
Perempuan Tangguh (foto: istockphoto)
Oleh: Ahsan Jamet Hamidi
Usai pertemuan persiapan Muktamar Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah, tiga perempuan setengah baya itu ikut menumpang mobilku. Kebetulan kami akan menuju ke arah yang sama. Siang itu, jalanan macet, udara terik, panas berbaur dengan asap knalpot dari berbagai kendaraan yang terus menderu. Kami mampir ke Warung Bakmie Permata Pamulang agar tidak terlalu penat. Empat mangkok kwetiau berkuah habis tersantap. Sebagai penutup, teh tawar hangat menjadi pilihan tepat. Ia segera bisa menyapu bersih sisa-sisa bumbu penyedap yang tertinggal di tenggorokan.
Ibu-ibu itu punya cerita hidup yang sangat mengesankan. Kisah yang telah mereka lalui, mampu mengubah pandanganku, tentang makna kekuatan batin seorang perempuan. Slogan yang sering sekali saya dengar, bahwa “laki-laki lebih kuat dari perempuan”, telah mengalami pergeseran makna. Jauh sekali.
Ada beberapa kesamaan pilihan dalam diri tiga perempuan setengah baya ini. Mungkin karena itu pulalah ketiganya sangat akrab. Mereka bertiga sama-sama menjalani hidup sebagai perempuan kepala keluarga. Suami-suami mereka sudah lama meninggal. Profesi ketiganya sama, sebagai guru sekolah, dan hanya memiliki anak tunggal. Kesamaan istimewa lainnya adalah, mereka bertiga memutuskan untuk tidak menikah lagi setelah kepergian pasangannya.
“Kami ini para janda yang merdeka seratus persen!” ujar Ibu Widya.
“Namun kami sangat bahagia…” timpal Umiyati dengan penuh bangga.
“Kami bahagia, mandiri dan merdeka. Mandiri, karena kami tidak menggantungkan hidup kepada orang lain,” tTegas Ibu Rosiana
Stigma Negatif Janda
Nama Widya, Umiyati, dan Rosiana, bukanlah nama yang sebenarnya. Mereka hanya mau ditulis kisahnya, namun tidak perlu menuliskan nama sebenarnaya. Meski dengan rileks, tanpa beban dan pretensi apapun saat menyebut diri mereka dengan istilah “janda”, namun tidak demikian dengan batin saya.
Sebaliknya, saya enggan menuliskan sebutan janda untuk mereka. Meskipun kenyataannya, ketiganya adalah perempuan yang tidak lagi bersuami. Pasangan hidup mereka telah meninggal dunia.
Secara maknawi, tidak ada yang istimewa dengan deskripsi janda. Toh semua orang berpotensi dan pasti juga akan ditinggal atau meninggalkan pasangan hidupnya. Bisa karena kematian atau musabab lain. Berarti akan menjadi janda ataupun duda pada waktunya. Itu perkara lumrah yang bisa terjadi kepada siapapun.
Dalam keseharian masyarakat yang masih lekat dengan budaya patriarki, penyebutan istilah janda bisa berkonotasi negatif, bahkan memiliki beragam tuduhan miring di baliknya. Terkesan kurang enak dan sangat menyakitkan bagi perempuan. Namun tidaklah demikian dengan sebutan “duda”. Tidak fair ya…
Ketika cap janda itu diucapkan oleh seseorang dengan nada sinis penuh ejekan, maka kesan yang muncul adalah sebuah prasangka negatif yang sangat liar. Sialnya, stigma itu terus menerus diulang-ulang, disebarkan, dijadikan bahan guyonan sehari-hari. Lama-kelamaan ia akan menjadi kebiasaan yang terbenarkan, meskipun sangat melukai rasa kemanusiaan.
Prasangka-prasangka negatif itu sejatinya baru sebatas tuduhan yang belum tentu bisa dikonfirmasi kebenarannya. Tetapi, karena tuduhan-tuduhan buruk itu kerap sekali disematkan kepada perempuan yang pernah menikah, lalu berpisah karena kematian dan lain sebagainya. Maka prasangka itu dianggap benar adanya. Lebih menyakitkan lagi, kata janda itu akan diikuti dengan berbagai cap negatif yang identik dengan berbagai sifat kurang elok. Seperti; centil, genit, agresif, gatel dan segala macam hal buruk lain yang bermuara pada orientasi seks.
Perilaku centil, genit, agresif itu sejatinya bisa dilakukan oleh siapa saja. Melampaui batas status perkawinan, strata sosial atau tingkat pendidikan seseorang, bahkan jenis kelamin. Begitu juga terhadap para pelaku yang gemar mengecap. Mereka bisa laki-laki ataupun perempuan. Hemat saya, perilaku seperti itu lebih karena terkait dengan tingkat pengetahuan dan kepekaan perasaan seseorang terhadap perkara seperti itu.
Baca Juga: Menjadi Perempuan Berdaya di Sekolah Aisyiyah
Beruntung, saat ini, ketiga perempuan di atas sudah terbebas dari segala macam prasangka buruk karena status kejandaan mereka. Mungkin karena sudah dianggap berumur. Tapi, berpuluh tahun silam, ketika mereka baru menyandang status itu, banyak sekali prasangka negatif yang kerap sekali mereka terima. Terkadang sangat menyakitkan dan membuat mereka serba salah.
Saat bersikap ramah kepada para lawan jenis akan dituduh agresif, suka memberi harapan, gatel, dst. Sebaliknya, ketika bersikap dingin atau tegas, mereka tetap akan menerima risiko prasangka buruk. Ribet!
