Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya …
(Q.S. an-Nisa’ (4): 6)
Bencana gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi telah meluluhlantakkan kota Palu, Sigi, dan Donggala di Provinsi Sulawesi Tengah pada September 2018. Peristiwa tersebut ternyata menyisakan fenomena pernikahan anak penyintas bencana dimaksud. Ayomi Amindoni dan Dwiki Muharam, dari BBC News Indonesia, pernah mengangkat kisah di balik fenomena pernikahan anak penyintas korban bencana gempa, tsunami, dan likuifaksi dimaksud.
Dini (bukan nama sebenarnya) menikah di pengungsian ketika usia 16 tahun. Ia telah berpacaran dengan teman sebayanya sejak sebelum gempa. Tinggal di pengungsian membuatnya lebih banyak menghabiskan waktu dengan kekasihnya hingga akhirnya dia menyadari bahwa dirinya sudah hamil dua bulan. Cita-citanya untuk kuliah agar dapat mengangkat kehidupan keluarga yang serba kekurangan akhirnya kandas karena harus menikah di usia remaja awal yang belum siap untuk menikah.
Santi (bukan nama sebenarnya) menikah ketika dirinya masih berusia 14 tahun. Suaminya, adalah seorang pemuda berusia 20 tahun yang bekerja di pelabuhan. Setelah gempa, ia tinggal di pengungsian, kemudian ikut neneknya. Saat suatu hari ibu dan neneknya memergoki mereka berpacaran, keduanya dinikahkan. Lain lagi kisah seorang pria yang istrinya menjadi korban likuifaksi. Ia kemudian menikah dengan anak gadis berusia 17 tahun yang terpaksa putus sekolah di kelas dua SMA.
Isu pernikahan usia anak kembali menjadi sorotan menyusul pernikahan remaja pria 16 tahun dan gadis 14 tahun di Sidrap, Sulawesi Selatan, pada Maret 2019. Tribun Jabar merilis pernyataan Komisioner KPAI Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, Jasra Putra, terkait hal tersebut pada 6 Maret 2019, yang mengatakan bahwa berdasarkan penelitian “pernikahan anak di bawah umur 80 persen berdampak pada putus sekolah, memperburuk ekonomi, dan meningkatkan angka kematian ibu melahirkan. Bagi keluarga kurang mampu, justru berdampak memperburuk ekonomi keluarga, bahkan ada kecenderungan menambah beban serta mewariskan kemiskinan keluarga. Menurutnya, hal itu terjadi karena pasangan mempelai tidak memiliki pendidikan yang baik maka sulit bekerja di sektor-sektor formal”.
Budaya nikah anak juga berkembang di kalangan remaja muslim yang dianggap cerminan dari ”ekspresi keberagamaan”. Ungkapan “Pernikahan Dini, Siapa Takut”, semakin populer di kalangan “remaja muslim”, Ungkapan lainnya yang cukup menggelitik adalah “ Berhenti atau Halal”. Ungkapan dimaksud mengekspresikan paham agama yang cenderung memahami nash secara tekstual, tanpa melihat aspek-aspek lain seperti aspek fisik terkait dengan kesehatan reproduksi, psikis, sosial, pendidikan, dan ekonomi yang mendukungnya.
Ternyata pengaruh makna ungkap-an di atas meluas terutama setelah dipopulerkan oleh public figure yang digandrungi remaja. Pengaruh tersebut ditandai dengan semakin meluasnya pemahaman bahwa nikah di usia anak lebih baik dari pada terjebak dalam pergaulan bebas yang mengarah pada mendekati zina. Pandangan ini perlu dikritisi karena pernikahan bukan sekadar melegalkan hubungan seks. Lebih dari itu, pernikahan adalah ikatan suci yang membawa konsekuensi hukum, spriritual, psikis, sosial, ekonomi, dan pendidikan, yang memerlukan kesiapan matang untuk mewujudkan keluarga sakinah selaku pilar terbentuknya insan bertakwa serta masyarakat dan bangsa yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat.
Ada banyak faktor yang memicu tingginya perkawinan anak-anak di bawah usia 18 tahun, baik yang dilakukan di desa-desa maupun di kota-kota besar. Hasil penelitian Lembaga Penelitian dan Pengembangan (LPP) PP ’Aisyiyah yang dilakukan di daerah Bantul dan Serang (Banten) menemukan beberapa faktor pemicu sebagai berikut: minimnya informasi tentang kesehatan reproduksi (kespro) dan batas minimum usia nikah, keinginan untuk meringankan beban ekonomi orang tua karena kemiskinan, rendah-nya tingkat pendidikan orang tua dan remaja, massifnya teknologi informasi yang mempermudah akses remaja pada tayangan pornografi, serta KTD (Kehamilan Tidak Dikehendaki).
