Setiap organisasi tak bisa dipisahkan dari pendirinya, begitu pula Muhammadiyah yang terkait erat dengan K.H.A. Dahlan. Ketika mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912, K.H.A. Dahlan bermaksud agar gagasan dan pemikirannya bisa diwujudkan melalui organisasi tersebut.
Ia menyadari bahwa mewujudkan gagasan-gagasan besar tidak mungkin dilakukan seorang diri, termasuk oleh dirinya sendiri, tetapi memerlukan kerja sama banyak orang. Oleh karena itu, beliau mengajak orang-orang yang sejalan dengannya untuk mendirikan Muhammadiyah. Hal ini menjelaskan mengapa gagasan-gagasan pribadi K.H.A. Dahlan kemudian diintegrasikan menjadi gagasan organisasi Muhammadiyah.
Mengikuti prinsip K.H.A. Dahlan yang lebih suka merealisasikan ide-idenya dalam tindakan nyata daripada hanya dalam diskusi atau tulisan, Muhammadiyah pada awal berdirinya tidak memiliki banyak rumusan formal tentang gagasan yang diperjuangkan. Rumusan formal yang ada mungkin hanya tercermin dalam Anggaran Dasar atau Statuta Muhammadiyah.
Seiring waktu, Muhammadiyah berkembang pesat secara vertikal dan horizontal, menghadapi tantangan dan permasalahan yang semakin kompleks. Hal ini menciptakan kebutuhan untuk merumuskan gagasan dan pemikiran K.H.A. Dahlan secara formal melalui forum legislatif seperti Muktamar dan Tanwir.
Secara umum, gagasan yang diformalkan dalam Muhammadiyah terbagi menjadi dua kategori: ideologis dan strategis. Pemikiran ideologis di antaranya termasuk Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah (1951), Kepribadian Muhammadiyah (1961), Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (1969), dan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (2000). Sementara pemikiran strategis tercermin dalam berbagai Khittah Perjuangan Muhammadiyah, seperti Langkah Muhammadiyah (1938-1940), Khittah Palembang (1956-1959), Khittah Ponorogo (1969), Khittah Ujung Pandang (1971), Khittah Surabaya (1978), serta Khittah Muhammadiyah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (2002).
Baca Juga: Makna Filosofis di Balik Logo Muhammadiyah
Selama lebih dari 95 tahun, Muhammadiyah telah berhasil menghadapi berbagai masalah dan tantangan berdasarkan pokok-pokok pikiran formal ini. Dalam menghadapi tantangan masa depan yang semakin kompleks di abad ke-21, Muhammadiyah diharapkan tetap relevan dalam menjawab perubahan zaman.
Pemikiran ideologis, yang diambil dari prinsip ajaran Islam, bersifat tetap dan tidak berubah. Yang mungkin diperlukan adalah memperbarui rumusan dan pengembangan makna tanpa mengubah nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya. Sedangkan pemikiran strategis, yang dikenal sebagai Khittah Perjuangan, bersifat dinamis dan dapat berubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi oleh Muhammadiyah. (Salma)
[Tulisan ini dilansir dari makalah “Orientasi Idealisme Gerakan Muhammadiyah; Tinjauan atas Prinsip-prinsip Gerakan” Karya A. Rosyad Sholeh yang disampaikan pada pengajian Ramadhan PP. Muhammadiyah tahun 1426 Hijriyah]