Oleh: Asep Purnama Bahtiar
Nomenklatur organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah menyiratkan hubungan yang erat antara swaorganisasi tersebut dengan persyarikatan, baik secara ideologis maupun struktur organisatoris. Keterkaitan ini tampak jelas misalnya dalam Qa’idah Organisasi Otonom Muhammadiyah (2007), dinyatakan tugas ortom sebagai berikut: pertama, membentuk dan membina kader persyarikatan. Kedua, membina warga Muhammadiyah dan membimbing kelompok masyarakat tertentu dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah. Ketiga, mengembangkan persyarikatan.
Tujuan ortom tersebut menegaskan bahwa keberadaannya tidak bisa lepas dari strategi gerakan dan dakwah Muhammadiyah agar dapat menjangkau berbagai elemen dan kalangan masyarakat luas dengan pembagian area kerja yang jelas. Misalnya kaum perempuan menjadi area garapan ‘Aisyiyah, kalangan pemudi oleh Nasyiatul Aisyiyah (NA), pemuda oleh Pemuda Muhammadiyah (PM), pelajar oleh Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), mahasiswa oleh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), dan sebagainya.
Baik berdasarkan pemilahan skop gerakan tadi maupun kesamaan tujuan umumnya, maka dalam konteks perkaderan belum dapat dianggap purna dan tuntas kaderisasinya jika yang dijalani hanya pada masing-masing ortomnya saja. Begitu pula dapat dikatakan bermuhammadiyah tidak cukup hanya saat aktif di ortom saja, atau juga terus-menerus aktif di sebuah ortom. Hal ini penting menjadi kesadaran berorganisasi agar tercipta wawasan bermuhammadiyah yang lengkap dan kesadaran kaderisasi yang berkesinambungan pasca-aktif di ortom.
Merevitalisasi Diri
Bertalian dengan proposisi-proposisi di atas tadi, setidaknya ada tiga aspek yang saling mempengaruhi dalam hal perkaderan pasca-ortom Muhammadiyah, khususnya organisasi otonom yang diistilahkan sebagai Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM). Pertama, organisasi otonom pada dasarnya dapat dimaknai sebagai fase antara, baik intra-sesama ortom maupun kelanjutannya ke Persyarikatan Muhammadiyah.
Kedua, makna dan hakikat kaderisasi itu sendiri merupakan proses penempaan diri kader yang berlangsung terus-menerus sepanjang hayat. Ketiga, perkaderan di ortom dan Muhammadiyah tidak dapat lepas dari situasi dan kondisi di sekitarnya. Dengan kata lain, konteks zaman turut berpengaruh dan harus direspons secara cermat agar perkaderan yang dilakukan dapat produktif ke dalam dan proaktif ke luar.
Keempat, hal itu pula yang perlu menjadi catatan penting bagi perkaderan pasca-ortom. Perkaderan di ortom bila berorientasi pada pemenuhan kebutuhan internal masing-masing, maka harus dapat diselenggarakan secara reguler, sistemik, dan berkesinambungan. Dengan demikian, penguatan ke dalam (ideologisasi dan pengayaan kapasitas diri kader) harus pula berorientasi keluar untuk memperbanyak akses bagi pengembangan karier kader di berbagai lini kehidupan.
Baca Juga: Muda-Mudi Muhammadiyah
Sebagai salah satu pilar perkaderan Muhammadiyah, ortom AMM dituntut untuk dapat menghasilkan kelompok-kelompok elit kader yang kredibel dan kompeten. Di samping untuk menjaga eksistensinya secara kontinu, ortom AMM juga harus mengambil peran strategis guna menyuplai kader-kader terbaiknya bagi Muhammadiyah, kebutuhan umat, dan kepentingan bangsa. Sikap ini merupakan penegasan dimensi kekaderan ortom AMM: kader persyarikatan, kader umat, dan kader bangsa.
Seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman, maka kebutuhan standar kompetensi dan kualifikasi kader untuk saat ini dan masa yang akan datang akan berbeda dengan masa yang lalu. Karena itu, untuk selalu menampikan sosok kader yang sesuai dengan zamannya, perlu diadakan upaya merevitalisasi diri. Langkah ini merupakan bagian terpenting dalam membangun format pengayaan dan pengembangan sumberdaya kader di kalangan ortom AMM.
