- Tulisan ini dalam rangka menyambut Tanwir 1 'Aisyiyah Januari mendatang. Suara 'Aisyiyah akan menyajikan banyak tulisan lain seputar isu perempuan dan Islam

Sc: Islami.co
Oleh: Aly Aulia*
Dalam sejarah tradisi Arab jahiliyah, kondisi perempuan sangat memprihatinkan. Perempuan dianggap tidak berharga, ditindas, dirampas, dijadikan tawanan, bahkan menjadi komoditas. Mengubur bayi perempuan hidup-hidup merupakan hal biasa yang terjadi. Dalam hal perkawinan, perempuan diperlakukan semena-mena oleh suaminya, dipoligami tanpa batas dan syarat, serta dapat ditukar dengan orang lain. Perempuan tidak mendapat hak waris, bahkan jika suaminya meninggal, ia menjadi barang yang dapat diwariskan kepada anak tirinya.
Realitas tidak manusiawi saat itu disebabkan oleh paradigma bahwa perempuan secara eksistensi berasal dari laki-laki, hidupnya untuk laki-laki, dan tidak memiliki independensi atas dirinya. Mengenai perempuan, al-Quran menjelaskan dengan sangat lengkap. Perempuan dalam al-Quran disebut dengan kata mar’ah, nisa’, untsa, banat, serta lebih umumnya dengan sebutan-sebutan yang menggunakan dlamir muannats, seperti mukminat, muslimat, shalihat, zaniyat, dan sebagainya. Dalam indeks al-Qur’an sebutan ini terdapat dalam berbagai ayat, di antaranya dalam surat al-Baqarah (2) :178.
Selain itu, terdapat pula dalam surat al-Nisa (4) : 25, 7, 98, 127, 128, Ali Imran (3) : 14, al-Maidah (6): 139, dan sebagainya. Di antara penjelasan al-Qur’an terkait perempuan ialah penjelasan mengenai asal-usul perempuan, eksistensi perempuan, relasi perempuan dengan laki-laki, hak dan kewajiban perempuan, serta perempuan dan penguasaan ilmu pengetahuan. Tulisan ini akan memfokuskan pembahasan pada persoalan perempuan dan penguasaan ilmu pengetahuan.
Kepedulian al-Qur’an tentang pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan dapat dilihat dari dorongan untuk belajar, berpikir, dan merenung. Ayat yang pertama kali turun berisi perintah membaca (iqra’).
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan” (Q. S. AlAlaq [96]: 1).
Perintah Allah tersebut tidak hanya ditujukan kepada Nabi Muhammad saw., tetapi berlaku juga untuk umatnya, baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini didukung oleh ayat serta hadis yang berisi pujian terhadap orang-orang yang berpengetahuan dan kecaman kepada mereka yang tidak berpengetahuan.
Selain itu, banyak ayat yang “memancing” kita supaya berpikir, menggunakan akal, melakukan observasi, kajian, penelitian, dan introspeksi. Ungkapan ta‘qilun/ya‘qilun, yatafakkarun, dan sebagainya yang diawali dengan la‘alla menuntut kita untuk melakukan kajian, sebagaimana dalam firman-Nya,
لَوْ أَنْزَلْنَا هَٰذَا الْقُرْآنَ عَلَىٰ جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ ۚ وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Kalau sekiranya Kami turunkan al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah-belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaanperumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir”(Q. S. al-Hasyr [59]: 21)
Nabi Muhammad saw. juga menegaskan dalam hadisnya bahwa menuntut ilmu adalah salah satu upaya yang mengantarkan seseorang menuju surganya. Nabi saw. bersabda: “(Diriwayatkan) dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw. bersabda: ”siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu maka Allah memudahkan untuknya jalan menuju surga” (H.R. atTurmuzdi).
Di lain kesempatan Nabi saw. bersabda: “(Diriwayatkan) dari Anas bin Malik berkata, Rasulullah saw. bersabda: Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim” (H.R. Ibnu Majah).
Meskipun hadis tersebut tidak menyebutkan kata muslimah, sebagaimana pola al-Quran dan as-Sunnah, sepanjang tidak ada indikator yang menghalanginya, jika digunakan bentuk panggilan kepada laki-laki ia mencakup pula kepada perempuan. Dalam kenyataan sejarah, para perempuan (shahabiyat) meminta kepada Nabi Muhammad saw. sebuah waktu khusus untuk mereka belajar langsung dari Nabi. Permintaan mereka pun dikabulkan oleh Nabi.
Sering dinyatakan bahwa salah satu tugas utama perempuan adalah mendidik putra-putrinya. Namun, bagaimana tugas mulia ini dapat ditunaikan dengan baik apabila perempuan tidak diberi kesempatan untuk belajar? Saat ini, berbagai disiplin ilmu pengetahuan sangat beragam. Perempuan dapat memilih disiplin tertentu dari ilmu pengetahuan itu sesuai dengan bakat dan minatnya.
Selanjutnya, lahir pertanyaan: bagaimana apabila perempuan melakukan studi dengan meninggalkan rumahnya, sementara terdapat hadis yang menyebutkan bahwa perempuan tidak boleh berada dalam perjalanan lebih dari dua hari tanpa disertai mahram?
