Aksara

Pesta yang Aneh

Oleh: Mustofa W Hasyim

Orang-orang merasa bebas dari penjara begitu diumumkan wilayah RW dinyatakan sebagai zona hijau. Pengeras suara milik masjid yang letaknya bersebelahan dengan Kantor RW mengumumkan itu. Serentak warga kampung bersorak. Lalu sebagai tanda syukur, Pak Ketua RW mempersilakan warga kampung makan bakso, bakwan malang, batagor, siomai, dan es jus. Di lapangan badminton dan lapangan basket depan kantor RW sudah dipersiapkan gerobak makanan itu.

“Tapi… ada tapinya,” kata Pak RW,” yang boleh ikut pesta syukuran ini hanya warga yang telah divaksin dua kali dan nanti diperiksa kartu vaksinnya atau aplikasi
di handphone-nya. Bagi yang baru divaksin sekali tidak boleh ikut pesta, apalagi warga yang belum divaksin. Jelas, nggih.”

Warga yang memenuhi syarat sebagai peserta pesta mengalir menuju depan kantor RW. Lapangan badminton dan lapangan basket ramai dengan orang dewasa dan anak-anak. Mereka memamerkan wajah gembira, tertawa, kemudian memesan makanan kesukaannya. Warga yang belum divaksin dua kali dan yang sama sekali belum divaksin murung. Mereka sedih dan marah karena tidak boleh ikut pesta dan minum es jus itu. Mereka jengkel. Gara-gara virus dan gara-gara vaksin kebahagiaan mereka dirampas. Rasa jengkel dan marah memanaskan hati. Ada yang mulai memaki-maki virus dan memaki vaksin.

“Virus ini gombal tenan kok.”

“Vaksinnya juga.”

“Virus dan vaksin memecah belah masyarakat.”

Orang-orang kecewa ini berkumpul. Mereka mengunci pintu rumah dan bergerak ke arah jalan raya. Mereka memakai masker sehingga kemarahan dan kejengkelan
mereka menjadi kurang tampak. Mereka berjalan dengan gagah, dua dua, menjaga jarak. Sesampai di pinggir jalan mereka semua merenggangkan kaki dan berkacak pinggang. Orang-orang yang lewat di depan mereka heran. Ada apa ini? Suasana mulai terasa menegangkan. Ada wartawan lewat dengan sembrono bertanya-tanya tentang mengapa orang kampung itu demo. Dia malah diancam akan dijadikan dendeng oleh orang kampung.

Karena takut sekali dan tidak ingin tubuhnya dijadikan dendeng, wartawan itu mengumpulkan tenaga dan suaranya. Ia berteriak keras. Melengking. Melolong. Minta tolong dengan suara tinggi dan panjang sampai pintu pertokoan dan dinding gedung-gedung di pinggir jalan itu bergetar.

“Toloooooooooooooooong! Tolooooooooooooooooooong!”

“Dor! Dor! Dor! Dor! Dor!”

Suara permintaan tolong wartawan itu disambut bunyi tembakan peringatan ke atas. Tiga regu polisi ganti mengepung orang kampung. Kedatangan polisi tidak terduga. Mendadak. Mengejutkan. Tadi tiga mobil polisi itu sengaja tidak membunyikan sirine yang biasanya suaranya meraung-raung menunjukkan keberadaannya. Dengan tanpa menyalakan lampu sirine, kedatangan polisi tidak diketahui wartawan itu dan orang-orang kampung yang berniat membuat dendeng orang.

“Apa yang terjadi, Pak?” tanya komandan polisi itu dengan suara lunak.

Orang-orang kampung lega. Mereka berani mengangkat muka dan melihat wajah komandan polisi itu, tidak tegang. Ramah. Asli. Otentik. Bukan ramah buatan. Orang kampung yang ditanyai pun menjawab dan menceritakan mengapa mereka tadi berada di pinggir jalan dengan gaya jagoan.

“Kami ingin mendemo virus dan vaksin, Pak.”

“Untuk apa virus dan vaksin kalian demo? ‘Kan mengada-ada namanya.”

“Ada masalah serius yang membuat kami terpaksa mendemo virus dan vaksin, Pak.”

“Masalah serius ini apa?”

“Kami didiskriminasi, Pak.”

“Kami diperlakukan tidak adil, Pak.”

Komandan polisi dan semua anggota polisi yang tengah mengepung orang kampung itu bingung. Mumet pol. Tidak paham betul dengan apa yang disampaikan orang kampung. Mendemo virus dan vaksin karena didiskriminasi, diperlakukan tidak adil. Apa hubungannya virus dan vaksin dengan semua yang dikeluhkan oleh orang
kampung? Wartawan itu juga bengong. Merasa dirinya bernasib sial karena terseret dalam masalah yang absurd seperti ini.

