
Sumber Ilustrasi : dictio.id
Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) dalam Tinjauan Lingkungan Hidup 2020: Menabur Investasi, Menuai Krisis Multidimensi (2020) menyebutkan, bencana banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) mengalami peningkatan pada tahun 2019. Alih fungsi lahan, pembangunan yang tidak ramah lingkungan, dan pertambangan merupakan faktor utamanya.
Selain itu, produksi sampah yang meningkat, menurunnya kualitas air, dan kualitas udara yang terus memburuk merupakan efek samping dari sikap acuh masyarakat terhadap lingkungan. Hal tersebut menunjukan bahwa selain disebabkan faktor-faktor alami semisal gunung meletus, angin puting beliung, banjir, dan tsunami, ulah tangan manusia juga turut menambah rapor merah kerusakan lingkungan.
Kondisi lingkungan yang kian memburuk diamini oleh Paramita Iswari dari Perhimpunan Karsa (Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria). Menurutnya, meningkatnya kuantitas terjadinya banjir dan longsor merupakan dampak dari ketidakmampuan manusia dalam menjaga lingkungan. Terjadinya bencana tersebut sedikit-banyak disebabkan menjamurnya perumahan di kaki pegunungan, yang sebagai gantinya, mengurangi ruang-ruang hijau dan daya serap tanah terhadap air. Paramita dengan tegas menyatakan, “ini merupakan dampak dari apa yang selama ini dilakukan manusia. Bahwa kita juga tidak mampu menjaga lingkungan,” ucapnya ketika ditemui SA.
Setali tiga uang dengan apa yang disampaikan Paramita, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Muhammad Azhar menyampaikan bahwa pertambahan penduduk yang semakin massif telah mereduksi lahan pertanian. Yang terjadi kemudian adalah, selain berpotensi konflik, baik vertikal maupun horizontal, muncul krisis lingkungan yang diakibatkan oleh ulah tangan manusia. Sebab, selain mereduksi lahan pertanian, penggunaan obat-obatan kimia untuk meningkatkan hasil produksi berimbas pada homogenitas lahan. Lahan yang dulu bersifat heterogen (bisa ditanami aneka tanaman dan tumbuhan), sekarang menjadi homogen.
Perempuan dan Lingkungan
Sebagai makhluk yang mempunyai kesadaran semesta, manusia mempunyai tanggung jawab untuk menjaga lingkungannya. Berkaitan dengan hal tersebut, menurut Paramita, posisi dan peran perempuan dalam menjaga lingkungan tidak dapat dinafikan. Misalnya, perempuan lebih sering berurusan dengan air (cuci-mencuci, memasak, dan sebagainya), yang menjadi penyumbang limbah. Ketersediaan air juga sangat dekat dengan isu lingkungan. Selain itu, perempuan mempunyai peran sentral dalam mendidik anak untuk menjaga lingkungan. Bahkan di luar Jawa, ungkap Paramita, peran tersebut lebih terasa. Oleh karena itu, perempuan perlu lebih didorong untuk berpartisipasi aktif dalam setiap program yang berhubungan dengan lingkungan.
Akan tetapi realitasnya, Paramita menya-yangkan sering tidak dilibatkannya perempuan dalam pembahasan isu-isu seputar kehidupan keseharian atau penentuan kebijakan, padahal perannya sangat nyata. “Program pemerintah, swasta, atau LSM seringkali menafikan keberadaan dan peran perempuan”. Kondisi tersebut, menurutnya, erat kaitannya dengan masih kuatnya budaya patriarkhi. Perempuan kerap dianggap sebagai makhluk kelas dua.
Padahal, jika ada kebijakan atau tindakan yang merusak kelestarian lingkungan, perempuan menjadi pihak yang paling dirugikan. Meningkatnya jumlah perusahaan akan selalu beriringan dengan menurunnya kualitas lingkungan hidup. Kehidupan menjadi terganggu. Merebaknya alih lahan menjadi perkebunan sawit tidak dapat dinafikan menjadikan air di perkampungan warga terkuras. Keberadaan dan kualitas air kemudian menjadi barang mewah. Termasuk beralihnya pemanfaatan bahan-bahan alami sebagai obat-obatan, pembasmi hama, dan penyedap atau pewarna makanan ke bahan-bahan kimia juga berdampak pada kesehatan, khususnya tingkat kesuburan perempuan. “Siapa yang paling dirugikan? Ya, perempuan,” jelas Paramita.
Isu lingkungan memang tidak akan habis dibicarakan. Banyak aspek yang patut dipertimbangkan, selain juga banyak pihak yang terlibat, baik sebagai pelaku maupun korban. Perempuan yang sudah 23 tahun terjun dalam isu-isu lingkungan ini menceritakan bahwa di Pedalaman Sanggau, Kalimantan Barat, masyarakat perlu menempuh jarak yang cukup jauh untuk sekedar membeli air. Hal ini bukan tanpa sebab. Masyarakat setempat menganggap te-lah terjadi penurunan kualitas air. Dari yang sebelumnya dapat dimanfaatkan untuk ragam keperluan sehari-hari, saat ini bahkan untuk keperluan mandi pun mereka enggan karena menimbulkan gatal-gatal.
Membangun Kesadaran Lingkungan
Manusia diberi amanah untuk menjaga bumi. Untuk itu, ungkap Azhar, manusia diberi keleluasaan untuk mengeksplorasi bumi. Akan tetapi, sayangnya bukan sekedar mengeksplorasi, dengan serakah manusia telah mengeksploitasi bumi. Ulah tangan manusia telah menyebabkan kerusakan lingkungan, baik di darat, laut, maupun udara. Jika terus dibiarkan, kesehatan bumi akan semakin menurun, dan manusia lambat laun akan merasakan dampaknya.
Oleh karena itu, penting untuk menanamkan kesadaran lingkungan kepada semua pihak, tidak terkecuali. Di tingkat akar rumput atau komunitas, upaya penyadaran kepada anggota keluarga dan tetangga mutlak perlu. Sedangkan di tingkat atas, para pemangku kebijakan harus turut berperan dalam membuat regulasi yang ramah lingkungan. Sinergi antara masyarakat dan pemerintah harus dilakukan. Meskipun sejauh ini belum terlalu kelihatan wujudnya. Hal ini dapat dibuktikan misalnya dengan munculnya Omnibus Law, yang mengandung misi melancarkan investasi, tetapi di sisi lain mengabaikan konsekuensi dan risiko lingkungan. (Sirajuddin)
Baca selengkapnya di Majalah Suara ‘Aisyiyah, Edisi 4 April 2020
4 Comments