Oleh: Mujahidin Mar
Beberapa abad yang silam, Islam pernah mengalami perkembangan yang pesat, mengenyam masa kejayaan. Umatnya hidup dengan rukun, penuh kasih sayang, tidak ada rasa iri, dengki, takabbur, atau sifat yang suka meremehkan orang lain. Mereka hidup penuh pengertian, saling harga-menghargai, kasih-mengasihi, tolong-menolong, serta bahu-membahu dalam usaha untuk mewujudkan masyarakat Islam yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Islam dengan daya tariknya yang mempesona dapat mengubah masyarakat jahiliyah yang penuh kebejatan moral, kemaksiatan, dan saling bunuh tanpa ada rasa perikemanusiaan menjadi satu masyarakat yang tahu moral, tahu adat sopan santun pergaulan, tahu bagaimana menghargai orang lain, saling bantu-membantu, tolong-menolong antara sesama, serta tahu bagaimana cara hidup bermasyarakat yang baik.
Kedudukan Perempuan dalam Islam
Islam juga mampu menempatkan peranan dan harga diri kaum perempuan pada satu tempat yang sangat agung nilainya. Sebelum Islam datang, perempuan hanya merupakan hiasan dan tempat pemuas nafsu kaum laki-laki. Mereka tidak pernah diperhatikan, apalagi untuk dihargai. Banyak gadis dan anak-anak yang tak berdosa menderita lahir-batin di luar peri kemanusiaan. Mereka disiksa, dihina, dan bahkan mati dikubur hidup-hidup.
Setelah Islam datang di tengah-tengah masyarakat kaum kafir Quraisy (yang penuh kebiadaban), kaum perempuan diangkat derajatnya, disanjung keagungannya, dan dihargai nilai kepribadiannya. Lebih dari itu, Nabi Muhammad saw. telah menggambarkan akan pentingnya kedudukan kaum perempuan di tengah kehidupan berumah tangga, bermasyarakat, dan bernegara sebagai tiang untuk tegaknya negara: “perempuan adalah tiang Negara. Apabila akhlak mereka baik, baik pula negaranya. Dan apabila akhlak mereka bobrok (rusak), maka akan rusaklah negaranya” (al-Hadits). Dalam riwayat lain Nabi juga menjelaskan bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu.
Begitulah penting dan agungnya nilai kepribadian kaum perempuan. Dan di dalam al-Quran dapat kita lihat, kita baca firman Allah swt. pada QS. Luqman [31]: 14 yang artinya, “dan Kami wajibkan kepada manusia untuk taat kepada ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang tambah lemah, dan menyapihnya dalam masa dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada ibu-bapakmu, dan kepada-Ku-lah tempatmu kembali”.
Menciptakan Masyarakat Utama
Untuk mencapai keadaan yang terlukis di atas, yaitu masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur di bawah satu atap panji Islam dibutuhkan ikhtiar/pengorbanan yang tidak ringan. Perjuangan yang diiringi dengan pengorbanan, baik pengorbanan jiwa, raga, maupun pengorbanan harta-benda. Pada zaman dahulu, kaum Muslimin dalam usahanya untuk menegakkan agama Allah, yakni Islam, mereka berjuang dengan mengorbankan jiwa, raga, dan harta-benda. Mereka dengan semangat yang berapi-api berangkat ke medan laga untuk berperang menaruhkan nyawa melawan musuh-musuh Islam. Mereka dengan niat fi sabilillah rela meninggalkan harta-benda, sanak keluarga yang amat dicintai, bahkan merekapun rela mengorbankan nyawa demi tegaknya kalimat la ilaha illa Allah.
Harta mereka korbankan untuk mendirikan tempat-tempat ibadah, membangun tempat-tempat pendidikan, membantu para fakir miskin yang kekurangan. Itu semua mereka tunaikan hanya karena Allah, tanpa mengharap imbalan sedikitpun dari manusia lain. Itulah perjuangan. Kalau sudah demikian, di mana tiap individu yang menyatakan dirinya sebagai umat Muhammad sama-sama menyadari dan mau berjuang dan berkorban hanya karena Allah semata untuk menegakkan agama-Nya di permukaan bumi ini, insyaAllah apa yang kita resahkan, kita lihat, kita alami dan kita rasakan sekarang ini dapat kita sulap, kita rubah menjadi suatu keadaan yang penuh kedamaian. Yaitu masyarakat yang di dalamnya tumbuh rasa kasih sayang, rasa saling cinta-mencintai, rasa persaudaraan, saling harga-menghargai, hormat-menghormati, serta saling tolong-menolong antara sesama. Dan akhirnya diharapkan akan tercipta satu masyarakat, negara yang cinta damai, cinta kebenaran, cinta keadilan, serta cinta kesatuan dan persatuan yang masyarakatnya hidup adil makmur dan merata yang diridhai Allah swt.
Dalam QS. al-Baqarah [2]: 195, Allah berfirman yang artinya, “dan belanjakankah olehmu sekalian harta bendamu di jalan Allah, dan janganlah kamu campakkan dirimu sendiri dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah (dengan sesama), karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. Dan dalam QS. at-Taubah [9]: 41 Allah berfirman yang artinya, “berangkatlah kamu, baik dalam keadaan merasa ringan atau berat (merasa terpaksa), dan berjihadlah kamu dengan harta dan jiwa ragamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik jika kamu mengetahui”.
Jadi jelas, untuk mencapai suatu tujuan (bagaimanapun bentuk tujuannya) haruslah terlebih dahulu melewati satu batas, yaitu batas perjuangan dan pengorbanan. Tidaklan mungkin suatu tujuan akan dapat dicapai hanya dengan jalan menyajikan konsep, memberikan berbagai teori (hanya sekadar menganjurkan) tanpa mau menunjukkan contoh perbuatan yang nyata.
Sebagai akhir tulisan ini, mari kita sama-sama merenungkan apa yang dikatakan Allah dalam firman-Nya QS. ar-Ra’d [13]: 11 yang artinya, “sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum (individu, rumah tangga, masyarakat, negara termasuk keadaan kita umat Islam) sebelum kaum itu berusaha untuk mengubah nasibnya sendiri”.
Sumber: Majalah Suara ‘Aisyiyah Tahun 1985