- Artikel ini ditulis dalam rangka menyambut #Muktamar48Aisyiyah di Surakarta pada 18-20 November 2022.
Oleh: Nurlia Dian Paramita*
Pemberian ruang representasi bagi perempuan adalah lokus bagi penciptaan relasi kesetaraan yang berimbang. Berdasarkan Laporan Kesenjangan Jender Global 2020 dalam World Economic Forum, tingkat kesetaraan secara global baru mencapai 68,6 persen. Kesenjangan terbesar ada pada partisipasi perempuan di bidang politik yang baru mencapai angka 24,7 persen. Indonesia sendiri menempati posisi ke-85 dari 153 negara.
Kondisi ini menunjukkan bahwa ketertarikan perempuan di dunia politik masih harus didorong. Namun tidak dapat dimungkiri bahwa sistem Undang-Undang yang sudah diputuskan di parlemen masih terkesan “male oriented” bahkan disfungsi. Akibatnya, perempuan mengalami tantangan untuk bisa mengisi ruang publik yang sedemikian terbuka yang akhirnya justru membuat nyali perempuan justru ciut akibat ketimpangan sistem yang penuh dengan akal-akalan.
Kasus Pergantian Antar Waktu (PAW) salah satu partai politik pasca pemilu 2019 yang lalu, menjadi salah satu pembelajaran penting yang melibatkan perempuan sebagai “korban”. Riezky Aprilia, saat itu sebagai calon anggota legislatif terpilih Dapil Sumsel I Nomor Urut 3, bersaing dengan beberapa kandidat, termasuk tersangka kasus suap anggota KPU, Harun Masiku, calon anggota legislatif terpilih Dapil Sumsel I Nomor Urut 5, yang hingga hari ini masih dinyatakan buron keberadaannya.
Posisi Riezky sempat akan digeser oleh Harun Masiku dengan alasan PDIP mempunyai kandidat PAW, pengganti Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia dan masih mendapatkan suara pemilih saat Pileg 2019 yang lalu. PDIP bersikeras untuk memberikan posisi PAW didukung putusan Mahkamah Agung (MA) atas uji materi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 3 Tahun 2019 bahwa partai adalah penentu suara dalam pergantian antar waktu.
Namun KPU menolak dengan mendasarkan pada UU tentang MPR, DPR, DPD, yakni UU MD3, Pasal 242 Ayat (1) “….Anggota DPR yang berhenti antarwaktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 ayat (1) dan Pasal 240 ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPR yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama”. Riezky akhirnya terpilih dengan konsekuensi sistem yang didukung oleh perangkat UU.
Baca Juga: Kepemimpinan Perempuan dalam Pandangan Islam Wasathiyah
Hal ini berbeda dengan Mulan Jameela, calon anggota legislatif terpilih Dapil Jabar XI, mendapatkan posisi yang lebih baik dalam pencalonan anggota terhadap dirinya. Kode Inisiatif (2019) melakukan kajian bahwa caleg yang mendapatkan suara terbanyak belum tentu akan dilantik dan mendapatkan posisi anggota legislatif. Dalam hal ini kasus-kasus caleg terpilih yang dipecat partai. Partai Gerindra menonaktifkan dua caleg terpilih yang perolehan suaranya di atas Mulan. Hal ini dilakukan pada rentang waktu caleg sudah terpilih dan tinggal ditetapkan oleh Partai.
Melihat fenomena dua kasus di atas sudah dapat dikaji bahwa partai politik secara umum tidak sepenuhnya menganggap pencalonan perempuan sebagai pemenuhan aspek kuota namun perempuan tidak jarang “dikorbankan” dalam skala situasi politik di mana ia berada. Ini menandakan bahwa perempuan sebagai representasi masih dimaknai sebagai simbolik dan mengesankan di mana perlu.
Berdasarkan rilis JPPR (21/9/22) dalam seleksi Bawaslu pada 25 Provinsi periode 2022-2027 misalnya, pengumuman Nomor 316/KP.01.00/K1/09/2022 yang ditandatangani pada 17 September 2022, Bawaslu RI mengumumkan 75 nama terpilih untuk menjadi anggota Bawaslu di 25 Provinsi. Namun dari 75 nama tersebut ternyata hanya 11 orang perempuan yang terpilih. Dalam hal ini, hanya 8 Provinsi yang memenuhi keterwakilan perempuan dan 17 Provinsi tidak terdapat keterwakilan perempuan.
