Oleh: Aabidah Ummu ‘Aziizah*
Jamaah rahimakumullah
Setiap kali Ramadan menjelang, media sosial ramai dengan persiapan menyambut bulan suci. Ada yang berbagi tips sahur sehat, jadwal kajian tarawih, hingga menu berbuka yang menggugah selera. Namun, di tengah gegap gempita itu, ada sekelompok muslimah yang diam-diam menghela napas panjang. Mereka adalah para ibu muda yang tahun ini—lagi-lagi—harus menunda puasanya.
“Tahun lalu hamil, sekarang menyusui. Tahun depan? Wallahu a’lam, mungkin hamil lagi,” begitu gurauan yang sering terdengar di antara para ibu. Meski disampaikan dengan tawa, ada secuil kerinduan yang tersimpan untuk bisa merasakan sensasi berpuasa sebulan penuh bersama keluarga. Menjalani Ramadan dengan “plot twist” seperti ini memang bukan pilihan mudah. Terkadang muncul pertanyaan dalam hati, “Kapan ya bisa puasa normal lagi?”
Namun, di balik tantangan ini, tersimpan hikmah yang mungkin tidak terlihat sekilas. Allah Swt. dengan segala kebijaksanaan-Nya, telah mengatur sedemikian rupa bahwa peran seorang ibu—dalam mengandung dan menyusui—memiliki nilai ibadah yang tidak kalah mulianya dengan puasa Ramadan.
Bagaimana menyikapi kondisi ini dengan bijak? Apa saja amalan pengganti yang bisa dilakukan? Bagaimana menjaga semangat Ramadan tetap menyala meski dengan jadwal puasa yang berbeda? Dan yang terpenting, apakah boleh seorang ibu hamil dan menyusui membayar fidyah setiap tahun? Atau boleh diseling, tahun ini fidyah dan tahun depan qadha’?
Dalam mengarungi kehidupan, Allah Swt. telah memberikan panduan yang sempurna bagi setiap kondisi umatNya. Sebagaimana termaktub dalam Q.s. al-Baqarah [2]: 185,
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُۗ وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَۗ يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَۖ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.
Hadirin yang berbahagia
Ayat ini menjadi landasan utama bahwa Allah memberikan keringanan (rukhshah) untuk tidak berpuasa bagi mereka yang memiliki uzur syar’i, termasuk di dalamnya para ibu yang sedang hamil atau menyusui. Selama masa tidak berpuasa, para ibu tetap bisa mengoptimalkan ibadah Ramadan melalui berbagai cara. Sedekah, misalnya, sebagaimana sabda Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Tirmidzi,
الصدقة تطفى الخطايا كما يطفى الماء النار
Sedekah itu dapat memadamkan kesalahan sebagaimana air memadamkan api. (H.r. Tirmidzi)
Selain itu, membaca dan mentadabburi al-Quran (sebagaimana Fatwa Tarjih Muhammadiyah), memperbanyak zikir dan doa, serta berbuat baik kepada keluarga merupakan amalan-amalan yang tidak kalah utama dari puasa itu sendiri. Untuk menjaga semangat Ramadan tetap menyala, para ibu bisa tetap terlibat dalam aktivitas Ramadan bersama keluarga. Ikut sahur dan berbuka bersama, meski tidak berpuasa, bisa menjadi cara untuk mempertahankan nuansa Ramadan di rumah. Mengikuti kajian dan taklim, baik secara langsung maupun daring, juga bisa menjadi sarana untuk tetap merasakan kehangatan spiritual bulan suci ini.
Baca Juga: PAY Putri ‘Aisyiyah Kabupaten Magelang Bersama FD Squad Jogja Istimewa
Yang tidak kalah penting adalah manajemen paska bulan Ramadan yang baik. Ibu hamil dan menyusui harus rajin mencatat jumlah hari ketika ia tidak berpuasa. Perlu diperhatikan bahwa bagi ibu hamil dan menyusui, Allah Swt. telah memberikan keringanan (rukhshah) dalam bentuk pembayaran fidyah. Mereka tidak diwajibkan untuk meng-qadha puasa yang ditinggalkan, melainkan cukup dengan membayar fidyah untuk setiap hari yang tidak berpuasa. Hal ini berdasarkan pemahaman dari hadis yang berbunyi:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أنَّهُ قَالَ أُثْبِتَ لِلْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ أَنْ يُفْطِرَا وَ يُطْعِمَا فِيْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا [رواه أبو داود]
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata: Ditetapkan bagi wanita yang mengandung dan menyusui berbuka (tidak berpuasa) dan sebagai gantinya memberi makan kepada orang miskin setiap harinya. (H.r. Abu Dawud)
Jamaah rahimakumullah, Berdasarkan hadis tersebut, perempuan menyusui yang tidak dapat menunaikan puasa Ramadan secara penuh mempunyai dua alternatif: Pertama, membayar fidyah untuk setiap hari yang ditinggalkan, berupa pemberian makanan kepada seorang miskin. Dalam hal ini, ia tidak diwajibkan untuk meng-qadha puasanya di luar bulan Ramadan. Ketentuan minimal fidyah adalah satu mud (± 0,6 kg) atau setara dengan nilai makanan pokok sehari-hari di wilayah tersebut.
Kedua, apabila pembayaran fidyah dirasa memberatkan karena kondisi ekonomi yang kurang mampu, maka diperbolehkan untuk meng-qadha (mengganti) puasa di luar bulan Ramadan sejumlah hari yang ditinggalkan. Ketentuan ini memberikan fleksibilitas dan kemudahan sesuai dengan kondisi masing-masing individu, sejalan dengan prinsip Islam yang tidak memberatkan umatnya. Bagi para ibu yang dalam beberapa tahun berturut-turut mengalami masa kehamilan atau menyusui yang bertepatan dengan bulan Ramadan, tidak perlu merasa khawatir atau terbebani.
Allah Swt. Maha Memahami kondisi hamba-Nya, dan pembayaran fidyah merupakan solusi yang telah ditetapkan-Nya. Bahkan jika setiap tahun Anda harus membayar fidyah karena kondisi tersebut, hal ini tetap sah dan sesuai dengan syariat. Yang terpenting adalah konsistensi dalam menunaikan kewajiban fidyah tersebut sebagai bentuk tanggung jawab kita kepada Allah Swt.
Perlu diingat bahwa Allah Swt. tidak pernah membebani hamba-Nya melebihi kesanggupannya. Peran sebagai ibu yang mengandung dan menyusui adalah amanah mulia yang juga bernilai ibadah tinggi di sisi Allah. Tidak perlu merasa bersalah atau kurang beruntung ketika harus menunda puasa Ramadan. Yang terpenting
adalah bagaimana kita menjalankan kewajiban sesuai dengan kondisi dan kemampuan, sambil tetap menjaga semangat ibadah di bulan yang penuh berkah ini. Karena sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui dan Maha Memahami setiap kondisi hamba-Nya.
*Anggota Divisi Fatwa dan Pengembangan Tuntunan Majelis Tarjih dan Tajdid
1 Comment