Oleh: Susilaningsih Kuntowijoyo
Bagi sebuah keluarga, anak merupakan karunia dan harapan orang tua untuk memperoleh kebahagian dunia dan akhirat. Hal ini tentu bisa terwujud apabila anak tumbuh dan berkembang secara optimal sehingga menjadi orang yang sehat jiwa dan raganya, berhasil dalam karir, serta menjadi pribadi yang religius. Untuk dapat mencapai karakter kepribadian tersebut, anak perlu melewati proses pengasuhan yang tepat, pendidikan yang memadai, serta pendampingan dari orang tuanya sampai menjelang usia dewasa.
Kondisi pengasuhan, pendidikan, dan pendampingan yang dimaksud di atas tidak mudah dimiliki oleh anak pekerja migran. Hal ini dikarenakan jenis pekerjaan ini menuntut orang tua, biasanya ibu, terpisah dalam jangka waktu yang cukup lama dari anggota keluarganya, termasuk anak. Secara umum, ketiga hal di atas biasanya diserahkan kepada pihak suami, kakek dan nenek, atau anggota keluarga lain, misalnya bibi atau paman.
Usia anak dan remaja adalah masa tumbuh kembang bagi anak untuk menuju kepada terbentuknya manusia dewasa yang mampu bertanggung jawab terhadap kehidupannya sendiri untuk mencapai keberhasilan hidup di dunia dan akhirat. Dalam proses perkembangannya, seorang anak memerlukan adanya pendampingan dari orang dewasa yang mampu mengarahkan anak untuk mencapai kedewasaan seperti yang diharapkan.
Selain itu, anak juga memerlukan perasaan diterima dan disayangi secara penuh oleh pendampingnya. Pendamping yang paling tepat bagi proses perkembangan seorang anak adalah orang tuanya, ayah dan ibu, yang masing-masing juga mempunyai peran berbeda bagi terbentuknya kepribadian utuh seorang anak.
Bagi anak pekerja migran perempuan, kondisi ideal yang diharapkan dapat diperoleh untuk mendukung proses perkembangannya menjadi pribadi dewasa yang mampu bertanggung jawab kepada kehidupan tidaklah mudah. Hal ini disebabkan oleh kurangnya peran ibu sebagai pengasuh dan pendidik awal yang harus mengarahkan dan mendampingi proses tumbuh kembang anak.
Untuk itu, perlu ada beberapa usaha agar anak pekerja migran perempuan tetap bisa mengalami proses tumbuh kembang yang optimal. Dengan demikian, nantinya, anak dapat menjadi pribadi yang kuat sebagai modal untuk mampu mengelola kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat. Di samping itu, hal ini diperlukan untuk menghindarkan orang tua dari teguran Allah subhanahu wata’ala karena telah meninggalkan anak-anaknya dalam keadaan lemah, sebagaimana firman Allah dalam an-Nisa’ ayat 9 yang artinya:
Artinya, “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunannya yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) nya. Oleh karena itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar”.
Dengan demikian, perlu kiranya kita mengkaji pentingnya peran ibu dan ayah bagi anak, serta usaha apa yang perlu dilakukan bila anak tidak mengalami peran ibu pada masa anak dan remajanya secara optimal.
Peran Ibu dan Ayah dalam Proses Perkembangan Anak
Proses perkembangan anak memerlukan peran kedua orang tuanya, ayah dan ibu, secara seimbang. Hal itu dilakukan untuk mendukung semua aspek perkembangannya, yaitu spritualitas (kesadaran agama), daya pikir, emosi dan daya sosial, serta jasmani. Peran ayah dan ibu diperlukan semenjak usia dini sampai menjelang usia dewasa.
Masing-masing ayah dan ibu mempunyai peran spesifik terhadap perjalanan perkembangan dari aspek-aspek tersebut. Misalnya pada usia awal, peran ibu lebih dominan. Adapun jelang usia remaja, ayah mempunya peran yang lebih dominan. Meskipun demikian, peran kedua orang tua secara bersama tetap dibutuhkan sepanjang usia anak sampai menjelang dewasa, dengan peran yang saling melengkapi.
Mari kita mulai dari peran ibu. Ibu merupakan guru pertama bagi anak-anaknya, bahkan semenjak dalam kandungan. Suara, perilaku, dan sikap ibu akan menjadi sarana penghubung dalam anak menyerap sifat, sikap, dan perilaku yang kemudian akan menjadi dasar-dasar kepribadiannya.
