
Nyai Walidah
Tepat pada 17 Agustus 2021 kemarin, Negara Kesatuan Republik Indonesia merayakan hari kemerdekaan ke-76 tahun. Meski begitu, di usianya yang tidak muda lagi, Indonesia masih mempunyai banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan demi terwujudnya cita-cita negara, berupa kesejahteraan rakyat dari berbagai aspek, salah satunya pendidikan.
Ada banyak tokoh Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan melalui jalur pendidikan, salah satunya ialah Siti Walidah. Ia merupakan istri dari Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Mengikuti jejak suami, Siti Walidah juga menjadi aktor di balik berdirinya organisasi perempuan Islam, yaitu ‘Aisyiyah pada 19 Mei 1917.
Penelitian Ika Setiya Wati dan Ragil Agustono (2017) berjudul “Peran Siti Walidah di Bidang Pendidikan dan Sosial dalam Perkembangan ‘Aisyiyah Tahun 1917-1946” menjelaskan bahwa sebelum ‘Aisyiyah berdiri, perempuan muslim di kalangan Muhammadiyah telah mengambil peran dan melakukan banyak kegiatan yang berhubungan dengan pendidikan dan kesejahteraan sosial bagi kaum perempuan.
Baca Juga: Jejak Perjuangan Siti Walidah
Siti Walidah mempunyai pandangan dan sikap bahwa kaum perempuan harus memainkan peran domestik dan publik dengan sebaik mungkin. Dalam buku Keluarga Sakinah dalam ‘Aisyiyah karya Ismah Salman, terdapat sebuah cerita dari Siti Baroroh Baried yang mengungkapan pendirian Siti Walidah. “Nyai kemudian menambahkan dalam kalimat akhir bahwa Allah tidak menghendaki, termasuk perempuan untuk bodoh dan lemah,” kenang Baroroh Baried.
Lebih lanjut, Ikan dan Ragil dalam penelitiannya menjelaskan kegiatan utama Siti Walidah ketika menjadi pimpinan ‘Aisyiyah, yakni berupa memajukan pendidikan dan keagamaan bagi perempuan, merawat anak yatim piatu, serta menanamkan rasa kebangsaan bagi kaum perempuan sehingga dapat mengambil peran aktif dalam pergerakan nasional.
Penelitian tersebut juga menjelaskan berbagai keberhasilan usaha Siti Walidah dalam memajukan kesejahteraan bagi perempuan, di antaranya:
Pertama, diselenggarakannya asrama putri dari berbagai daerah yang ada di Indonesia demi terwujudnya pendidikan yang layak bagi perempuan diseluruh nusantara. Kedua, mengadakan pendidikan keperempuanan melalui kursus dan menyelenggarakan pengajian bagi muslimah dari berbagai daerah yang ada di Indonesia.
Ketiga, mempelopori pemberantasan buta huruf bagi lanjut usia –yang saat itu ingin mengetahui keadaan Republik Indonesia melalui berbagai bacaan. Keempat, menyelenggarakan pertolongan pada anak-anak kurang mampu dan anak yatim piatu yang tidak berkesempatan untuk mengenyam pendidikan dan mendapatkan kasih sayang dari orang tua.
Perjuangan Siti Walidah untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan tidaklah mudah. Penelitian dari Halimatussa’diyah Nasution, dkk (2019), misalnya, menceritakan bahwa Siti Walidah harus berhadapan dengan generasi tua yang menganggap perempuan sebagai konco wingking (teman di belakang, di dalam rumah).
Baca Juga: Sejarah ‘Aisyiyah: Kelahiran Perempuan Muslim Berkemajuan
Meski begitu, Siti Walidah tidak goyah. Dengan sikap teguh dan sabar, ia terus memperjuangkan agar kaum perempuan mendapatkan kesetaraan dan tak lagi mengalami diskriminasi. Perjuangannya itu terutama dilakukan melalui organisasi ‘Aisyiyah.
Kecerdasan Siti Walidah tidak lepas dari pergaulannya dengan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia lainnya, seperti Jendral Sudiman, Bung Tomo, Bung Karno, dan K.H Mas Mansyur. Di hadapan tokoh-tokoh tersebut, Siti Walidah tidak pernah merasa rendah diri, bahkan beliau banyak memberikan nasihat-nasihat kepada mereka, terutama yang berkaitan dengan perempuan. (Cheny*)
*Mahasiswa magang di Suara ‘Aisyiyah
Sumber:
Nasution, H. D. (dkk). (2019). Studi Analisis Pemikiran Siti Walidah (Nyai Ahmad Dahlan) dalam Pendidikan Perempuan. Ihya al-Arabiyah: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Arab, 5 (2).
Wati, I. S., & Agustono, R. (2017). Peran Siti Walidah di Bidang Pendidikan dan Sosial dalam Perkembangan ‘Aisyiyah Tahun 1917-1946. SWARNADWIPA, 1 (2).