Revitalisasi diri kader ini merupakan sebuah proses yang berkelanjutan untuk meningkatkan vitalitas, daya juang, dan kualitas kader melalui berbagai macam pelatihan, pendidikan, dan perkaderan yang terarah dan terencana. Melalui upaya ini, suplai kader tidak hanya berfungsi bagi pemenuhan kebutuhan internal organisasi saja, tetapi juga peran strategisnya akan terlihat dari kemampuannya dalam merespons dan menyikapi dinamika perkembangan zaman.
Harus dipahami bahwa arti penting lain dari merevitalisasi diri ini adalah agar kader AMM memiliki link and match, baik ke dalam maupun ke luar. Maksudnya, ada keterkaitan dan keselarasan dengan tuntutan kebutuhan internal persyarikatan, maupun kemestian bagi AMM untuk menguasai ilmu pengetahuan dan berbagai literasi (politik, ekonomi, sosial, budaya, dsb.) Kemampuan tersebut dimaksudkan agar kader mampu merespons perubahan sosial yang menyertai dinamika umat dan bangsa dalam percaturan global.
Mentransformasi Diri
Secara sederhana mentransformasi diri adalah pengubahan fungsi dan penggantian peran kader ke tahap yang lebih baik dan semakin berbobot. Sedangkan secara terminologi-konseptual, mentransformasi diri merupakan sebuah proses dan mekanisme perkaderan by design yang sistematis, terarah, dan terencana untuk melakukan pengalihan fungsi dan peran seorang kader –berdasarkan pada standar kualifikasi, kompetisi, dan kapabilitas kecakapan dalam bidang keahlian khusus– untuk menempati posisi tertentu dalam sebuah organisasi.
Konkretnya, transformasi ini dapat diterapkan antarsesama kader melalui promosi dan penokohan kader untuk beralih jenjang ke organisasi yang dipandang lebih sesuai daripada sebelumnya, umpamanya karena faktor umur dan tingkat pendidikan. Misalnya, di ortom, transformasi kader dari IPM ke IMM, atau ke PM dan ke NA. Ada kecenderungan kalau terlalu lama aktif di salah satu ortom, apalagi diwarnai dengan ego sektoral, bisa-bisa sang kader itu menghabiskan umurnya di ortom tersebut dan bersikap sinis terhadap ortom lain.
Baca Juga: Sembilan Prinsip Kaderisasi Digital
Adapun transformasi kader untuk Muhammadiyah adalah dengan melakukan promosi dan penokohan kader yang sesuai dengan posisi dan kebutuhan, dari kalangan AMM untuk menempati pos-pos tertentu dalam Muhammadiyah. Untuk memperlancar mekanisme dan sistem transformasi kader ini, baik di kalangan AMM maupun Muhammadiyah, perlu dilakukan penjajagan dan pemantauan kader-kader potensial secara intensif, misalnya melalui berbagai jenis dan jenjang perkaderan serta penugasan yang terencana.
Dalam kebijakan ini juga dapat dilakukan pengorbitan dan penyebaran kader lepas yang secara struktural keorganisasian tidak terikat formal. Kader lepas tersebut diberi kesempatan dan dukungan untuk mengaktualisasikan dan mengembangkan potensi sumber dayanya di luar persyarikatan dengan tetap membawa prinsip dan misi Muhammadiyah.
Perkaderan pasca-ortom ini diharapkan dapat lebih mempercepat proses pengembangan dan peningkatan kualitas kader AMM yang sesuai dengan kompetensi dan kapabilitas yang relevan dengan perkembangan zaman. Dengan kebijakan ini pula, sedikit banyak akan dapat mengatasi problem kaderisasi. Selain itu, menjadi ajang perkaderan yang kondusif untuk mempercepat “mobilitas vertikal” dan “mobilitas horizontal” kader AMM, baik dalam lingkup kepentingan internal Muhammadiyah maupun untuk merespons dinamika kebangsaan yang tidak dapat lepas dari percaturan globalisasi yang multikompleks.