Baca Juga: Peran Keluarga Penuhi Kebutuhan Psikologis Anak yang Kehilangan Orang Tua
Ibu adalah pelindung serta sumber rasa aman dan nyaman. Kesemua itu merupakan suasana perasaan yang diperlukan anak agar aspek-aspek kejiwaannya dapat berkembang dengan optimal. Sejak dari dalam kandungan, anak mengenali kehadiran ibu, baik dari suara dan sentuhannya, yang menimbulkan rasa aman dan nyaman.
Hal itu semakin terasah saat anak lahir dan segera disusui melalui Inisiasi Menyusui Dini (IMD). Saat menangis, anak biasanya mencari ibu untuk mencari perlindungan dari hal-hal yang sifatnya mengganggu. Adanya rasa aman dan nyaman diperlukan oleh anak sebagai modal dalam proses pembentukan rasa percaya diri yang merupakan sumber pijakan untuk mengembangkan diri.
Saat anak mulai memasuki usia remaja, ibu juga tetap menjadi pelindung, terutama ketika anak mengalami kegalauan emosional. Hal ini dilakukan dengan cara selalu mendengarkan keluhan-keluhan anak sehingga ia merasa aman dan terhindar dari tekanan-tekanan emosional. Selain itu, aktivitas mendengar keluhan anak juga membantunya agar mampu mengelola kondisi emosi yang muncul setiap saat. Hal ini menjadi faktor pendukung terbentuknya kondisi jiwa anak yang sehat.
Hubungan ibu dan anak pada awal kehidupan akan mempengaruhi cara anak berperilaku dalam hubungan sosial. Ibu menstimulus perkembangan intelektual anak melalui percakapan, permainan, dan perilaku yang lain, sebagai respons terhadap keingintahuan anak. Stimulus dari ibu ini dapat membantu anak untuk mengembangkan daya intelektual.
Ibu juga membentuk dan mengajarkan sikap disiplin pada anak dengan menuntunkan keseimbangan antara aturan dan ketaatan pada sikap dan perilaku anak. Dengan demikian, anak memahami adanya konsekuensi dari perbuatan yang dia lakukan. Selain itu, anak belajar untuk bertanggung jawab dalam menanggung risiko atau konsekuensi dari perbuatan yang ia lakukan sendiri. Oleh karena itu, absennya seorang ibu pada usia awal dapat mempengaruhi perkembangan jiwa anak yang akan berdampak pada perkembangan usia selanjutnya.
Bagaimana dengan peran ayah? Ayah mungkin memiliki kesempatan bersama anak yang relatif lebih sedikit dibandingkan ibu. Meskipun demikian, peran Ayah juga signifikan dalam memengaruhi perkembangan anak.
Ayah berperan dalam menstimulus aktivitas fisik, mengendalikan rasa takut, dan berani mengambil risiko. Rasa kasih sayang ayah yang diekspresikan dalam sikap melindungi menumbuhkan rasa aman pada anak sehingga memupuk keberanian anak.
Sikap tegas serta apresiatif ayah dalam memberi pujian dapat melatih anak untuk memiliki rasa percaya diri, berani, disiplin, serta bertanggung jawab. Hal itu menjadi modal bagi anak ketika memasuki kehidupan bermasyarakat.
Ayah juga sosok yang tepat untuk menuntunkan kemandirian, inisiatif, dan kepemimpinan yang akan nampak pada kemampuan bermain bersama teman-temannya. Ayah merupakan panutan dalam sikap dan semangat kerja keras terhadap usaha mencapai kesuksesan, terutama bagi anak yang mulai memasuki usia remaja.
Ketiadaan atau kurangnya peran ayah pada usia anak dan menjelang remaja berpotensi menjadikan anak kehilangan rasa kasih sayang ayah. Hal ini dapat menjadikan anak kehilangan arah karena figur yang akan menguatkan pribadinya serta panutan yang mengendalikan dia dari kemungkinan perilaku menyimpang tidak hadir membersamai.
Kondisi Kejiwaan Anak
Berdasarkan pembahasan tentang peran ibu dan ayah bagi perkembangan anak tersebut, dapat disampaikan bahwa akan terjadi permasalahan dalam perkembangan kejiwaan anak dari pekerja migran perempuan apabila anak tidak memperoleh pengasuhan secara tepat dari ayah ataupun orang tua asuh pengganti. Penelitian yang dilakukan Mega Andika Sutiana dan tim terhadap Pola Pengasuhan Anak pada Keluarga TKW di Kecamatan Srengat Kabupaten Blitar yang diterbitkan pada 2018 menunjukkan bahwa anak-anak pekerja migran perempuan mengalami perkembangan yang kurang baik.
