Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah kemarin (21/9) mengadakan diskusi seputar Pendidikan Inklusi tentang anak pengidap autis bagi para pendidik inklusi. Diskusi diadakan melalui Zoom Meeting dan live streaming lewat Youtube. Narasumber diskusi kali ini adalah Admila Rosada, seorang psikolog klinis lulusan Universitas Gajah Mada. Diskusi tersebut diikuti oleh para pendidik inklusi di bawah lembaga pendidikan ‘Aisyiyah di seluruh Indonesia.
Admila menyampaikan bahwa diskusi ini ada untuk memberikan pemahaman seputar autisme. “Diskusi ini agar kita tahu sebenarnya apa yang terjadi pada anak autis.” ujar Admila. Psikolog klinis berpengalaman itu mengaku bahwa dirinya menyayangkan banyak orang yang menggunakan istilah autis secara tidak tepat. “Misal lihat orang lain main hp terus, tiba-tiba dibilang autis. Yang seperti itu tidak tepat ya Bunda.” ucapnya memberi contoh.
Ia memberikan definisi yang benar tentang sebenarnya apa itu autisme. Autisme adalah gangguan perkembangan pada otak yang menyebabkan kesulitan dalam hal komunikasi, interaksi sosial, perilaku repetitif, dan respon yang baik terhadap lingkungan.” jelas Admila. Ia menerangkan itu;ah mengapa seringkali kita melihat gejala-gejala yang tidak umum pada anak penderita autis, mulai dari mengulang kata-kata, kurang bisa merasakan atau merilis emosi, dan sebagainya.
Baca Juga: Co-Parenting: Model Pengasuhan Pasca Perpisahan
Kemudian, ia menjelaskan seperti apa ciri-ciri pada anak autis. “Anak autis itu ciri-cirinya berbeda-beda ya, Bunda. Ada yang hipersensitif dan ada juga yang hiposensitif.” Dalam penjelasannya, ia menyampaikan bahwa anak dengan hipersensitif biasanya memiliki sensori tajam sehingga saat merasakan atau memegaang sesuatu, ia terlalu hati-hati atau bahkan tidak mau menyentuh sama sekali. Beda halnya dengan mereka yang hiposensitif, justru yang terjadi adalah anak-anak tersebut akan mencengkram kuat karena sensorinya yang lemah.
Lalu, mengapa autisme ini dapat terjadi pada seorang anak? Admila menjelaskan, “Ada banyak teori yang berbicara tentang ini. Namun ada beberapa faktor yang pasti seperti genetik dengan pencemaran lingkungan. Ada juga faktor yang memperkuat pemicu autisme, seperti multi-bahasa misalnya.” Namun ia menambahkan bahwa autisme juga dapat terjadi karena pola asuh yang tidak dua arah sejak dini. “Misalnya sejak belum berusia setahun, si anak sudah terpapar layar.”
Akan tetapi, untuk mewaspadainya, orang tua perlu memberikan perhatian penuh terhadap anak sejak dini, bahkan sebelum berusia dua tahun. Menurut Admila, pada kasus berat, autisme bisa menampakkan gejala bahkan sejak si bayi belum berusia dua tahun. (lsz)