Oleh: EM Hadziq
Bulan ini Annisa dan Wulan mengawali melaksanakan tugas menjadi sukarelawan lembaga amil zakat Lazismu, milik Muhammadiyah di daerah. Dengan sepeda motor, mereka berdua asyik mengunjungi kaum muslimin yang dinilai mampu dari segi ekonomi. Kaum muslimin itu ditawari menyalurkan zakat atau infaknya melalui Lazismu.
Kepada seorang lelaki bernama Pak Darmanto mereka menyodorkan proposal dan menjelaskan, “Apabila Bapak berkenan, zakat atau infaknya bisa disalurkan melalui lembaga zakat di tempat kami.”
Dengan ramah keduanya menjelaskan, “Kami akan menyalurkannya kepada yang berhak, antara lain kaum fakir miskin, orang yang tidak mampu, orang sakit, dan lainnya. InsyaAllah kami amanah sebab seluruh dana yang diterima akan dilaporkan secara berjenjang sampai tingkat pusat. Bahkan, Bapak bisa ikut memantau penyaluran dananya.“
“Nduk,“ kata Pak Darmanto sambil menggeser posisi duduknya. Ia termasuk orang berpunya. Sawahnya luas, sementara toko sembakonya juga laris. ”Kalau soal zakat dan infak, sudah saya lakukan. Setiap tahun saya salurkan sendiri, saya pantau sendiri, dan saya puas karena melihat langsung,“ kata Pak Darmanto sambil sesekali melihat orderan yang masuk dalam HP-nya. “Jadi, sementara biar kami salurkan sendiri saja, ya,” lanjutnya.
Annisa dan Wulan hanya tersenyum. Mereka tidak mempunyai keberanian untuk menjelaskan lebih. Maklum, mereka sukarelawan pemula, masih canggung dan malu-malu. Mereka belum berani melakukan trik-trik yang diajarkan Mbak Reni (koordinator) saat pembekalan.
Sore itu mereka hanya bisa mengunjungi Pak Darmanto karena beberapa saat lagi hujan akan turun. Mereka memutuskan melanjutkan kunjungan kepada dermawan esok hari. Perjalanan pulang keduanya tidak bisa cepat karena jalan di kampung mereka berlubang dan banyak genangan air.
***
“Dari mana saja kamu, Annisa?” tanya bibi Annisa kepada keponakan yang sejak bayi ia asuh. “Dari tempat Pak Darmanto menawari menyalurkan zakat dan infaknya ke Lazismu, Bi,” jawab Annisa, “Tapi belum berhasil, Bi. Beliau lebih senang menyalurkannya sendiri,” tambah Annisa seakan mengerti bahwa bibinya akan bertanya lagi.
“Duh, nduk, Pak Darmanto kok ditawari, sampai kiamat pun tidak bakalan mau,” kata Bibi Annisa sedikit ketus. “Ia senang dipuji. Kalau memberi sesuatu ingin langsung lihat, supaya orang mengerti kalau ia orang dermawan, begitu”, tambah bibinya sedikit sinis.
“Ih, Bibi,” kata Annisa meringis, “Jangan begitu, Bi. Siapa tahu beliau mau, ‘kan lumayan, aktivitas lembaga zakat jadi semakin ramai.” Annisa tidak terlalu mendengar lagi apa yang dikatakan bibinya karena ia langsung ke kamar untuk melanjutkan tugas lainnya.
***
Hari demi hari banyak digunakan oleh Annisa dan Wulan menawarkan kepada siapa saja untuk menyalurkan zakat dan infaknya melalui lembaga zakat. “Asyik ya, kita bisa jalan-jalan sore. Daripada nggak ada tujuan, hanya ngerumpi dengan kawan, atau sibuk main game yang kadang bikin bête di rumah,” kata Wulan saat membonceng motornya Annisa.
“Iya, lumayan bisa belajar, walaupun kadang agak dongkol juga saat yang kita kunjungi ternyata tuan rumahnya judes. Jangankan membantu, kadang justru curiga dan sinis,” jawab Annisa, “Padahal kita hanya sukarelawan, hanya menawarkan. Kalau tidak mau, ya… jangan menghina atau ngejek begitu.”
“Sudahlah, Annisa. Kita latihan sabar saja,” kata Wulan sambil mengelus pundak Annisa.
***
Kesibukan Annisa di lembaga amil zakatnya menyebabkan usaha pembuatan peyek kacang bibinya agak kerepotan. Biasanya Annisa-lah yang membantu bibinya setiap saat. Namun, kini usaha itu hanya dilakukan sendiri oleh bibinya. Bibinya belum mampu memperkerjakan orang dengan gaji yang layak.
“Mbok kamu itu jangan sering pergi to, Nis !” kata bibinya suatu ketika. “Pamanmu sudah sibuk di ladang. Bibimu ini tidak ada yang membantu setiap saat. Kadang bibi juga lelah lho.”
“Iya, Bi,” jawab Annisa singkat.
