Oleh: Sirajuddin Bariqi
Perempuan haidh boleh berpuasa. Wacana tersebut sempat ramai beberapa waktu lalu. Mereka yang melemparkan wacana tersebut berargumen bahwa tidak ada ayat al-Quran yang secara spesifik melarang seorang perempuan yang sedang haidh untuk berpuasa. Mereka juga melakukan ‘pembacaan yang berbeda’ terhadap hadits riwayat ‘Aisyah ra. tentang perintah meng-qadha’ puasa dan tidak meng-qadha’ salat.
عن معاذة بنت عبد الله العدوية قالت: سألت عائشة فقلت: ما بال الخائض تقضي الصوم، ولا تقضي الصلاة. فقالت: أحرورية أنت؟ قلت: لست بحرورية، ولكني أسأل. قالت: كان يصيبنا ذلك، فنؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة (رواه البخارى و مسلم)
Artinya, “dari Muadzah binti Abdullah al-‘Adawiyyah, dia berkata: saya bertanya kepada ‘Aisyah, seraya berkata: “kenapa perempuan yang sedang haidh meng-qadha’ puasa dan tidak meng-qadha’ salat?”. Maka ‘Aisyah menjawab: “apakah kamu dari golongan Haruriyah?”. Saya menjawab: “saya bukan Haruriyah, tetapi saya hanya bertanya”. ‘Aisyah menjawab: “kami dahulu juga mengalami haidh, maka kami diperintahkan untuk meng-qadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk meng-qadha’ salat”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Menurut Ketua Majelis Hukum dan Ham PP ‘Aisyiyah Atiyatul Ulya, riwayat dari ‘Aisyah ra. itu dengan jelas menunjukkan praktik yang dilakukan oleh sahabat perempuan pada masa Nabi. Bahwa Nabi memerintahkan untuk mengganti puasa dan tidak memerintahkan untuk mengganti salat bagi perempuan yang sedang haidh. Hadits itu pula yang menjadi dasar argumen bagi Majelis Tarjih dan Tajdid ketika memutuskan bahwa perempuan haidh tidak boleh berpuasa dan harus menggantinya di lain waktu.
Pendapat ini juga masyhur dipegang para ulama. Bahwa haidh merupakan penghalang (mani’) bagi perempuan untuk melaksanakan puasa dan salat.
“Ketika membaca teks hadits tentang ‘Aisyah yang merespon Muadzah, saya mengambil pemahaman bahwa pada masa dahulu pun sudah ada yang mempertanyakan kenapa perempuan meng-qadha’ puasa dan tidak meng-qadha’ salat. Meskipun teks hadits tidak menjelaskan secara langsung, tetapi jelas menunjukkan bahwa persoalan tersebut sudah muncul sejak dulu,” ujar Ulya.
Yang (juga) menarik dari hadits tersebut, menurut Ulya, adalah penyebutan ‘golongan Haruriyah’ oleh ‘Aisyah ra. Ulya menjelaskan bahwa Haruriyah merupakan suatu golongan yang dinisbatkan kepada sebuah daerah yang terletak sekitar 2 mil dari Kuffah, Irak, bernama Harura. “Mereka inilah yang ditengarai mula-mula melakukan pemberontakan terhadap kepemimpinan Ali bin Abi Thalib setelah peristiwa arbitrase atau tahkim,” jelasnya.
Haruriyah, oleh karenanya, merupakan kaum Khawarij. Lebih lanjut, Ulya menjelaskan bahwa mereka lebih mendahulukan akal/logika dibandingkan hadits Nabi saw. Bahkan ada di antara mereka yang tidak mempercayai hadits Nabi sebagai sumber hukum kedua dalam Islam.
