nilai, pemberdayaan, edukasi, sosialisasi, dan pembangunan ekonomi keluarga yang kemudian disebut sebagai pembangunan kelentingan keluarga. LLHPB ‘Aisyiyah telah mendokumentasikan beragam respons dan aktivitas perempuan ‘Aisyiyah pada masa pandemi yang sangat penting untuk diapresiasi sebagai kekuatan perubahan positif yang perlu terus-menerus diupayakan.
Literasi iklim merupakan hal mendasar dan terus diupayakan oleh ‘Aisyiyah dengan beragam forum kajian yang menghadirkan para ahli. Yang perlu dicatat, pesertanya sangat banyak dalam kajian bakda subuh. Antusiasme ini menunjukkan gerakan pendidikan ekoliterasi bagi perempuan mendapatkan perhatian lebih oleh anggota-anggotanya. Semua kajian itu juga didokumentasikan dalam Channel LLHPB ‘Aisyiyah. Ini juga telah mengundang banyak peneliti untuk memperhatikan dinamika gerakan pendidikan lingku-ngan di dalam organisasi perempuan terbesar ini. Kekuatan lainnya adalah pendidikan melalui majalah dan website yang sangat aktif, dan juga forum resmi yang terus-menerus berjalan simultan dari pusat ke ranting.
Saling Menopang Menyelamatkan Bumi
Mantan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim, dalam sebuah wawancara di majalah Prisma (2012) mengatakan, “Hadapi perubahan iklim seperti berperang!” Dan salah satu pilar penting dalam peperangan agar tidak kalah adalah dengan membangun pendidikan literasi lingkungan atau iklim yang memadai. Pengetahuan adalah senjata perang itu. Bagaimana hal ini akan menjadi praktik terbaik di ‘Aisyiyah sebagai kelompok perempuan enviromentalis di Indonesia? Tentu penulis dengan gampang menemukan jawabannya karena organisasi ini sudah will established sehingga progresnya tak lagi perlu diragukan.
Pertama, sebagaimana anjuran Fritjof Capra (1996), bahwa gerakan lingkungan adalah ekosistem besar yang perlu saling menopang dari keragaman perannya sehingga network, diversitas, dan saling ketergantungan menjadi utama. ‘Aisyiyah sudah punya struktur yang solid sehingga praktik ekoliterasi bisa dengan mudah dikelola dari level individu, komunitas, jamaah, peserta didik, dan organisasi. Kedua, kolaborasi gerakan pendidikan lingkungan akan sangat mudah karena melalui nalar inklusivitasnya, ‘Aisyiyah dapat bekerja sama dengan berbagai mitra, baik lokal, nasional, maupun global. Lalu, tak bisa dilupakan bahwa eksosistem gerakan lingkungan di Muhammadiyah sudah sangat hidup di berbagai UPP, ortom, dan amal usaha. Inilah zaman ekoliterasi yang sedang dilakoni ‘Aisyiyah untuk meneguhkan bahwa perempuan berkemajuan merupakan salah satu pilar kemajuan muslimah environmentalis yang akan memberikan kontribusi nyata bagi penyelamatan planet bumi. Insyalllah. [1/24]
*Sekretaris LHKP PP Muhammadiyah
1 Comment