Dalam penelitian itu disampaikan bahwa anak pekerja migran perempuan ada yang diserahkan pengasuhannya kepada kakek/nenek, ayah, atau bibi. Pola pengasuhan dari kakek/nenek dari anak pekerja migran dalam mengasuh cucunya cenderung menggunakan pendekatan permisif, serba boleh, menuruti kemauan anak (indulgent), serta tidak mampu membatasi apakah kehendak anak itu baik atau buruk bagi anak itu sendiri.
Akibatnya, anak menjadi manja, tidak bisa ditegur atau dilarang bila berkehendak sesuatu, gampang tersinggung, dan suka ngambek. Anak cenderung sering melanggar aturan, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat, gampang tersinggung, tidak percaya diri, tidak mudah bermasyarakat dengan baik, dan kurang berprestasi, baik di sekolah maupun di dunia kerja.
Sementara itu, anak pekerja migran yang diasuh oleh suaminya atau ayah si anak cenderung terabaikan karena si ayah cenderung lebih mementingkan keperluannya sendiri. Akibatnya, anak cenderung berkembang menjadi individu yang merasa bebas berbuat, mengikut pada kelompok lingkungannya, kurang memahami dasar norma dan aturan dalam bergaul, serta kurang memiliki sifat disiplin terhadap aturan yang dihadapi, baik dalam keluarga maupun masyarakat.
Adapun anak pekerja migran yang berada di bawah asuhan bibi dengan sikap keras dan otoriter membuahkan anak yang penakut dan pendiam di dalam rumah. Akan tetapi, anak tersebut menjadi sosok pemberontak dalam pergaulan di luar rumah dan suka berkelahi.
Usaha Pengasuhan yang Tepat
Dengan memperhatikan bahwa hak anak akan pengasuhan yang tepat tetap harus dipenuhi meskipun ibunya bekerja sebagai pekerja migran, keluarga dan masyarakat sekitar perlu melakukan upaya-upaya yang mendukung. Biasanya, pekerja migran perempuan berasal dari suatu desa yang sebagian warga perempuan mudanya bekerja sebagai buruh migran. Oleh karenanya, desa tersebut perlu memiliki suatu program pendampingan pengasuhan anak bagi keluarga-keluarga yang diberi tanggung jawab oleh pekerja migran untuk memberi pengasuhan kepada anak-anaknya.
Program yang dimaksudkan itu bisa disiapkan dan dilaksanakan oleh pihak pemerintahan desa dan bisa dimandatkan kepada suatu kelompok warga, di desa terkait. Dengan demikian, pihak tersebut bisa melaksanakan usaha pemahaman dan pendampingan tentang cara pengasuhan yang tepat kepada para pengasuh, baik itu bapak, nenek, atau bibi dari anak pekerja migran perempuan yang sedang bertugas.
Baca Juga: Pentingnya Literasi Digital bagi Keluarga
Masyarakat desa tersebut bisa meluncurkan program pengasuhan alternatif untuk mewujudkan kehadiran kampung ramah anak. Seluruh elemen masyarakat perlu memahami bahwa meskipun orang tua merupakan pemegang tanggung jawab utama anak, namun sejatinya, pengasuhan anak juga menjadi tanggung jawab tanggung jawab bersama seluruh warga kampung tersebut. Tanggung jawab bersama tersebut khususnya dari segi keamanan dan keceriaan dalam kehidupan anak.
Masyarakat perlu menanamkan suatu sistem agar setiap orang tua memahami cara pengasuhan anak yang benar. Bila ada anak telantar, masyarakat sekitar bertanggung jawab dalam menemukan keluarganya atau memberikan bantuan untuk kesejahteraan anak tersebut. Pihak lain yang perlu memperhatikan dan memberi bantuan tentang cara pengasuhan yang tepat bagi anak pekerja migran perempuan adalah lembaga pengirim pekerja migran perempuan tersebut. Secara etis, hal itu merupakan bagian dari tanggung jawab dan konsekuensi atas pengiriman tenaga pekerja perempuan muda yang sebenarnya berperan penting dalam pengasuhan anak. Pihak pemerintah setempat atau desa perlu mengajukan hal tersebut kepada pihak pengirim tenaga kerja terkait.
Menumbuhkan anak yang berkembang secara sehat, baik jiwa, raga, dan spiritualnya, sehingga menjadi sosok yang berprestasi adalah tanggung jawab bersama. Oleh karena itu, diperlukan usaha bersama pula agar anak-anak dari pekerja migran perempuan menjadi manusia yang berhasil dan bahagia di dunia dan akhirat.