Kisah Ketangguhan
Suami Ibu Umi meninggal ketika dia belum genap berumur 40 tahun. Umumnya, seorang istri akan sangat bersedih ketika suaminya meninggal. Tetapi tidak selalu demikian. Dia bahkan bersyukur saat itu terjadi. Berkali-kali mengucap rasa syukur, karena telah lulus melewati masa ujian berat dan panjang dalam hidupnya.
Ibu Umi menikah dalam usia muda, 21 tahun. Tiga tahun setelah tamat dari sekolah pendidikan guru agama. Dia tidak kuasa memilih laki-laki yang akan menjadi pasangan hidupnya. Proses perjodohan oleh orang tuanya telah menutup rapat pilihan yang seharusnya ada. Saat itu, ia berhasil diyakinkan, bahwa calon suaminya adalah keturunan keluarga terhormat. Anak seorang pegawai negeri sipil di kementerian agama. “Pastinya orang baik-baik dong,” bisik hatinya saat itu.
Saat akad nikah, Ibu Umi curiga dengan aroma nafas calon suami. Menurutnya, baunya asing dan aneh sekali. Belakangan dia tau, bahwa itu adalah bau alkohol murahan. Tiga bulan berikutnya dia baru sadar, bahwa suaminya kecanduan alkohol. Dia tipe laki-laki yang merasa tidak percaya diri saat berada di depan khalayak ramai. Dia butuh stimulus untuk membangkitkan kepercayaan dirinya. Salah satunya dengan minum alkohol hingga setengah teler. Tanpa pengaruh alkohol, dia akan menjadi laki-laki penyendiri yang malas dan murung.
Enam bulan pasca pernikahan, suaminya dipecat dari tempat kerja. Sebagai pegawai perpustakaan, dia ketahuan berperilaku agresif saat melayani pengunjung. Tentu, sikap itu karena pengaruh alkohol. Hari-hari berikutnya, dia memilih menyendiri, bermalas-masalan di rumah. Kecanduan alkoholnya tetap tidak juga mereda. Bahkan, dia kerap mengambil uang belanja istri untuk membeli alkohol.
Mendapati suami yang berperilaku buruk, Ibu Umi segera memutar otak untuk bangkit. “Saya harus bangkit. Tidak boleh menyerah, apalagi berharap kepada suami”. Tekadnya. Keterampilan mengajar anak-anak yang pernah ia peroleh dari sekolah Pendidikan Guru Agama menjadi modalnya. Kebetulan ada Sekolah Dasar Muhammadiyah dekat rumah yang sedang membutuhkan guru. Meski saat itu hanya bergaji Rp40.000/bulan, dia tetap jalani.
Ibu Umi sadar bahwa gaji sebesar itu memang tidak akan cukup. Namun ia yakin, bahwa “rezeki” akan selalu ada buat orang-orang yang berusaha menjadi baik. Betul saja, dengan tekad kuat, dia mampu menyelesaikan kuliah hingga strata satu, jurusan pendidikan agama. Karirnya bagus, hingga bisa menjadi kepala sekolah.
“Saya bingung dengan hitung-hitungan matematis. Tapi, ada saja rezeki yang saya terima. Saya bisa membangun rumah sendiri. Bisa umroh dua kali, bahkan menyekolahkan anak semata wayang hingga lulus S2”. Kisahnya dengan sangat antusias.
Ibu Umi berusaha ikhlas dalam mengajar. Baginya, keikhlasan adalah pembuka pintu rezeki bagi keluarganya. Rezeki datang dari mana saja, tanpa diduga-duga. Dia rajin berjualan apa saja, hingga mengajar les secara private. Syaratnya, untuk murid-murid dari sekolah lain, bukan dari sekolahnya sendiri.
“Saya bisa umroh dua kali karena diajak oleh orang tua murid les private. Bahkan bisa dapat pinjaman dana tanpa bunga saat membangun rumah. Tanpa jaminan apapun”. Kisahknya dengan penuh semangat.
Kesabaran Ibu Umi sudah teruji. Mungkin, lulus ujian dengan predikat summa cumlaude. Bagaimana tidak, dia telah bersabar hidup bersama seorang pamabuk selama hampir 20 tahun. Alih-alih mendapatkan nafkah dari suami, ibu Umi telah menghidupi suami, sampai penyakit liver akut merenggut nyawanya.
Baca Juga: Fatwa dan Perhatian Muhammadiyah tentang Perempuan
Ibu Rosi dan Ibu Wid memiliki kisah ketangguhan berbeda. Kedua perempuan ini bersyukur karena telah dipertemukan dengan suami-suami yang sangat baik. Mereka hidup berpasangan lebih dari 15 tahun. Selama berpasangan, mereka memilih untuk menjalani prinsip kesalingan. Saling melayani, saling memuaskan, saling melengkapi, hingga bermuara pada saling membahagiakan.
Kematian suami-suami mereka dirasa sebagai perpisahan sejenak. Sekadar menunda perjumpaan. Membuat ruang rindu untuk bertemu. Mereka ikhlas menerima risiko kesendirian dengan hati lapang.
“Batin kami tetap bertemu setiap saat. Perjumpaan kami begitu intim dan hangat. Tidak ada lagi pertengkaran, karena kami dulu telah melaluianya. Saat ini, yang tersisa hanyalah cinta dan kasih sayang,” ungkap mereka.
“Jadi, itu alasan tidak menikah lagi?” tanyaku
“Suami-suami kami tidak akan pernah tergantikan oleh siapapun. Kami merawat rasa rindu itu, sambil terus menunggu perjumpaan itu tiba. Penuh cinta”. Keduanya mengusap pipi masing-masing yang mulai basah dengan tisu putih.
Aku terus menyetir mobil sambil sesekali melihat kaca spion. Tidak habis-habisnya mengagumi para perempuan Kepala Keluarga yang sangat tangguh itu.