Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah berkolaborasi dengan DPD IMM DIY menggelar Webinar Inspiring Inclussion : Aksi Bersama Pengarusutamaan GEDSI Menuju Pembangunan Inklusif kemarin, (6/3). Kegiatan ini terselenggara sebagai peringatan atau perayaan International Women’s Day (Hari Perempuan Internasional).
Dalam kegiatan ini, PP ‘Aisyiyah bersama DPD IMM DIY menghadirkan tiga pembicara. Pembicara pertama yaitu Tri Hastuti selaku Sekretaris Umum PP ‘Aisyiyah sekaligus Koordinator Program Inklusi ‘Aisyiyah. Kemudian pembicara kedua yaitu Suharto yang merupakan Ketua Dewan Pengurus Sigab Indonesia. Lalu, pembicara yang ketiga yaitu Alya Zahra Sabira, seorang aktivis di National Gender Youth Activist UNWOMEN dan Youth Years Intern Ashoka.
Masing-masing pembicara tersebut menyampaikan materinya masing-masing. Tri Hastuti dalam kegiatan ini menyampaikan materi dengan tema “Gerakan Perempuan Pasca Pemilu: Mengawal Kebijakan dan Penganggaran Berperspektif GEDSI”. Saat memaparkan materinya, Tri menjelaskan tentang bagaimana strategi dalam mengawal hasil pemilu.
Menurutnya, ada beberapa langkah yang harus dilakukan. Pertama, adalah dengan pendidikan politik itu sendiri. Selanjutnya, pemimpin-pemimpin lokal yang ada harus memiliki kapasitas yang kuat. Hal ini bisa tercapai dengan adanya pemberdayaan dan advokasi.
Baca Juga: Milenial 5.0 Bergerak: Membumikan Filantropi Islam Berkelanjutan
Setelah itu, mereka harus terlibat dalam berbagai perencanaan pembangunan dan penyusunan RPJPN/RPJMN, serta RPJPD/RPJMN/RKPD. Mulai dari sinilah advokasi untuk program dan anggaran GEDSI bisa lebih diusahakan. terlebih jika komunikasi dengan legislatif juga berjalan dengan baik.
Adapun Suharto mendapatkan bagian untuk mengisi materi dengan tema “Hak Atas Pekerjaan bagi Perempuan Disabilitas: Problem dan Peluang”. Pada pemaparannya, Suharto menjelaskan banyak realita dan fakta di lapangan tentang bagaimana dinamika yang para penyandang disabilitas alami demi atau saat mendapatkan pekerjaan.
Dia juga memaparkan bahwa dinamika yang ada tentu tidak terlepas dari stigma atau pandangan masyarakat tentang para penyandang disabilitas itu sendiri. Itulah mengapa menurutnya terkadang para difabel tersebut mendapatkan perilaku atau perlakuan yang tidak pantas dari orang yang memperkerjakan mereka.
Bahkan Suharto beberapa kali menemukan kasus bahwa orang-orang yang memperkerjakan para difabel tersebut mengusahakan agar mereka resign atas keinginan sendiri. Hal yang biasanya orang-orang seperti ini lakukan adalah dengan memberi pekerjaan yang tidak seharusnya para difabel peroleh. Padahal tugas-tugas tersebut bukanlah sesuatu yang bisa mereka kerjakan dengan mudah. (Landung)