Muhammadiyah memasuki tahap baru pengembangan pesantren. Kehadiran Pesantren Sains (Trensains) Muhammadiyah Sragen pada 2012 mengawali proses pengembangan itu. Suara ‘Aisyiyah berkesempatan mewawancarai Agus Purwanto, inisiator di balik pendirian Trensains Muhammadiyah secara daring, Kamis (7/4).
Apa alasan di balik pendirian Trensains Muhammadiyah?
Saya itu berpikir tentang sains sudah sejak kecil. Tertinggalnya umat Islam dalam bidang sains memunculkan kegelisahan saya. Saya tinggal di daerah yang untuk pergi ke sekolah harus melewati rel kereta api. Kultur kami di desa itu slametan. Saya anak sulung, sehingga sering mendapat tugas dari orang tua untuk mengantar ke sana kemari bahan slametan. Kemudian juga sering dimintai mewakili ayah saya untuk kenduri.
Ujung dari semua itu adalah tidak termakannya menu-menu yang kita terima. Saya jadi merasa kok waktu saya habis untuk hal-hal beginian. Tidak mungkin Islam mengajarkan sesuatu yang mubadzir, dan waktu kita habis itu hal-hal seperti itu. Tidak mungkin kalau begini caranya umat Islam bikin kereta api, apalagi pesawat. Jadi, tidak mungkin Islam begini; tidak mendukung ilmu pengetahuan. Jadi kesadaran tentang ilmu ini sudah sejak awal, sudah sejak kecil. Itu sudah inhern dalam diri saya.
Singkat kata, tahun 2008 saya menulis buku Ayat-Ayat Semesta. Begitu menulis buku itu, kemudian teman-teman mengingatkan supaya ada semacam kaderisasi. Beberapa pihak juga mengajukan pertanyaan serupa yang poinnya adalah: apakah saya sudah menyiapkan kader? Karena sunnatullah mengatakan bahwa cepat atau lambat bahwa seseorang itu kan pasti mati. Itu yang kemudian membuat saya merenung.
Tentang pesantren, sebenarnya kalaupun bikin pesantren, saya penginnya itu pesantren mahasiswa. Tapi karena satu dua hal, ide tersebut tidak dapat terlaksana. Kemudian ada dua lembaga yang meminta, sehingga kemudian gagasan ini saya turunkan ke tingkat SMA. Maka lahirlah Trensains itu. Semula mahasiswa, saya berpikirnya.
Baca Juga: Muhammadiyah dan Pesantren
Trensains Sragen itu mulai tahun 2012. Pelatihan ToT (Training of Trainer) pertama itu Desember 2012. Jadi asatidz-nya saya training semua. Jadi tidak berdiri kemudian asatidz sembarangan yang mengajar. Tidak. Semua asatidz harus tahu apa visi Trensains. Awalnya Pondok Pesantren Darul Ihsan Muhammadiyah Sragen. Kemudian ada perubahan kurikulum. Kurikulumnya Trensains harus beda. Kalau tidak, ya gimana mau jadi Trensains.
Ide kurikulum Trensains itu dari mana?
Saya kan orang pergerakan. Saya kalau punya gagasan kan saya jabarkan dalam bentuk praksis. Saya bukan ahli kurikulum, tapi saya tahu apa yang harus saya lakukan; kalau kita pengin ini, ya harus begini. Selebihnya nanti biar orang kurikulum yang nyusun. Tapi gagasan dasarnya dan ide utamanya saya yang mengarahkan.
Apa program yang diunggulkan Trensains?
Trensains itu kan mau melahirkan ibnu Sina abad ke-21. Seperti yang dikatakan Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Syamsul Anwar, Trensains itu ijtihad Muhammadiyah abad kedua, karena di Trensains ada dialektika antara agama dan sains. Hal ini kemudian ditegaskan oleh Ketua PDM Sragen, bahwa kalau tidak ada Trensains, ijtihad Muhammadiyah sudah “selesai”. Artinya apa? Kalaupun ada inovasi-inovasi, itu sebenarnya tidak substantif. Hanya sifatnya teknis-teknis saja terkait dengan perkembangan iptek.
Maksud saya begini. Ini memang kelihatannya ekstrem, tetapi memang begitu kenyataannya. Jadi, Muhammadiyah selama ini kan hanya mengerjakan sesuatu yang rutin saja. Bahwa pengembangan iptek begini, administrasinya begini, itu kan sudah wajar. Kalau kita mengatakan itu baru, ya itu karena kita kaget saja sebenarnya.