Minimnya informasi kespro menyebabkan para remaja tidak memahami usia ideal menikah serta dampaknya pada kondisi organ-organ reproduksi yang sehat dan siap dibuahi. Minimnya informasi kespro juga mengakibatkan adanya kehamilan tidak dikehendaki. Pasalnya, mereka belum memahami bahwa pergaulan bebas laki-laki dan perempuan dapat menyebabkan kehamilan. Faktor rendahnya akses dan tingkat pendidikan yang disebabkan faktor kemiskinan, budaya, psikologis, maupun lokasi sekolah yang relatif tidak terjangkau, mengakibatkan anak-anak tidak dapat melanjutkan sekolah yang mendorong mereka untuk menikah meskipun belum memasuki usia dewasa.
Masih maraknya perkawinan usia anak menjadi keprihatinan pihak-pihak yang menaruh perhatian terhadap tumbuh kembang dan pendidikan anak. Bagaimanapun,anak-anak adalah generasi penerus yang akan melanjutkan estafet perjuangan dan tanggung jawab memakmurkan dan memajukan bangsa Indonesia, menyongsong generasi emas di 100 tahun Indonesia merdeka. Mempertimbangkan banyaknya risiko pernikahan anak-anak yang akan menutup kesempatan pendidikan dan pengembangan potensi anak, rentan memicu kematian ibu dan bayi, penelantaran anak dan pemiskinan perempuan, maka harus dilakukan edukasi dan penguatan keluarga agar anak-anak berkesempatan melanjutkan pendidikan dan mengembangkan potensi. Dengan cara ini, praktik pernikahan anak akan dapat dihindari.
Di antara edukasi yang perlu dilakukan adalah mengembangkan pemikiran Islam yang berkemajuan, Islam yang memberikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi kaum perempuan dan anak. Tulisan ini mengangkat Perkawinan Anak Tidak Dianjurkan berdasarkan Perspektif Muhammadiyah dengan mengacu pada konsep Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah tentang Usia Perkawinan. Usia ideal nikah sendiri diangkat dari Fikih Anak Keputusan Munas Tarjih ke-30 di Makasar tahun 2018. Berikut ini disampaikan beberapa pertimbangan bahwa pernikahan usia anak tidak dianjurkan (ghairu masyrū’).
Landasan Normatif al-Qur’an Tentang Usia Pernikahan
Ayat yang mengawali tulisan ini (Q.S. an-Nisa` (4): 6), meskipun terkait
dengan hak-hak anak yatim, namun secara eksplisit menegaskan usia perkawinan, dengan lafal “rusydan” yaitu usia kematangan anak yatim yang dipandang cakap dalam mengelola harta warisan orang tuanya. Meskipun demikian, secara eksplisit, ayat tersebut menyebut usia matang untuk nikah, yaitu usia “rusydan”. Dalam kitab Tafsir al-Quran al-hakīim yang dikenal dengan Tafsir al-Manar, Sayid Imam Muhammad Rasyid Ridha mengutip komentar Ibnu Jarir yang menyampaikan bahwa di antara mufassir salaf terdapat beberapa pendapat tentang makna rusydan. Mujahid mengartikannya dengan al-’aql (akal). Qatadah memaknai dengan baik akal dan agamanya. Ibnu Abbas memaknai dengan baik kondisi diri dan hartanya.
Sedangkan menurut Rasyid Ridha, rusydan dimaknai dengan ḥusnut-taṣarruf wa iṣābatul-khair, (mampu mengelola harta dan menggunakannya dengan baik) serta ṣiḥḥatul-‘aql wujūdatur-ra`yi (sehat akal dan ma-tang dalam berfikir). Selanjutnya, ia menegaskan bahwa usia nikah (usia ketika seseorang sudah siap untuk menikah) adalah usia dewasa. Dalam usia ini, seseorang memiliki kecenderungan ingin membangun rumah tangga dan memiliki keturunan. Pada masa itu, seorang pria ingin menjadi seorang suami dan ayah bagi anak-anaknya. Sedangkan seorang perempuan ingin menjadi seorang istri dan ibu bagi anak-anaknya. Dengan demikian, secara eksplisit, al-Quran menegaskan adanya usia dewasa dalam pernikahan, yaitu mereka yang telah memiliki kematangan dalam berfikir, berilmu, serta mampu mengelola harta. Sebab, pernikahan memerlukan kesiapan-kesiapan itu supaya dapat berjalan dengan baik.
Selain itu, anjuran menikah ditujukan kepada asy-Syabāb, yaitu para pemuda, dan secara eksplisit menyebutkan adanya kemampuan dalam pernikahan. Pasalnya, pemuda adalah orang yang sudah memasuki usia dewasa, bukan usia anak. Pemuda yang sudah memiliki kemampuan untuk menikah, baik kemampuan fisik, kejiwaan, ekonomi, sosial, maupun spi-ritual, dianjurkan untuk menikah. Bagi yang belum mampu (termasuk usia dini), tidak dianjurkan menikah, tetapi dianjurkan berpuasa, artinya mengendalikan diri dari pergaulan bebas di antara putra-putri bukan mahram.