Jumlah ini sangat mengkhawatirkan mengingat keterwakilan perempuan telah dijamin secara formal melalui UU No. 7/2017 Pasal 29 Ayat 1 tentang Pemilihan Umum dan Pasal 5 Ayat 3 Perbawaslu No. 8/2019 yang mengatur tentang keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Kondisi ini tentu menjadi kekhawatiran kita bersama mengingat pada 2030 nanti sejalan dengan Misi SDG’s bahwa Indonesia seharusnya sudah mencapai planet 50:50 sebagai bukti bahwa perempuan mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki dalam semua aspek kehidupan tanpa mengurangi kodrat peran perempuan.
Representasi sebagai Agen
Mendasarkan pada kasus di atas, setiap perempuan dapat dikatakan sebagai agen. Dalam sebuah perjumpaan relasi kuasa, ada interkoneksitas antar pihak-pihak yang mempunyai kepentingan guna mewujudkan sebuah rezim yang prinsipnya mampu mewakili semua pihak. Olle Tornquist, akademisi Oslo University, menerangkan bahwa perempuan sebagai bagian dari representasi popular harus teragregasikan dalam sebuah sistem.
Partai Politik merupakan sebuah lembaga yang mengartikulasi kepentingan politik yang sudah seharusnya melaksanakan mandat sebagaimana tersebut dalam UUD 1945 “melindungi segenap tumpah darah Indonesia”. Dengan demikian sebagai parpol yang taat hukum, harus mencantumkan dalam regulasi internal bahwa semua warga negara lintas jender agar tumbuh menjadi warga negara yang mampu untuk menahbiskan dirinya sebagai wakil rakyat guna mewujudkan kepentingan bersama.
Perempuan sebagai bagian dari entitas penting negara, melalui kajian dari Lab 45 dan CIRes-LPPSP Fisip UI (2021) menemukan bahwa kesetaraan dalam kerangka agen, dapat diwujudkan dengan mengubah aspek sosial budaya. Namun demikian aspek ekonomi dan politik turut membentuk cara pandang sosial budaya yang progresif, moderat, atau konservatif.
Faktanya, kebijakan politik afirmasi 30% perempuan masih belum sepenuhnya membuahkan hasil karena dipahami sebagai alat mencapai tujuan dengan “kewajiban pemenuhan kuota” dan melihat jender sebagai perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan.
Secara substansi peran yang kemudian dipersepsikan sebagai agen hendaknya mampu dikonstruksikan dalam peran konektivitas politik secara keseluruhan. Laki-laki dan perempuan prinsipnya boleh mengambil keputusan yang sama.
Peran Organisasi Non Pemerintah (ORNOP) Mendorong Representasi Perempuan
Survei yang dirilis oleh MSSG (2022) yang disebarkan ke 23 provinsi ditujukan ketua/wakil ketua/sekretaris ornop perempuan di Indonesia menghasilkan data bahwa 57,81% tidak mempersiapkan pengurus, 51,56% tidak mempersiapkan anggotanya untuk menjadi bakal calon legislatif tingkat kabupaten/kota/provinsi/nasional pada Pemilu 2024. Perempuan tidak mengenal yang memilih tetapi selalu mengatakan “saya ini dipilih oleh rakyat” padahal rakyat siapa dan yang mana nyatanya tidak jelas.
Nur Imam Subono (2022) mengatakan hal itu sebagai relasi antara pemilih dan yang dipilih arbitrer (saling teralienasi dalam sistem pemilu). Dalam kondisi ini tentu harus ada gerakan bersama untuk menggalang kekuatan perempuan agar giat dipromosikan menjadi calon anggota legislatif.
Baca Juga: Pentingnya Pendidikan Politik di Aisyiyah
Fakta bahwa pemilu itu berbiaya tinggi merupakan realitas yang tidak bisa dimungkiri. Heywood dalam Wijayanto (2022) menekankan bahwa kesetaraan politik harus progresif dilakukan, yakni menekankan distribusi setara atas pengaruh dan kekuasaan politik.
Maka dari itu, Ornop harus menginisiasi pertemuan dengan para petinggi parpol dan membuat semacam nota kesepahaman bersama agar calon yang diajukan dapat terpilih. Ini menjadi semacam konsensus yang jauh-jauh hari harus dibangun sebagai konsekuensi bahwa relasi masyarakat sipil dan partai politik harus dekat dan saling membangun basis idealitasnya masing-masing.
Dengan cara pandang ini diharapkan akan mampu menegaskan diskursus dalam pemilu 2024, bahwa partai politik tidak menjadi satu-satunya poros utama yang menguasai gelanggang, namun masyarakat sipil dapat turut serta dan mengusulkan siapa kandidat yang akan dia pilih. Konsolidasi menjadi kunci menuju pemilu 2024 yang lebih transparan, bersih, dan mengangkat harkat perempuan sebagai agen penentu ketahanan demokrasi.
*Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat Periode 2021-2023
8 Comments