Tapi yang memang benar-benar baru ya itu tadi. Ini terkait dengan genre baru pesantren. Sebelum ada Trensains, pesantren kan hanya ada dua jenis saja: salaf dan khalaf. Tapi mereka semua masih membahas agama. Mereka semua masih membahas ilmu sosial. Mereka semua bicara politik, bicara kekuasaan. Kan tidak ada dari mereka yang kemudian bicara tentang bagaimana kita membangun generasi yang mendapatkan hadiah Nobel. Bagaimana kita bisa menjadi negara industri. Bagaimana Muhammadiyah bisa mewujudkan masyarakat utama. Apa yang disebut masyarakat utama oleh Muhammadiyah di abad 21 ini?!
Saya itu tidak percaya kalau Islam itu hanya muter-muter di persoalan fikih, slametan, dan sebagainya itu. Saya menghitung bahwa di dalam al-Quran itu ada 800 ayat tentang alam. Dan ini yang dilupakan, bahkan termasuk oleh Muhammadiyah. Rahmatan lil ‘alamin itu kan mindset-nya harus memberi; harus menjadi produsen. Tapi selama ini kan kita statusnya konsumen; user. Jadi sebenarnya ada kritik keras di sini. Kita ini sudah jadi konsumen absolut. Padahal rahmatan lil ‘alamin itu seharusnya produsen.
Saya sekarang sedang menulis satu buku lagi, Ayat-Ayat Samawat. Ini berbeda dengan Ayat-Ayat Semesta. Topiknya berbeda. Ini khusus meneliti kata langit dalam al-Quran. Buku ini saya lengkapi dengan tujuh tafsir, mulai dari ath-Thabari, al-Qurthubi, ibn Katsir, Jalalain, Fathul Qadir, al-Maraghi, al-Munir. Nah, dari situ saya makin tahu bahwa memang ayat-ayat alam itu tidak tersebut dan disentuh.
Misalkan penjelasan tentang tujuh langit dan tujuh bumi, paling itu hanya disebut tujuan utama dan dasarnya. Kalau ini surat makkiyah, ya tujuan dasarnya adalah meneguhkan akidah. Hanya sebatas itu. Jadi tidak ada deskripsi lebih lanjut. Umat Islam tidak akan berubah pikirannya kalau tafsirnya seperti itu.
Baca Juga: Mengenal Peran Perempuan dalam Sains dan Teknologi
Poinnya, gagasan itu kan tidak cukup hanya diceramahkan, karena tidak efektif. Maka harus dikongkretkan dalam bentuk lembaga pendidikan.
Pendekatannya sekarang itu harus ada lebih banyak lagi ilmuwan dulu. Sambil kemudian kita bereskan dasar-dasar al-Quran dan filsafatnya. Untuk memahami al-Quran tentu harus paham bahasa Arab. Makanya nahwu shorof-nya harus disampaikan.
Apa tantangan terbesar ketika mengembangkan Trensains?
Fasilitas. Awal-awal pengembangan saya bertemu dengan perwakilan Asia Foundation di Jakarta. Waktu itu saya masih bingung menjelaskan apa itu Pesantren Sains, sehingga kemudian layak mendapatkan dana. Waktu itu saya sulit menjelaskan. Kalau sekarang kan jelas: Trensains itu ingin melahirkan ibnu Sina abad ke-21. Titik. Ibnu Sina itu ya dokter, ya ahli hukum, ya hafidz, dan sebagainya.
Waktu itu bingung. Mau menggambarkan dalam ungkapan sederhana itu belum terbayang waktu itu. Karena itu, akhirnya sampai sekarang kita tidak dapat dana. Bahkan dulu, sebenarnya, impian saya ini di-handle oleh PP Muhammadiyah. (Trensains) ini menjadi proyeknya PP Muhammadiyah. Jadi mestinya ini bukan proyek lokal. Tapi ya akhirnya begini.
Sekarang ini kan Trensains jauh dari selesai. Sekarang ini baru 55% lah. Kan rencana kita mau berdiri di lahan 4 hektar, sedangkan kita baru punya dua per tiga-nya.
