Oleh: Azizah Herawati
Pernikahan dini
Bukan cintanya yang terlarang
Hanya waktu saja belum tepat
Merasakan semua
Pernikahan dini
Sebaiknya janganlah terjadi
Nanti putih cinta membuktikan
Dua insan tak dapat dipisahkan
Potongan lirik dari lagu sountrack dari sinetron “Pernikahan Dini” ini sempat viral pada tahun 2000-an. Sinetron ini sejatinya merupakan adaptasi dari film layar lebar dengan judul yang sama pada tahun 1987. Munculnya film yang diperankan oleh Mathias Muchus dan Gladys Suwandhi tersebut tentu saja diilhami dari fenomena yang terjadi saat itu. Pergaulan bebas yang berakibat pada kehamilan di luar nikah saat mereka masih bersekolah. Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan dini bukan sesuatu yang baru, sudah ada sejak dulu. Pernikahan yang seharusnya menjadi momen terindah dalam kehidupan seseorang, harus pupus dan mendulang petaka. Mahligai rumah tangga yang diharapkan seperti slogan pegadaian, “Menyelesaikan Masalah tanpa Masalah” tidak berlaku lagi, karena yang terjadi justru sebaliknya, “Menyelesaikan Masalah dengan Masalah”.
Dilansir dari mediaindonesia.com, Indonesia menduduki urutan ketujuh di dunia sebagai negara dengan jumlah kasus pernikahan anak yang paling banyak. Dikatakan tinggi karena satu dari empat anak perempuan di Indonesia menikah dalam usia kurang dari 18 tahun, sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Angka semakin tinggi dengan diubahnya batas minimal usia nikah menjadi 19 tahun bagi kedua mempelai pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. Satu hal yang memprihatinkan.
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya sebagai Penyuluh Agama di Kantor Urusan Agama (KUA) selama 17 tahun, saya menemukan banyak faktor penyebab terjadinya pernikahan dini. Pemicunya tidak hanya masalah klise yang angkanya terus bertambah, yakni kehamilan di luar nikah, namun ada juga yang terjadi karena faktor lingkungan dan nilai sosial budaya atau adat istiadat. Kondisi ekonomi dan latar belakang pendidikan keluarga juga menambah lengkap rentannya kejadian pernikahan dini.
Saya teringat ketika ditugaskan di kawasan yang sebagian penduduknya berada di lereng Gunung Sumbing. Kala itu usia perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 belum diubah, yakni minimal 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Budaya yang berlaku di daerah mereka, pernikahan belum didaftarkan tapi persiapan pesta sudah digelar besar-besaran. Nah, saat didaftarka di KUA, ternyata usia calon pengantin perempuan masih kurang dari 16 tahun. Bagi mereka itu biasa, karena di lingkungan mereka seusia itu sudah bekerja dan saatnya dinikahkan meskipun tidak terjadi ‘kecelakaan’ alias kehamilan sebelum menikah.
Peristiwa serupa juga terjadi ketika saya bersama tim Kabupaten Layak Anak melakukan sosialisasi penundaan usia nikah di lereng Gunung Merbabu dan Merapi. Adat istiadat yang berlaku di sana, jika anak telah lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP), bahkan baru lulus Sekolah Dasar (SD) sudah saatnya dinikahkan. Bahkan jika sudah dilamar mereka sudah boleh melakukan apa saja dan orangtuanya bangga karena ‘anaknya sudah laku’.
Alasan menghindari perzinaan juga sering dijadikan dasar untuk menikahkan anak di usia muda. Dari sinilah kita bisa menarik benang merah bahwa faktor ketidaktahuan tentang bahaya pernikahan dini, seperti kesiapan mental, kemapanan finansial, kematangan organ reproduksi dan pengetahuan tentang pengasuhan anak menjadi sebuah keniscayaan untuk terus dikampanyekan.
Baca Juga: Benarkah ‘Aisyah Menikah pada Usia Enam Tahun?
Mari kita renungkan terjemahan dari firman Allah swt. dalam al-Quran surat An-Nisa’ ayat 9 berikut ini: artinya, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.
