‘Aisyiyah yang berdiri pada tahun 1917 M ini bertumbuh dengan cepat. Perkembangannya tidak berhenti di Yogyakarta saja, melainkan juga di beberapa wilayah di Pulau Jawa atau bahkan hingga luar Pulau Jawa. Melihat kenyataan ini, tentu dapat diakui bahwa ‘Aisyiyah memiliki andil yang sangat besar dalam membangun pondasi pendidikan yang baik di Indonesia. Dalam hal ini, Nyai Ahmad Dahlan sebagai pimpinan ‘Aisyiyah kala itu bersama-sama dengan Muhammadiyah terus mencoba melaju lebih jauh lagi. Pondok maupun lembaga pendidikan untuk mendidik perempuan pun lebih dikembangkan lagi.
Dalam perkembangan selanjutnya, amal usaha rintisan K.H. Ahmad Dahlan dan Nyai Ahmad Dahlan telah menjadi keputusan muktamar dengan dibukanya sekolah-sekolah kejuruan, mulai dari Sekolah Bidan, Sekolah Perawat, Sekolah Kepandaian Putri, Sekolah Guru Kepandaian Putri, Sekolah Guru Taman Kanak-kanak, dan lain-lain. Untuk memperluas amal usahanya, ‘Aisyiyah juga telah membuka Rumah Sakit Bersalin. Demi mengintensifkan pembinaan jemaah perempuan, kemudian muncul inisiasi untuk menyelenggarakan kegiatan ibadah khusus untuk perempuan, misalnya seperti mengadakan salat tarawih berjamaah khusus perempuan.
‘Aisyiyah sendiri sebenarnya berawal dari forum-forum khusus perempuan yang diinisiasi oleh K.H Ahmad Dahlan pada tahun 1914. Forum-forum ini kemudian dinamai dengan “Sopo Tresno”. Barulah pada tahun 1917, ‘Aisyiyah secara resmi berdiri dan menjadi bagian dari Muhammadiyah. Perkembangan ini terus berlanjut pada tahun 1919 saat Siswo Proyo Wanito dibentuk guna mengumpulkan perempuan-perempuan di luar sekolah. Nantinya perkumpulan ini berubah nama menjadi “Nasyiatul ‘Aisyiyah” pada tahun 1931 dalam Kongres ke-20 di Yogyakarta. Pada tahun ini jugalah ‘Aisyiyah untuk pertama kalinya mendirikan Frobel atau Taman Kanak-kanak.
Kemudian pada tahun 1922, gerakan ‘Aisyiyah semakin diintensifkan dengan didirikannya Musala ‘Aisyiyah oleh K.H Ahmad Dahlan. Sebelum musala ini berdiri, kajian dan salat berjamaah khusus perempuan dilaksanakan di rumah orang tua Hayinah Mawardi dan serambi rumah Nyai Ahmad Dahlan.
Tidak hanya dalam kegiatan keagamaan saja, ‘Aisyiyah juga bergerak dalam kegiatan pengembangan literasi. Pada tahun 1923, ‘Aisyiyah mulai menggencarkan pemberantasan buta huruf, baik itu huruf Arab ataupun Latin. Kegiatan pemberantasan ini diikuti oleh perempuan dari segala usia, baik itu yang muda hingga para ibu rumah tangga. Tidak hanya kegiatan literasi seperti membaca dan menulis, ‘Aisyiyah juga turut aktif dalam menyiarkan segala bentuk informasi. Salah satu manifestasi dari hal ini adalah didirikannya penerbitan majalah bernama Suara ‘Aisyiyah pada tahun 1926.
Baca Juga: Pentingnya Pemberdayaan Perempuan dalam Keluarga
Keseriusan gerakan pendidikan dan literasi ini juga semakin tampak mulai dari tahun 1930. Pada tahun tersebut, Kongres ‘Aisyiyah yang ke-19 terselenggarakan di Bukittinggi di mana salah satu hasil putusannya adalah seluruh cabang ‘Aisyiyah harus mengadakan kursus bahasa Indonesia. Selain itu, sistem pengelolaan pendidikan khusus perempuan semakin diperbaiki dan dikembangkan lagi.
Perkembangan ini terus digencarkan meskipun harus menghadapi berbagai macam halangan. Pada tahun 1942-1945 atau masa penjajahan Jepang, banyak kegiatan dan lembaga pendidikan ‘Aisyiyah yang hampir tidak aktif. Forum seperti kajian pun terhalang karena perempuan diwajibkan bergabung dan mengikuti Fujinkai yang diadakan pemerintah Jepang. Madrasah seperti Mu’allimat pun sampai harus melakukan re-branding dengan nama Pengajian Menengah ‘Aisyiyah (PMA) demi bisa tetap aktif.
Meski demikian, gerakan ‘Aisyiyah pun semakin meluas. Hal ini tampak dari perannya dalam mempelopori berdirinya federasi antar organisasi perempuan pada tahun 1928. Perluasan gerakan pun belum berhenti. Kini ‘Aisyiyah semakin melimpahkan perhatiannya terhadap dunia anak-anak dengan mengadakan Baby Show yang sebelumnya tidak pernah ada. Acara yang berbentuk Lomba Bayi Sehat ini juga didukung oleh Departemen Kesehatan yang berwenang kala itu.