Pemaknaan generasi milenial terhadap keluarga saat ini mengalami perubahan yang signifikan. Saat ini telah terjadi proses “domestikasi peran ayah”. Nilai-nilai motherhold dominan dilekatkan pada perempuan, sementara nilai-nilai fatherhold dan parenthold belum terlembaga secara mendasar dalam keluarga. Jika nilai-nilai fatherhold dan parenthold terlembaga, anak-anak dapat secara fisik dan emosional dekat dengan ayah dan ibu secara seimbang.
Paralel dengan perubahan global yang terjadi, pasangan baru tidak selalu tinggal dalam satu kota dan sangat mungkin berjauhan. Kondisi ini mengubah bentuk keluarga somah menjadi somah baru. Dalam somah baru disebut commuter family. Peningkatan jumlah perempuan yang berkarir telah menandai somah baru melalui ikatan perkawinan dan komitmen yang memposisikan somah sebagai tempat bertemunya anggota keluarga pada waktu-waktu tertentu. Konsekuensinya, telah memunculkan konstruksi baru peran laki-laki dan perempuan dalam hidup berpasangan.
Dalam hal ini, pasangan baru perlu menciptakan suasana “saling” agar terdapat sharing power dalam memaknai keberadaan keluarga. Suasana saling mengerti, saling memahami, saling mendukung, saling mengontrol perlu dimunculkan sebagai bentuk relasi kuasa yang melekat di dalamnya. Di balik kata “saling” peranan masing-masing dapat dijalankan dan relasi kuasa yang ada dapat berproses, mengalir, melebur secara cair dalam struktur keluarga.
Lebih Dinamis
Kekuasaan dalam somah baru, menurut Guru Besar Ilmu Sosiologi UGM Partini (2017), lebih dipahami sebagai strategis dinamis, bersifat produktif dan bekerja melalui penyesuaian dengan aturan fungsional keluarga sebagai ‘pendisiplinan”. Kekuasaan beroperasi dan bukan dimiliki, dijalankan demi ketenteraman hidup berkeluarga. Suami dan isteri berperan dan berelasi sebagai kekasih dan pasangan hidup untuk melakukan reproduksi sosial. “Orang tua dan anak berperan dan berelasi sebagai sahabat yang hidup berdampingan, saling asah, asuh agar tercipta keluarga yang sakinah, wawadah dan warohmah,” tegasnya.
Lebih lanjut, menurutnya, perkembangan teknologi advanced menyebabkan ada pergeseran dalam melihat pernikahan. Pertama, melakukan pernikahan dini untuk menghindari terjadinya perzinaan, keluar dari kemiskinan dan lainnya. Kedua, menunda pernikahan atau tidak menikah karena alasan ingin mengembangkan karir, menikmati pekerjaan dan lainnya.”Perempuan bekerja untuk mendapatkan penghasilan yang dikelola sendiri, untuk menegaskan aktualisasi diri dan representasi dirinya,” jelasnya.
Bukan Agen Utama
Partini juga memaparkan pelbagai persoalan yang dihadapi orang tua di era milenial, terutama dalam relasi anak dan orang tua. Dikatakan, sebelum generasi milenial, transformasi nilai bersifat hierarkis, peran orang tua sangat sentral diwarnai budaya patriakis. Anak harus berbakti pada orang tuanya tanpa perlu bertanya alasannya. Dalam kultur Jawa dikenal prinsip mikul dhuwur mendhem jero serta prinsip orang tua harus melaksanakan sembur, tutur, dan wuwur.
Citra perempuan yang pada masa lalu sering digambarkan dalam lima citra yaitu citra pinggan, pilar, peraduan, pigura, dan pergaulan tidak bisa dipertahankan pada perempuan generasi milenial. Transformasi nilai budaya mengalami penyesuaian, orang tua lebih mendekatkan diri pada anak, komunikasi dalam keluarga menjadi lebih cair.
Peranan perempuan yang telah bergeser, serta akses yang kini setara dengan laki-laki telah menegaskan terjadinya pergeseran perempuan dalam mendidik anak. Pergeseran ini, tegasnya, sangat mungkin melahirkan marginalisasi dalam mendidik anak karena telah terpinggirkan oleh smartphone sehingga anak-anak tidak lagi patuh pada orang tua.