Hadis Tentang Usia Pernikahan ’Aisyah
Hadist yang seringkali dijadikan rujukan praktik pernikahan anak adalah :
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم تَزَوَّجَهَا وَهِيَ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ وَبَنَى بِهَا وَهِيَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ (رواه البخاري)
Dari ‘Aisyah bahwa Nabi saw menikahinya ketika berumur 6 tahun dan mulai hidup bersama ketika usianya 9 tahun (H.R. Bukhari).
Hadis itu oleh para fuqahā` dipahami bahwa Nabi Muhammad saw. menikahi ‘Aisyah r.a., yang saat itu berusia 6 tahun dan hidup bersama satu rumah dengan Rasulullah saw. pada usia 9 tahun. Praktik pernikahan anak dalam masyarakat seringkali mengacu pada hadis tersebut. Mereka juga berpan-dangan, daripada anak-anaknya berzina, lebih baik dinikahkan, meski masih usia anak, belum mandiri secara ekonomi, dan masih tergantung pada orang tua.
Dalam konteks kekinian, hadis dimaksud perlu dibaca secara komprehensif dari berbagai perspektif. Tujuannya agar kita dapat memperoleh pemahaman positif sejalan dengan maqashidut-tasyri’ yang dikembangkan dalam fikih yang memaslahatkan, yang dilandasi nilai- nilai rahmah, kelembutan, kebaikan, keutamaan, kesetaraan, dan keadilan. Apabila pembacaan kritis terhadap hadis tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan aspek sanad hadis, faktor historis, kondisi sosio antropologis masyarakat Arab, kondisi kematangan jiwa ‘Aisyah, serta aspek tarikh tasyri’, akan dapat dipahami bila Islam tidak menganjurkan perkawinan anak.
Aspek Sanad Hadis
Terhadap hadis ‘Aisyah yang diriwayatkan Bukhari tentang pernikahan ‘Aisyah tersebut di atas telah dilakukan kritik hadis. Riwayat hadis tentang usia ’Aisyah r.a. ketika melakukan pernikahan tersebut di atas hanya berasal dari Hisyam bin ’Urwah sehingga hanya Hisyam sendirilah yang menceritakan umur ‘Aisyah saat dinikahi Nabi, tidak oleh Abu Hurairah atau Anas bin Malik. Hisyam pun baru meriwayatkan hadis ini pada saat di Irak ketika usianya memasuki 71 tahun. Ya’qub bin Syaibah mengatakan tentang Hisyam, ”Apa yang dituturkan Hisyam sangat terpercaya, kecuali yang diceritakannya saat ia menetap di Irak”. Syaibah menambahkan bahwa Malik bin Anas menolak penuturan Hisyam yang dilaporkan ke penduduk Irak. Menurut para ahli, tatkala usia Hisyam sudah lanjut ingatannya sangat menurun. Dengan demikian, riwayat yang menyebutkan usia pernikahan ‘Aisyah r.a. yang bersumber dari Hisyam bin ’Urwah patut dikritik pula.
Aspek Sosio Antropologis
Dalam membaca hadis pernikahan ‘Aisyah dimaksud, jika riwayat tersebut benar, maka pernikahan tersebut perlu dibaca dari sisi sosio antropologis. Usia pernikahan itu relatif tergantung dari budaya masyarakat, era, dan tempat. Antara masyarakat satu dengan lainnya, satu tempat ke tempat lain, dan era berbeda, akan nampak budaya dan tradisi yang cenderung berbeda pula. Untuk masyarakat perkotaan modern, usia pernikahan perempuan berkisar antara 20 hingga 25 tahun. Lain halnya dengan masyakat pedesaan di mana gadis pada usia belasan tahun sudah dipersunting para pemudanya yang juga berusia relatif muda. Boleh jadi, masyarakat Arab Badui yang belum mengenal sekolah formal sebagaimana yang djumpai di perkotaan negara-negara Arab juga mengalami hal yang sama. Meskipun demikian, jika ini dikaitkan dengan ’Aisyah, usia mudanya diimbangi dengan kedewasaannya. Dalam hal ini, sering dikatakan bahwa ’Aisyah jauh lebih dewasa dari perempuan seusianya karena faktor kepribadian, keilmuan, dan aktivitasnya dalam membimbing masyarakat.
Baca selengkapnya di Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 11 November 2019
Sumber ilustrasi : https://news.detik.com/kolom/d-4044812/indonesia-masih-darurat-perkawinan-anak