Ayat di atas memberikan peringatan kepada kita tentang pentingnya generasi berkualitas. Sementara itu, kekhawatiran melahirkan generasi yang lemah akibat pernikahan dini sangat mungkin terjadi. Bagaimana tidak, jika calon orang tua dari anak yang akan dilahirkan memiliki banyak risiko akibat dari pernikahan dini. Setidaknya ada tiga risiko yang rentan dialami dari pernikahan dini, yaitu:
Pertama, risiko kejiwaan. Pasangan nikah dini apalagi yang disebabkan oleh kehamilan tak diinginkan sangat rentan mengalami stress. Secara psikologis mereka tidak siap mental dan belum matang untuk menghadapi problematika kehidupan. Ketidaksiapan untuk hamil, janin yang tidak dikehendaki keberadaannya akan berakibat buruk dalam perkembangannya sejak dalam kandungan. Perlakuan kurang baik dan perhatian terhadap janin yang tidak serius seperti umumnya orang hamil akan berdampak pada kurangnya perhatian dan kasih sayang pada anaknya bahkan setelah dilahirkan. Sehingga anak akan mengalami lemah mental dan bermasalah dalam pergaulan.
Kedua, risiko sosial. Hukum tak tertulis yang berlaku di masyarakat terkadang lebih tajam daripada pedang. Dengan menikah, masalah tidak serta merta selesai. Mereka akan terus menjadi bahan pergunjingan yang tak berujung. Jika tidak siap, mereka akan semakin tak berdaya. Tuntutan menjalani peran sebagai orangtua secara tiba-tiba, saat teman-teman seusianya masih menikmati kebahagiaan masa muda semakin menambah daftar rentetan permasalahan hidup. Akibatnya kepengasuhan terhadap anak menjadi terabaikan. Anak tidak lagi menjadi sesuatu yang membahagiakan, namun dianggap sebagai beban.
Ketiga, risiko kesehatan. Program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) mencanangkan usia ideal menikah adalah 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki. PUP bukan sekedar menunda pernikahan sampai usia tertentu saja, namun juga mengusahakan supaya kehamilan pertama terjadi pada usia cukup dewasa. Sudah terbukti dari segi kesehatan, pernikahan dini berdampak negatif bagi ibu dan anak. Hal ini terjadi karena mereka belum siap menerima risiko kehamilan dan persalinan. Risiko tersebut lebih serius daripada mereka yang sudah cukup umur, antara lain risiko terkena kanker leher rahim, cenderung melahirkan anak stunting, persalinan macet, gangguan pertumbuhan tulang dan yang paling fatal adalah kematian ibu dan bayi.
Berbagai upaya sosialisasi, kampanye, pendekatan, dan pendampingan dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat dalam rangka mencegah pernikahan dini sebenarnya sudah dilakukan. Saya yang kebetulan menjadi Agen Perubahan dari Kementerian Agama yang mengangkat isu ini dengan branding “Gerceg Wincah” akronim dari Gerakan Pencegahan Perkawinan Bocah juga banyak melakukan upaya yang sama. Saya merangkul generasi muda yang diharapkan menjadi konselor sebaya. Tujuannya tidak lain adalah mempersiapkan generasi tangguh yang pada saatnya nanti benar-benar siap menikah. Sebagaimana yang diprogramkan pemerintah yakni “Nikah Sehati”, Sehat, Terencana dan Mandiri.
Pernikahan dini bisa diminimalisir dengan membekali pengetahuan dan pemahaman agama yang benar serta pendidikan budi pekerti kepada generasi muda, menciptakan lingkungan yang kondusif serta mengisi waktu luang dengan kegiatan yang positif. Saatnya kembali memberikan perenungan tentang tujuan luhur dari sebuah pernikahan sebagaimana disebutkan dalam al-Quran surat Ar-Rum ayat 21, yakni membentuk keluarga yang sakinah, mawadah, dan rahmah. Sebuah keluarga yang diliputi ketentraman, penuh curahan cinta dan kasih sayang. Aamiin.