Larangan Nabi tersebut harus dipahami dengan memperhatikan illat atau motif Nabi saat menyabdakannya. Dengan memperhatikan hadis lain yang setema, terungkap bahwa larangan tersebut didorong oleh kekhawatiran terjadinya gangguan terhadap perempuan dalam perjalanannya. Manakala perempuan berangkat ke medan belajar dapat menghadapi kekhawatiran tersebut, baik di tanah airnya maupun ke luar negeri, maka perempuan dibenarkan untuk belajar.
Baca Juga: Istri Berpuasa Sunah, Apakah Harus Izin Suami?
Pandangan ini sejalan dengan hadis Nabi yang menyebutkan bahwa ”Suatu ketika akan ada seorang perempuan yang pergi sendirian dari Hirah menuju Ka’bah (Mekkah), ia tidak takut kepada siapa pun selain kepada Allah”.
Dalam Q.S. al-Ghafir (40) ayat 40 Allah juga menegaskan dalam firmanNya,
مَنْ عَمِلَ سَيِّئَةً فَلَا يُجْزٰىٓ اِلَّا مِثْلَهَاۚ وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَاُولٰۤىِٕكَ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ يُرْزَقُوْنَ فِيْهَا بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan dibalas melainkan sebanding dengan kejahatan itu. Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezeki di dalamnya tanpa hisab.”
Allah memberikan penghargaan yang sama antara karya positif laki-laki dan karya positif yang dihasilkan perempuan, dengan harga yang sama. AlQur’an telah mengambil pendekatan yang seimbang dengan menceritakan sejumlah kisah. Perempuan dalam kisah-kisah itu tidak hanya digambarkan sebagai ibu atau istri, tetapi sebagai individu bebas yang jasanya tidak terkait dengan dua peran tradisional tadi.
Maryam, misalnya, merupakan salah satu perempuan paling dihormati dalam sejarah. Allah memastikan status dan kepeduliannya yang tinggi. Maryam digambarkan sebagai orang yang taat dan suci yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk menyembah Tuhan. Menariknya, keunggulan dan keistimewaannya bukan karena kehamilannya dan melahirkan Nabi Isa. Penyebutan yang berulang-ulang tentang jabatannya yang tinggi lebih disebabkan oleh tindakan pengabdian, ketekunan, iman, kemurnian, dan kesuciannya, bukan status perkawinan atau sosialnya.
Selain itu, ada Ratu Balqis. Al-Quran menandai Ratu Balqis dalam kemampuan politik, kecerdasan, dan keanggunannya. Dia adalah penguasa yang berdaulat, memimpin rakyatnya, dan terlibat dalam negosiasi politik di masanya. Imperium besarnya dikonfirmasi dalam laporan burung hud-hud kepada Nabi Sulaiman, sebagaimana firman-Nya,
إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar” (Q.S. an-Naml [27]:23)
Sangat menarik untuk dicatat di sini bahwa tidak ada penyebutan kehidupan pribadi Ratu Balqis: apakah dia mempunyai anak atau suami. Demikian pula narasi al-Qur’an tentang hubungan antara dia dan Nabi Sulaiman hanya berkisar pada diskusi mereka tentang keesaan Tuhan dan bagaimana Sulaiman menolak untuk disuap oleh hadiah mewahnya.
Pada akhirnya, statusnya yang unik ditegaskan kembali ketika dia menunjukkan kerendahan hati, keanggunan, dan kecerdasan yang luar biasa dengan menerima panggilan Sulaiman untuk tunduk kepada Tuhan. Meskipun beberapa sejarawan mengklaim bahwa mereka kemudian menikah, al-Quran tidak membahasnya. Nilai ratu yang sebenarnya terletak dalam hati nurani, ilmu, dan kesiapannya untuk menerima kebenaran.
Selain itu, jika Islam benar-benar menentang partisipasi aktif perempuan dalam kehidupan publik dan kepemimpinan, Sulaiman mungkin akan mengomentari itu. Akan tetapi, dia tidak mem- pertanyakan fakta bahwa dia adalah seorang pemimpin politik. Dengan demikian, yang menarik perhatian adalah iman dan prinsip-prinsipnya.
Selain dua sosok perempuan tersebut, dalam sejarah Islam juga dikenal banyak sosok perempuan yang tidak kalah hebat dalam kehidupannya, yaitu Sayyidah Khadijah. Meskipun tidak secara eksplisit diceritakan dalam alQuran, istri Nabi Muhammad saw. ini dikenal luas. Dia adalah pengusaha dan pedagang yang sukses dan berpengetahuan luas.
Al-Qur’an adalah sumber ajaran Islam yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Sumber ajaran Islam yang kedua adalah hadis. Al-Quran, mengakui secara tegas bahwa perempuan memiliki beragam peran, fungsi, identitas, dan keadaan. Karena itu, perempuan tidak boleh terlepas dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan dipandang dari satu sudut pandang, ibu saja atau istri saja. [7/20]
* Direktur Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta


9 Comments