Pelabelan “generasi menunduk dan generasi antisosial” seakan-akan mengharuskan perempuan untuk bersiap diri menghadapi anak-anak yang terlihat semakin egois serta telah meluntur kepedulian serta solidaritas sosialnya. “Anak-anak yang dahulu tunduk dan diam jika mendapat nasihat dan larangan orang tua, masa kini dan masa mendatang akan semakin menunduk dan terdiam karena memperhatikan smartphone di tangannya,” jelasnya.
Dikatakan, di era masyarakat berjejaring di mana keberadaan individu semakin nyata pada terbentuknya masyarakat maya yang terkadang berbeda dengan dunia nyata. Nilai-nilai individu kian nyata dan mudah dikenali individu lain sehingga warna baru dalam hubungan sosial masyarakat maya. “Dunia nyata (offline) dan dunia maya (online) tidak lagi harus dimaknai sebagai dua dunia yang berbeda. Anggota masyarakat generasi baru hidup di dua dunia tersebut secara bersamaan,” jelasnya.
Terlepas dari kesibukan mereka, ujar Partini, laki-laki dan perempuan di dalam keluarga tidak hanya hadir sebagai orang tua biologis tetapi wajib menjadi orang tua sosial dan kultural. Pergeseran peran perempuan dalam mendidik anak menuntut penyesuaian yang mengarah pada pemberian teladan.
Visi Baru
Saat ini perempuan dan laki-laki perlu memiliki visi baru dalam membentuk keluarga yang dibangun untuk sharing of power tanpa dominasi dan subordinasi, atau lebih cair dalam membentuk keluarga yang harmonis. Laki-laki akan mengalami proses domestifikasi sebagai “pria baru” yang tidak harus tampil gagah dan berorotot, namun menjadi pria elegan yang berempati pada pekerjaan domestik. Perempuan tidak lagi sebagai the second sex tetapi telah menjadi the same sex with the man, jelas Partini yang mengutip pendapat Simone De Beauvior.
Pasangan generasi milenial juga mempunyai kecenderungan membatasi atau menunda. Anak dalam pandangan mereka berkorelasi dengan ambivalensi yang tinggi dan konflik kepentingan yang berkepanjangan. “Kehidupan rumah tangga keluarga milenial tidak harus memenuhi konsep somah masa lalu karena somah dan rumah bagi mereka diposisikan sebagai tempat transit. Walaupuan menurut berbagai penelitian kondisi ini lebih rentan terhadap perceraian,” jelasnya.
Dalam pendidikan anak, ungkap Partini, dengan pertimbangan demi karir perempuan telah mengarah pada penundaan pernikahan, commuter marriage atau hanya memiliki satu anak menegaskan terjadinya pergeseran peranan perempuan dalam membangun keluarga atau somah. Pergeseran tersebut selain memiliki keuntungan, juga ada kekhawatiran, seperti rentannya kepercayaan terhadap pasangan, perselingkuhan, dan perceraian.
Menurut Partini, lembaga perkawinan sekarang tidak lagi dianggap sakral serta munculnya institusi perkawinan sebatas lembaga formal yang berfungsi hanya secara formalitas. “Tantangan perempuan generasi milenial adalah menjaga dan meningkatkan ekistensi mereka di berbagai bidang namun tetap menjaga keharmonisan rumah tangga serta dapat berkontribusi dalam pekerjaan dan lingkungan masyarakat,” jelasnya.
Hadirnya teknologi advanced secara tidak langsung membawa beban baru bagi dalam pendidikan anak. Kesenjangan orang tua dan anak karena ketidaksamaan pemahaman dalam pemanfaatan hasil teknologi sangat mungkin terjadi. Melemahnya nilai-nilai sosial kultural, kearifan lokal dan solidaritas sosial pada satu sisi, serta munculnya generasi menunduk, menguatnya egoisme dan individualisme anak pada sisi yang lain, perlu disikapi kritis tetapi bijaksana. (Susi)
Sumber: Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi Desember Tahun 2017