Asumsi “Bisa Jadi”
Dalam Islam, perbedaan pendapat adalah hal yang lumrah. Perbedaan tersebut biasanya muncul karena perbedaan metode dan/atau perspektif ketika memahami sesuatu. Dalam konteks ini, satu hadits yang sama dipahami secara berbeda, bahkan dapat dikatakan bertolak belakang. Satu pihak memahami hadits tersebut sebagai kewajiban perempuan yang haidh untuk mengganti puasa, sedangkan pihak lain memahami bahwa perempuan yang haidh tetap boleh berpuasa dan oleh karena itu tidak wajib menggantinya.
Munculnya (kembali) wacana perempuan yang sedang haidh boleh berpuasa, menurut Ulya, berangkat dari teks hadits yang dipahami dengan pemahaman “bisa jadi”. Mereka berargumen bahwa “bisa jadi” waktu itu ada perempuan haidh yang tetap berpuasa dan tidak diwajibkan untuk meng-qadha’. Artinya, mereka memahami persoalan ini dengan nalar aqliyah atau berdasarkan logika berpikir. “Kalau mereka tetap berpuasa lantas dipahami tidak harus mengganti, dan diambil kesimpulan boleh-boleh saja perempuan haidh tetap berpuasa,” ujarnya ketika dihubungi wartawan Suara ‘Aisyiyah (9/5).
Sebaliknya, menurut Ulya, dengan asumsi “bisa jadi”, dapat juga diajukan postulat bahwa jika pada waktu itu ada perempuan yang sedang haidh dan tetap berpuasa, harusnya ‘Aisyah ra. juga menyampaikan eksistensi perempuan (atau keadaan) tersebut. Apalagi persoalan ini berkaitan dengan ibadah. Akan tetapi, dari hadits tersebut diketahui bahwa ‘Aisyah ra. menyanggah pertanyaan Muadzah: “bahwa ketika sedang haidh, kami tidak boleh berpuasa dan diperintahkan meng-qadha’-nya”.
Baca Juga
Tuntunan Ibadah Ramadhan: Suami Membayar Hutang Puasa Istri, Bolehkah?
Menurut Ulya, persoalan ini di internal Muhammadiyah-‘Aisyiyah sudah clear. Misalnya dijelaskan dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 3 dan Tuntunan Ibadah di Bulan Ramadhan.
Tidak Puasa Tidak Bisa Beramal Saleh?
Yang perlu ditanyakan kepada mereka yang berargumen bahwa “bisa jadi” Islam (memang) membolehkan perempuan yang haidh untuk tetap berpuasa adalah: apa tujuan yang ingin dicapai ketika mereka tetap ingin berpuasa dalam kondisi sedang haidh? Dalam hal ini, jawabannya bisa beragam. Bahkan satu pihak dengan pihak lain bisa jadi berbeda jawaban dan tujuan.
Terlepas dari apapun jawabannya, menurut dosen di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu, tidak diperbolehkannya perempuan haidh untuk berpuasa bukan berarti mereka tidak bisa/boleh beramal dalam amalan yang lain. Artinya, fitrah perempuan untuk menstruasi yang menghalanginya berpuasa tidak menjadi penghalang baginya untuk melakukan amal saleh lain di luar puasa.
Baca Juga
Idul Fitri di Tengah Suasana Covid-19
Ulya lantas menceritakan sebuah peristiwa sejarah yang termaktub di dalam hadits:
إن هذا أمر كتبه الله على بنات ادم، فاقضي ما يقضي الحاج، غير أن لا تطوفي بالبيت
Suatu ketika, ‘Aisyah ra. merasa sedih karena di tengah ibadah hajinya bersama Rasulullah saw., beliau ra. haidh. Mengetahui kesedihan istrinya, Nabi saw. menyampaikan bahwa haidh merupakan perkara yang telah Allah swt. tetapkan kepada perempuan sejak dulu. Nabi Muhammad saw. lantas menenangkan ‘Aisyah ra. agar tidak bersedih, sebab perempuan yang haidh tetap dapat melakukan rangkaian ibadah haji kecuali thawaf di Ka’bah.
Wallahu a’lam.