***
“Mbah, ini bantuan makanan dari Lazismu. Semoga bisa bermanfaat, “ kata Annisa suatu sore. Ia bersama Wulan menyerahkan paket bahan makan terdiri atas beras, gula, minyak, susu, dan telor. Mbah Juminah menerima dengan mata berbinar. Ia tidak menyangka mendapatkan bantuan itu sebab ia belum pernah mendapat bantuan dari mana pun sebelumnya.
Umur Mbah Juminah 76 tahun. Ia hidup sebatang kara. Rumahnya sederhana. Datanya selalu tidak termasuk sebagai penerima bantuan pemerintahdesa. Namanya sudah sering diusulkan, tetapi hasilnya masih nihil. “Terima kasih, Nak, “ jawab Mbah Juminah sambil menerima paket bantuan dengan tangannya yang keriput.
“Wulan, yuk kita usulkan ke Lazismu agar mbah Juminah ini disantuni setiap bulan,” kata Annisa. “Cocok itu!” jawab Wulan sambil mengacungkan jempol, “Memang harusnya setiap bulan. Apalagi Mbah Juminah sebatang kara.”
Baca Juga: Hidangan Soto Pengajian
Hari demi hari Annisa dan Wulan melakukan pekerjaan sebagai sukarelawan Lazismu. Mereka menyalurkan bantuan kepada Ibu Suyati yang suaminya (Pak Darmuji) menderita sakit. Keduanya bekerja dalam pantauan Mbak Reni. Menurut Mbak Reni, dahulu Pak Darmuji adalah orang yang mencurigai adanya Lazismu di desa itu. Kini mereka menjadi begitu baik.
Wulan dan Annisa semakin lama semakin menikmati pekerjaan. Senyum tulus dari orang yang menerima bantuan adalah suatu kenikmatan tersendiri. Ada energi yang tiba-tiba menjalar ketika kalimat terima kasih itu diucapkan oleh penerima bantuan. Kata itu seakan memompa semangat untuk terus membantu dan berbagi. Bahkan cibiran dari orang-orang tidak lagi mereka hiraukan. Mereka mengerti benar bahwa dana yang diterima dari masyarakat benar-benar dikelola secara profesional dan disalurkan kepada masyarakat yang berhak.
***
“Nis, besok bantu bibi, ya. Seharian, lho. Jangan pergi-pergi lagi. Ini order peyek, bertambah lagi,” kata bibinya pada suatu malam. “Yah, jangan besoklah, Bi“ kata Annisa cemberut, “Besok saya ada kuliah online. Tiga materi lagi, Bi. Jadi, ya full seharian,” Annisa merengek.
Bibi Annisa juga heran akan order peyek yang akhir-akhir ini meningkat. Biasanya order peyek meningkat menjelang lebaran.
“Nis, usaha peyek ini juga untuk menambah uang biaya kuliahmu. Kalau order meningkat, biaya kuliahmu juga tidak keteteran. Kalau bisa kamu membantu penuh.” Annisa hanya mengangguk dan berpikir keras mengenai solusinya.
***
“Mbak Reni. Usaha peyek bibiku semakin repot. Saya ikut kerepotan. Sementara itu, Wulan hanya mau dengan saya dalam menjalankan amanah,” kata Annisa saat rapat kecil di Lazismu.
“Annisa, tugas sukarelawan itu tidak memberatkan. Yang bisa lakukan, ya dilakukan. Kalau tidak bisa, ya utamakan tugas keluarga. Tapi omong-omong, mulai kapan orderan bibimu meningkat?“ tanya Mbak Reni penasaran.
“Mulai pekan ini, Mbak“ jawab Annisa.
“Ooo… Alhamdulillah. Ini berarti positif, mantap, dan berkah,” kata Mbak Reni berbinar-binar. Anisa bingung. Ia melirik kepada Wulan sambil mengangkat bahunya, tanda tidak mengerti. Wulan hanya senyum saja.
“Maksudnya bagaimana, Mbak?” tanya Annisa heran.
“Nisa, siapa tahu ini berkahnya kamu jadi sukarelawan. Ini adalah berkahnya kamu sabar ketika dimarahi orang. Berkahnya ketika kamu rela dicibir orang, Berkahnya ketika kamu ikhlas membantu orang,” jelas Mbak Reni.
“Siapa tahu Allah memberi balasan kebaikanmu itu dengan meningkatkan orderan peyek bibimu yang selama ini membiayai hidupmu. Dengan kata lain, rizkimu menjadi meningkat. Tapi kita tidak boleh sombong juga, ya. Ini hanya mungkin. Kita tidak pernah tahu rahasia di balik peristiwa. Kita harus selalu berpikir positif, ikhlas, dan sabar.” Tutur Mbak Reni Panjang lebar.
Annisa membisu mendengar penjelasan itu. Hatinya berkata, “Apa iya, ya!”
Tiba-tiba ia mempunyai energi lebih. Ia semakin mantap membantu sesama melalui Lazismu. []