Purbalingga, Suara ‘Aisyiyah – Perempuan Mengaji yang dilakukan secara virtual menjembatani warga ‘Aisyiyah untuk mendatangi pengajian, kajian, dan saling silaturahmi. Kegiatan rutin Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Jawa Tengah yang sudah berjalan lebih dari 1 tahun ini merupakan kegiatan yang membuka kaca mata baru warga ‘Aisyiyah untuk menikmati IT.
Perempuan Mengaji edisi ke-4 yang dibidani Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah (PDA) Purbalingga dilaksanakan pada Rabu (20/10), dan diikuti oleh 218 partisipan yang masuk dalam Zoom. Kajian kali ini membahas tentang “Pernikahan Dini dalam Perspektif Ilmu Kesehatan”. Materi disampaikan oleh Direktur RSU PKU Muhammadiyah Purbalingga, Setyana Eka Nurvidyaning.
Pernikahan dini, menurut Setyana, sangat jauh dari kata ideal. Mestinya, perkawinan yang ideal dari sisi kesehatan reproduksi adalah perempuan yang sudah berusia di atas 20 tahun. Menurutnya, hal ini karena pernikahan yang dilakukan di bawah umur 20 tahun dapat menimbulkan risiko terkena kanker leher rahim, sel-sel rahim yang belum siap, dan kemungkinan terkena penyakit Human Papiloma Virus (HIV).
Setynana lantas menampilkan data pernikahan dini di Indonesia. Dari data yang ditampilkan, 46% atau 2,5 juta dari seluruh pernikahan di Indonesia ternyata mempelai perempuan berusia di antara usia 15 – 19 th atau belum memenuhi standar kesehatan.
Baca Juga: Benarkah ‘Aisyah Menikah pada Usia Enam Tahun?
Ia menyebutkan, ada beberapa faktor utama terjadinya pernikhan dini, seperti pendidikan, ekonomi, budaya, pernikahan yang tidak diinginkan (marriaged by accident), faktor orang tua/keluarga, individu, dan konten serba permisif media sosial.
Sementara dari sisi kesehatan, lanjutnya, pernikahan dini mempunyai efek yang merugikan, baik bagi pasangan perempuan maupun laki-laki. Efek tersebut dapat ditinjau dari kesehatan reproduksi dan masa pubertas seseorang.
Setyana mengatakan bahwa usia reproduksi yang sehat bagi perempuan adalah antara 20 – 30 tahun. Karena itu, ada banyak dampak negatif yang akan muncul akibat pernikahan dini, seperti: (a) mudah menderita anemia selagi hamil dan melahirkan (hal ini menjadi salah satu penyebab tingginya angka kematian ibu dan bayi); (b) kehilangan kesempatan mengecap pendidikan yang lebih tinggi; (c) interaksi dengan lingkungan teman sebaya menjadi kurang; (d) berada pada kondisi yang tidak menentu dalam status sosial.
Selain dampak di atas, Setyana juga menyebut beberapa dampak bagi kesehatan reproduksi seseorang, antara lain: anatomi tubuh belum siap, meningkatkan risiko preeklamsia/eklamsia pada kehamilan, obstructed labour (proses kelahiran yang macet), risiko terjadinya karsinoma serviks, obstetric fistula, dan peningkatan risiko penyakit menular dan penularan infeksi HIV.
Pernikahan dini juga bisa memunculkan dampak bagi sang anak, seperti: (a) lahir dengan berat rendah, sebagai penyebab utama tingginya angka kematian ibu dan bayi; (b) cedera saat lahir; (c) komplikasi persalinan yang berdampak pada tingginya angka kematian.
Banyaknya dampak negatif yang timbul akibat pernikahan dini menjadi PR (pekerjaan rumah) bagi kita semua untuk terus terlibat aktif mencegah terjadinya pernikahan dini dengan menjelaskan kepada generasi muda risiko pernikahan dini, baik dari tinjaun agama, psikologis, maupun kesehatan, dengan harapan anak-anak akan menyadari bahayanya pernikahan dini, dan akan mempersiapkan pernikahan dengan sebaik mungkin.
Selain menjadi bagian untuk andil mencegah, kita juga mesti ikut andil mendampingi anak-anak yang sudah telanjur melaksanakan pernikahan dini, untuk memperkecil kemungkinan akibat buruk yang timbul sehingga pernikahan yang menjadi dambaan kebahagiaan setiap pasangan dan menurunkan generasi sehat akan tetap terwujud. (nurlaeli)