Salah satu kekuatan bangsa Yahudi di Amerika adalah keterlibatan mereka di media dan film. Hal ini tidak hanya memberi warna tersendiri di Hollywood, tetapi juga berkontribusi membentuk budaya popular Amerika sebagai ikon film dunia.
Meskipun Hollywood bukan suatu arena tunggal mengingat berbagai etnis juga berkontribusi membangun industri ini, tetapi tidak dapat disangkal bahwa kontribusi Yahudi di Hollywood sangat dominan. Mayoritas pendiri Hollywood yang berasal dari Eropa Timur seperti Polandia, Rusia, Jerman, dan Hungaria ini telah menjadikan industri ini sebagai pusat film dunia, setidaknya sepanjang paruh pertama abad dua puluh.
Demikian dikatakan Witriani dalam Promosi Doktor berbahasa Inggris di Program Studi Inter-Religious Studies, Universitas Gadjah Mada pada 16 Januari 2017 lalu. Witriani yang merupakan salah satu pengelola Suara ‘Aisyiyah dan anggota LPPA Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah ini mengambil data pada film Ben Hur, The Chosen, dan Schindler’s List.
Identitas Yahudi Amerika
“Meskipun dominan, bangsa Yahudi cukup berhati-hati dalam industri film ini. Anti-Semitisme, Perang Dunia, hingga Great Depression adalah hal-hal yang membuat mereka tidak nyaman berada dalam lingkungan ini ataupun berbicara tentang identitas mereka lewat film yang diproduksi, mayoritas Kristen merupakan penonton utama industri ini,” tutur perempuan keturunan Padang ini.
Lebih lanjut, menurutnya, kondisi ini berubah setelah Perang Dunia Kedua dan Civil Right Movement marak sejak tahun 1960. Yahudi dan keyahudian kemudian muncul dalam berbagai representasi yang tidak hanya mengubah image mereka di Hollywood, melainkan juga penerimaan masyarakat Amerika secara luas.
Promosi yang dihadiri oleh Ketua Umum PP ‘Aisyiyah, Dra. Hj. Noordjannah Djohantini, M.M., M.Si. dan sejumlah pimpinan ‘Aisyiyah ini membahas bahwa strategi utama dalam representasi film-film tersebut adalah negosiasi. Dalam film-film itu negosiasi Yahudi tidak hanya di dalam bentuk narasi yang dipilih, seperti pada plot atau penulisan naskah, melainkan juga pada unsur-unsur film lainnya, seperti karakter dan bahkan proses editing.
“Jadi, apa yang digambarkan di layar lebar sesungguhnya adalah hasil desain pembuat film dengan tujuan tertentu. Dalam hal ini, politik representasi dilakukan dalam berbagai cara, antara lain menampilkan Yahudi yang ‘baru’ di layar lebar, inter-diskursus, negosiasi identitas ‘baru’ termasuk perubahan ideologi mereka, baik sebagai bangsa Yahudi maupun Amerika,” ujar Dosen UIN Sunan Kalijaga ini.
Perempuan dan Anak
Terdapat tujuh persoalan yang menjadi hasil disertasi Witriani, yaitu (1) film religi sebagai wacana; (2) Yahudi sebagai pahlawan; (3) menyuarakan luka dan filantropi; (4) konstruksi identitas Yahudi; (5) negosiasi identitas; (6) loyalitas ganda Yahudi Amerika; dan (7) paradoks posisi perempuan. Hasil ketujuh merupakan hal yang menarik bagi hadirin ‘Aisyiyah.
Di antara ribuan etnis di dunia, identitas Yahudi adalah salah satu yang berdasarkan garis keturunan ibu. Dengan demikian, seorang perempuan Yahudi pasti akan melahirkan putra/putri Yahudi, meskipun sang ayah berasal dari etnis lain. Dalam dunia kontemporer Yahudi, faktor keturunan (ibu) adalah satu-satunya identitas yang tidak bisa dihapus. Seseorang bisa menjadi Kristen atau bahkan atheis, tetapi ketika ibunya seorang Yahudi, dia akan tetap menjadi seorang Yahudi seumur hidupnya. Dengan demikian, posisi perempuan dalam keluarga Yahudi sesungguhnya sangat strategis karena akan menentukan identitas anak atau masa depan bangsanya.
Meskipun demikian, peran perempuan seperti yang digambarkan dalam film-film ini menunjukkan kondisi sebaliknya. Selain menunjukkan dominasi laki-laki dengan gambaran perempuan bergantung sepenuhnya pada karakter laki-laki, juga ditunjukkan kurangnya daya tawar mereka sebagai perempuan. Karakter laki-laki terlihat memutuskan sesuatu dan perempuan fokus pada peran domestik. Dengan demikian, peran strategis perempuan dalam komunitas ini ditafsirkan sebagai penjaga keturunan, merawat, dan membesarkan anak-anak Yahudi yang menjadi pewaris tradisi agama dan budaya.
Selain itu, seperti yang digambarkan dalam Schindler’s List dan Ben Hur, perempuan serta anak-anak sebagai korban perang telah menjadi komoditas tersendiri dalam setiap representasi. Posisi rentan mereka di dunia laki-laki telah menyebabkan perempuan dan anak-anak paling menderita dalam setiap peperangan maupun pertikaian politik yang terjadi. (Sofia)
Tulisan ini pernah dimuat pada Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 2 Februari 2017, Rubrik Aksara
Sumber ilustrasi : http://manalifilmler.blogspot.com/2012/01/schindlerin-listesi.html