Komandan polisi dan anak buah diam. Orang kampung ganti yang gelisah dan bingung. Mengapa masalahyang mereka sampaikan kepada Pak Komandan polisi itu tidak dipahami? Apa virus dan vaksin tidak boleh didemo karena merupakan makhluk yang amat sakti? Atau virus dan vaksin itu sebenarnya tidak ada apa-apanya sehingga tidak perlu didemo? Jadi, kalau demikian, untuk apa mereka mendemo virus dan vaksin? Orang kampung yang tadi ditanya komandan polisi menjadi tidak tahan dengan suasana hening dan semua orang diam itu.

“Pak Komandan,” katanya.

“O, ya ada apa?”

“Maaf, Pak Komandan.”

“Ya, untuk apa minta maaf segala.”

“Anu, Pak Polisi. Kami menyadari kalau mendemo virus dan vaksin tidak ada gunanya.”

Komandan polisi itu menganggukangguk. Ia lega karena orang kampung menyadari kesalahan mendemo virus dan vaksin. Tapi apa yang menyebabkan mereka melakukan demo? Apa pencetusnya? Mengapa orang kampung tadi menyampaikan kata-kata yang abstrak seperti diskriminasi, ketidakadilan, dan semacamnya. Apa yang tengah berlangsung dengan kampung ini? Ini masih belum ada jawabannya.

Komandan polisi hampir saja membubarkan pasukannya ketika tiba-tiba setengah berlari Pak RW muncul.

“Oh, Pak RW, ada apa?” komandan polisi itu kenal betul dengan Pak RW karena dahulu teman sekolah waktu SMP.

Pak RW yang sebenarnya datang dengan berlari begitu mendengar suara tembakan peringatan itu tadi sengaja sembunyi untuk mengetahui persoalan yang sebenarnya. Ia mengamati dan menghitung siapa saja warganya yang ada di pinggir jalan berbuat heboh. Ia jadi tahu, warganya yang tadi dilarang pesta bakso, siomai, bakwan, dan es jus ternyata marah dan frustasi kemudian pergi ke pinggir jalan untuk demo.

Dengan berbisik Pak RW menjelaskan masalahnya. Komandan polisi menganggukkan kepala. Ia jadi paham dengan maksud dari kata-kata abstrak yang tadi dilontarkan orang kampung. Ternyata masalah sangat konkret.

Komandan polisi membuka saku, mencabut satu kertas bloknot dan menuliskan perintahnya kepada wakil komandan. Wakil komandan itu mengangguk-angguk, memeriksa dompetnya dan melihat ATM dia terselip di situ. Dia kemudian memangil beberapa anak buahnya. Dia perlihatkan perintah komandan yang tertulis di kertas itu. Komandan polisi itu duduk, mengajak Pak RW dan anak buahnya duduk dan mempersilakan orang kampung juga duduk.

“Sabar, nggih. Masalah Bapak-bapak dan Mas-mas akan kami selesaikan dengan cepat, teliti, adil, dan dalam waktu yang singkat,” kata Pak Komandan Polisi.

Sepuluh menit pertama mereka menunggu, datang seorang anggota polisi naik motor menggandeng penjual bakso yang membawa gerobaknya sekalian. Disusul ada polisi menggandeng penjual siomai, bakwan malang, dan disusul penjual batagor yang dengan gerobaknya datang bersama anggota polisi.

Gerobak-gerobak aneka macam makanan ditata di depan orang kampung. Mereka paham dengan apa yang dimaksudkan dengan kata-kata Komandan Polisi bahwa masalah mereka akan diselesaikan dengan teliti, adil, dan dalam waktu singkat itu. Rasa lapar dan haus muncul menghinggapi orang kampung yang tadi bermaksud melakukan demonstrasi terhadap virus dan vaksin itu.

“Ayo, bapak-bapak dan mas-mas silakan pesta seadanya. Silakan pilih makanan yang disukai. Pak, mulai sekarang wae melayani bapak-bapak dan mas-mas ini.”

Orang-orang kampung bersorak dan mulai memesan makanannya.

“Es jusnya tunggu sebentar, nggih. Masih dicari penjualnya.”

Sepuluh menit kemudian anggota polisi yang disuruh mencari penjual es jus datang. Tidak membawa penjual es jus, tetapi mengajak tiga penjual rujak es krim yang biasanya berjualan di sekitar Puro Pakualaman.

Lalu lintas di tempat itu tidak lagi macet, hanya kendaraan bergerak lambat. Mereka yang lewat heran melihat ada banyak polisi pesta bersama orang kampung di siang hari.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *