Oleh: Hajriyanto Y. Thohari
Perjuangan bangsa Palestina untuk merdeka sampai hari ini telah berlangsung hampir 75 tahun. Dalam masa tiga perempat abad tersebut lahir begitu banyak pejuang bangsa, tokoh-tokoh perlawanan, dan pemimpin-pemimpin pergerakan. Ribuan jumlahnya yang telah mati syahid, luka-luka, dan menjadi difabel seumur hidup karena kehilangan anggota badan sebagai korban agresi kejam rezim penjajah Zionisme Israel.
Israel memiliki angkatan bersenjata yang kuat dengan alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang sangat lengkap dan modern yang secara lihai dan licik diberi nama Pasukan Bela Diri (Israel Defense Force) –untuk mengelabui dunia.
Tetapi bangsa Palestina tidak pernah kehabisan pejuang-pejuangnya. Ibarat sesanti “Patah tumbuh hilang berganti”, atau “Esa hilang dua berbilang”. Bangsa Palestina terus tanpa henti melahirkan pejuang-pejuang baru yang andal dan militan. Dulu mereka mempunyai pejuang-pejuang Palestina seperti George Habbas, Nayef Hawatmeh, Leila Khalid, Syeikh Yasin, Mahmoud Abbas, dan lain-lainnya; kini lahir generasi pejuang yang lebih muda dan lebih banyak, seperti Khalid Mishal, Ismail Haniyeh, Mohammed Sathyeh, dan lain-lainnya. Apalagi bangsa Palestina telah menggunakan banyak metode dan ideologi perjuangan.
Dalam perjuangannya mereka pernah menggunakan metode perjuangan bersenjata, perang, bahkan pernah juga menggunakan cara menyandera lawan atau membajak musuh-musuhnya dan menjadikannya sebagai sandera. Tetapi mereka juga pernah berganti menggunakan metode perundingan, diplomasi, negosiasi, dan lain-lainnya. Dalam perlawanannya, bangsa Palestina juga pernah mendasarkan perjuangannya pada ideologi nasionalisme, sosialisme, marxisme, dan ideologi-ideologi sekuler lainnya seperti yang dilakukan oleh Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP), Fatah, PLO, dan lain-lainnya. Tetapi sejak 1987 bangsa Palestina juga mulai menggunakan ideologi Islamisme, seperti yang dilakukan oleh HAMAS (Harakah al-Muqawamah Al-Islamiyah) yang sekarang berpusat di Gaza.
Perubahan metode dan ideologi perjuangan tersebut dapat dimaklumi mengingat sudah begitu lamanya mereka berjuang, berperang, dan bergumul dengan berbagai pengalaman yang perih dan mengerikan. Biarlah soal metode dan ideologi perjuangan itu menjadi pilihan mereka. Mereka yang berada di medan perjuangan dan merekalah yang paling tahu apa yang mereka butuhkan. Kita dari kejauhan cukup memberikan dukungan moral dan politik, juga bantuan finansial dan kemanusian bagi perjuangan mereka.
Transmisi Nilai Perjuangan
Dengan metode dan ideologi perjuangan seperti itu, maka bangsa Palestina meski telah kehilangan tanah airnya selama tujuh dasawarsa lebih, mereka terus berjuang tanpa mengenal menyerah, apalagi putus asa. Estafet kepemimpinan perjuangan terus sambung menyambung tanpa putus: tetap menyala-nyala dan penuh optimisme.
Lihat saja dalam agresi Israel terakhir bulan Mei 2021 kemarin, bangsa Palestina mampu bertahan menghadapi gempuran dahsyat sepanjang sebelas hari. Bandingkan dengan Perang Arab-Israel 1967, koalisi negara-negara Arab hanya dapat bertahan dalam enam hari saja sampai perang tersebut dikenal dengan “Perang 6 Hari 1967”!
Baca Juga: Orang Palestina, Orang Hebat
Pertanyaannya adalah mengapa dan bagaimana nilai-nilai perjuangan bangsa Palestina tetap terus terpelihara sampai sekarang? Padahal orang-orang Palestina angkatan 1940-an yang mengalami Peristiwa Nakhba, yaitu malapetaka atau katastropi berupa pengusiran dengan cara-cara kekerasan telah berganti dengan generasi baru yang lahir beberapa dasawarsa sesudahnya. Siapa yang paling berjasa dan bertanggung jawab mentransmisikan nilai-nilai perjuangan pada genenerasi baru dan muda bangsa Palestina?
Jawabannya ternyata adalah perempuan-perempuan Palestina! Perempuan-perempuan Palestina-lah yang melahirkan bayi-bayi Palestina yang telah dengan sangat baik menanamkan spirit dan ideologi perjuangan bangsa. Perempuan-perempuan Palestina telah melakukan pendidikan karakter (pendidikan etika dan cinta bangsa) terhadap anak-anaknya sehingga setiap anak Palestina tetap memiliki rasa cinta kepada tanah airnya dan bangsanya, serta rela mati berjuang untuk kemerdekaan negaranya dari penjajah Israel yang mempraktikkan politik apartheid itu.
Sungguh saya kagum kepada orang-orang Palestina, baik yang masih bertahan di West Bank (Tepi Barat) dan Jalur Gaza, maupun yang terpencar-pencar berada di pengungsian di berbagai negara Arab, yang masih memiliki rasa nasionalisme dan patriotisme yang tinggi. Di Lebanon saya sering bertemu dengan anak-anak muda Palestina yang sebagian besar bahkan lahir di Lebanon, tetapi mereka tidak mau berpindah menjadi warga negara Lebanon.
“Kalau kami menjadi warga negara Lebanon, bagaimana nanti dengan tanah air kami dan negara kami?”, demikian kata mereka dengan tegas dan mantap ketika kami tanyakan status kewarganegaraannya. “Kami anak Palestina, dan kami yakin perjuangan kami akan berhasil sehingga kami akan kembali ke Al-Quds merayakan kemerdekaan negara Palestina yang berdaulat dan terhormat!” Sungguh sebuah sikap yang sangat mengesankan.
Saya suka bertanya-tanya dalam hati, bagaimana caranya perempuan-perempuan Palestina menanamkan nilai-nilai nasionalisme, patriotisme, dan perjuangan bagi anak-anaknya sehingga mereka tetap bersemangat menyala untuk berjuang? Bukankah di negara yang aman dan normal saja sangat susah menanamkan rasa nasionalisme dan patriotisme, lantas bagaimana melakukan hal yang sama dalam keadaan yang serba sulit sebagai jajahan atau pengungsi di negara tetangga?
Ternyata perempuan-perempuan Palestina menanamkan nilai-nilai perjuangan, nasionalisme, dan patriotisme itu dengan cerita-cerita kepahlawanan, dongeng-dongeng perang, nyanyian-nyanyian perjuangan, dan last but not least sejarah Al-Nakhba, yakni malapetaka dan tragedi yang sangat tragis berupa pengusiran besar-besaran bangsa Palestina dari rumah-rumah mereka dan kampung-kampung mereka. Cerita tentang Nakhba ini diterbitkan dalam sebuah studi yang sangat bagus berjudul An Oral History of the Palestinian Nakba (Ed. Nahla Abdo dan Nir Masalha, Zed Books Ltd, London, 2018).
Baca Juga: Tangis-Tangis di Palestina
Peristiwa katastropi Nakhba yang sangat memilukan tersebut menjadi api perjuangan bangsa Palestina. Nakhba juga melahirkan puisi-puisi perlawanan, nyanyian-nyanyian perjuangan, dan sastra-sastra intifadah. Banyak sekali syair-syair atau puisi-puisi Palestina yang lahir dari sastrawan-sastrawan dan penyair-penyair Palestina, seperti Ghassan Kanafani, Mahmud Darwis, Mourid Borghouti, dan lain-lainnya. Demikian juga banyak sekali nyanyian-nyanyian perjuangan Arab Palestina yang digubah oleh seniman-seniman Palestina untuk menggugah semangat perjuangan bangsa.
Salah satu penyanyi perempuan Lebanon keturunan Palestina, Julia Butros, mengggubah sebuah lagi yang sangat inspiratif dan membangkitkan semangat perjuangan yang berjudul Wini l-Malayin. Berikut ini adalah potongan dari lagu yang cukup panjang dan menghanyutkan itu:
وين الملايين وين الملايين
الشعب العربي وين
الغضب العربي وين
الدم العربي وين
الشرف العربي وين
وين الملايين
الله معانا أقوى
وأكبر من بني صهيون
Di mana jutaan orang Arab?
Bangsa Arab, di mana?
Kemarahan Arab, di mana?
Darah Arab, di mana?
Kemuliaan Arab, di mana?
Di mana hai jutaan orang Arab?
Allah bersama kita lebih kuat
Kita lebih kuat dari kaum Zionis!
Sebuah lagu yang sangat mengesankan. Indah dan menghanyutkan, bukan? Demikianlah perempuan-perempuan Palestina menanamkan nilai-nilai perjuangan dan perlawanan! Demikianlah “Aisyiyah-Aisyiyah” Palestina berdendang dan berjuang! Allah meridhai perjuangan mereka. Semoga!