Kalau dari sisi akademik, dua tahun terakhir kan ada lembaga (Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi, -red) yang membuat daftar seribu SMA/MA di Indonesia yang tertinggi. Tahun kemarin (2021) itu heboh karena hanya ada tujuh sekolah Muhammadiyah yang masuk. Dan di luar dugaan, Trensains yang tertinggi di antara sekolah-sekolah Muhammadiyah. Itu di luar dugaan. Kita tidak berpikir rangking dan segala macamnya, tapi kita mengejar target bahwa santri ini bahasa Arabnya bagaimana, fisika dan matematikanya bagaimana, dan sebagainya. Bahwa kemudian ada perangkingan itu, ya sudah.
Oleh karena Trensains peringkat tertinggi, itu yang kemudian menyentak semua orang persyarikatan. Sebenarnya yang terpenting bagi kami, yang harus kami sounding-kan adalah kami telah mengumumkan bahwa dari tujuh sekolah Muhammadiyah yang masuk peringkat itu, kami yang paling murah. Itu yang harus kami sounding-kan ke para pimpinan persyarikatan. Selama ini kan asumsinya sekolah bagus harus sekolah mahal.
Kita tertinggi, tapi kita kan peringkat 307 dari 1000. Jadi kalau sekarang bapak-bapak PP Muhammadiyah menarget masuk 100 besar, itu tidak realistis. Harapan itu boleh, tapi menurut saya itu tidak realistis. Kalau mau bertahap, mau fair, kita masuklah di 300 besar dulu. Itu realistis. Jadi ini kritik saya kepada bapak-bapak di Majelis Dikdasmen. Ini harapan yang tidak terukur sebenarnya.
Apakah ada lulusan Trensains yang tidak melanjutkan pendidikan di bidang IPA?
Tetap ada anak yang ketika lulus tidak melanjutkan ke IPA. Itu ada. Tetapi yang jelas jatah SNMPTN hanya kita berikan kepada mereka yang mau lanjut ke IPA. Sejak awal sudah kita setting seperti itu. Karena dari awal kita mau melahirkan saintis di empat bidang: sains, engineering, medis, dan agrikultur. Bukan menganggap bidang lain tidak penting, tapi bidang ini yang belum tergarap. Kita mau memasok itu.
Apa rencana pengembangan Trensains ke depan?
Sebenarnya bukan pengembangan, tapi penuntasan. Saya kalau tidak berpikir bahwa Trensains Sragen ini jadi model, saya sebenarnya sudah mendirikan Trensains di banyak tempat. Ini yang perlu diketahui juga. Tetapi kalau permintaan mendirikan Trensains di tempat lain itu saya kabulkan, nanti sana yang lebih dahulu jadi karena sudah siap dari berbagai aspeknya.
Saya penginnya itu yang Sragen ini jadi dulu, nanti kalau sudah jadi ini jadi pilot project. Saya sudah sempat membayangkan, yang sifatnya pengembangan itu, kalau lahan 4 hektar itu sudah terpenuhi, saya mau membebaskan 1 atau 2 hektar lahan lagi untuk pusat pelatihan: training center.
Baca Juga: Optimalisasi Peran Aisyiyah dalam Pemajuan Pesantren
Tapi jangankan untuk itu, sekarang santri putra saja masih bertempat di tempat santri putri. Kalau nanti jadi semua, santri putra itu pindah. Ini yang perlu di-ekspos, supaya tahu. Karena orang mengira Trensains sudah selesai. Padahal kita masih mikir mencari dana, dan sebagainya.
Desember tahun lalu, itu momen peletakan batu pertama masjid. Tapi setelah itu berhenti, belum ada kelanjutan. Saya itu mau cerita dari sisi lapangan, supaya orang-orang tahu bahwa Trensains masih jauh dari kata selesai. Orang-orang sudah tertutupi dengan reputasinya; lulusan-lulusannya sudah master, cumlaude.
Bagaimana nasib lulusan Trensains?
Alumninya masih tetap kita bina untuk mematangkan pengetahuan dasar tentang ilmuan Muslim ideal; tentang ibnu Sina-nya. Jadi bukan selesai di Trensains. Kita juga mendorong alumni kita untuk melanjutkan studi, bekerja, dan hidup di luar negeri. Contohnya Amerika. Sebab pusat peradaban sekarang kan di sana. Yang penting kan kita sudah tanamkan pondasi dan nilai dasarnya. Itu yang mau kita bangun. (siraj)