Makkah-Suara ‘Aisyiyah “Ketua kloter perempuan ki abot, wong laki aja abot” (Ketua kloter perempuan ki berat, laki-laki aja berat-red). Ungkapan yang terlontar dari salah satu rekan kerja laki-laki itu sempat membuat Siti Rohmah ragu untuk mendaftar seleksi ketua kloter. Tapi ia beruntung, tidak sedikit teman kerja di PHU Kemenag Kota Yogyakarta yang memotivasinya untuk tetap maju seleksi.
Mengatasi Keraguan
“Tapi saya ga bisa omong pak,” Siti pun sempat ragu pada kemampuan dirinya. Lagi-lagi rekan kerjanya di PHU turut meyakinkan bahwa Siti Rohmah bisa. Kesempatan seleksi itu datang jelang ia pensiun di tahun 2024 ini.
Nyatanya setelah melewati beberapa kali seleksi, perempuan yang sudah enam tahun bekerja di PHU Kemenag Kota Yogyakarta ini berhasil terpilih sebagai Ketua Kloter 47 Yogyakarta. Sempat terbersit, ‘kalau diterima apa mampu ya’, namun kemudian ia meyakini jika pekerjaan dilakukan secara ikhlas itu bisa menjadi ringan.
Sebagai ketua kloter, Siti harus siap menerima keluhan dan meresponsnya. Mulai dari urusan jemuran, kran rusak, hingga perubahan menu lansia dari bubur jadi nasi. “Kalau ada apa-apa, yang dipanggil Ketua Kloter, kita harus sigap.”
Pernah di suatu siang, ia terkaget mendengar laporan ada seorang jemaah yang sakit saat thawaf sunnah. Mendengar kabar itu, ia segera kontak dokter kloter dan bergerak ke Masjidil Haram sembari membawa kursi roda. Sayangnya ia tidak bisa masuk leluasa karena membawa kursi roda. Beruntung dokter bisa masuk hingga keduanya bisa membawa jemaah untuk dibawa pulang menggunakan kursi roda.
Kemampuannya mengambil keputusan juga terasah ketika menjadi Ketua Kloter. Ia bercerita, salah satu hal yang tidak mudah adalah saat diminta memindahkan tiga jemaah kloternya ke kloter sebelumnya untuk mengisi jemaah yang tidak jadi berangkat karena sakit.
“Tidak mudah memutuskan siapa yang pindah karena sudah menjadi keluarga besar kloter dan harus mempertimbangkan perasaannya jika dipindah,” ujarnya. Tapi ia dimudahkan dengan keberadaan pengelola KBIH yang tergabung di kloternya. Ia pun kemudian mendapatkan tiga jemaah anggota baru di kloternya dari kloter lain yang kini telah menjadi keluarga besar kloter.
Ketua Kloter, ujar Sri, juga harus bisa mendampingi lansia apalagi tagline penyelenggaraan haji tahun ini masih ‘Haji Ramah Lansia’. Meskipun ia mengakui, diperlukan kesabaran, “ne orang ga sabar, mungkin wegah ndampingi (kalau tidak sabar, mungkin tidak mau mendampingi).”
Perempuan yang akrab disapa Bu Siti ini pun lebih suka mendorong kursi roda berisi jemaah lansia, “senenge nyurung daripada jalan sendiri sekaligus bisa jaga keseimbangan,” sambung Siti yang kini sudah berusia 58 tahun.
DIY termasuk wilayah dengan ketua kloter perempuan terbanyak. Dari 10 kloter, terdapat 6 ketua kloter perempuan, dan 3 ketua kloter laki laki. Selain Siti Rohmah ada pula Mafrudah, Ketua Kloter Jemaah Haji Bantul, DIY. Sehari-hari, ia bekerja sebagai Kepala Sekolah MTS Negeri 6 Bantul.
“Bermula dari rasa ingin tahu, apa saja tugas sebagai PPIH,” terang Mafrudah saat ditanya awal mula mengikuti seleksi. Setelah melewati beberapa kali seleksi, terpilihlah dua orang kandidat ketua kloter dari Bantul. Akhirnya, Mafrudah pun terpilih.
Kerjasama Tim
Menurut Mafrudah, tanggung jawab sebagai ketua kloter baik laki-laki maupun perempuan sama. “ Tugas ketua kloter sangat menantang, mulai mengkoordinir kegiatan jemaah, bisa menjadi fasilitator, hingga menyelesaikan permasalahan yang dihadapi jemaah.
Siang itu saja sebelum diwawancara misalnya (31/5/2024), Mafrudah tampak mengangkat telpon, dan terdengar obrolan perihal masalah yang dialami jemaah. Ia mencoba menjelaskan apa yang sudah dilakukannya termasuk mendengar dengan baik cerita jemaah. Di ujung telpon, Mafrudah berpesan kepada pendamping dari KBIH untuk menguatkan pesan agar mengikuti saran yang sudah disampaikan Ketua Kloter.
Di tengah tantangan sebagai Ketua Kloter, perempuan berusia 54 tahun ini menyadari pentingnya bekerjasama dengan tim lainnya, “Kami tidak bisa bekerja sendiri, ada Ketua Rombongan, Ketua Regu, tim kesehatan, pembimbing ibadah, petugas haji daerah, hingga pengelola KBIHU, sehingga problem yang ada bisa diatasi.”
Saat ditanya problem yang biasa dihadapi jemaah, selain problem kesehatan yang dialami terutama lansia dan risti, ia melihat beberapa jemaah mengalami gangguan saat berinteraksi dengan sesama jemaah. “Maklum ya, keluarga baru, kebiasaan masing-masing yang berbeda, misal satu suka AC dan satunya tidak. Satunya kalau bicara suara keras, yang satunya tidak bisa menerima gaya bicara dengan suara keras. Dengan komunikasi dan koordinasi, bisa teratasi dengan baik.” (hns)