Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Indonesia sedang mengalami darurat kekerasan seksual. Belum genap sebulan di tahun 2023, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah menerima 18 kasus aduan kekerasan seksual. Tahun sebelumnya, kasus yang diadukan ke KPAI hampir mencapai angka 4000 kasus.
Komisioner KPAI, Diyah Puspitarini meyakini bahwa jumlah tersebut ibarat puncak gunung es. Jumlah kasus yang dilaporkan tidak lebih banyak dari kasus yang sebenarnya terjadi. Oleh karena itu, ia mendorong masyarakat, termasuk pelajar, untuk turut serta mengawal dan berani melaporkan apabila ada kekerasan seksual yang terjadi di sekitarnya.
Menurut Diyah, maraknya kasus kekerasan seksual itu menuntut adanya sistem dan ruang yang aman. Edukasi tentang kesehatan reproduksi dan pendidikan seksual juga harus diberikan sedini mungkin. “Harus melibatkan sistem. Harus ada regulasi yang jelas,” tegas dia.
Pernyataan itu ia sampaikan dalam kegiatan peluncuran platform PCI: Platform Pelaporan Kasus Kekerasan Seksual dan Pusat Informasi HKSR, Sabtu (21/1), di Aula PP Muhammadiyah Cik Ditiro, Yogyakarta. Selain Diyah Puspitarini, hadir pula bertindak selaku narasumber Witriani dari Pusat Studi Wanita dan Pusat Layanan Terpadu UIN Sunan Kalijaga dan Noviana Monalisa dari Rekso Dyah Utami DIY.
Witriani mengamati bahwa di tengah maraknya kekerasan seksual, negara mulai mengambil peran yang cukup baik. Negara, kata dia, memang sudah semestinya memberikan perlindungan dan rasa aman bagi setiap warganya. Apalagi, dampak yang ditimbulkan dari kasus ini sangat mungkin berlaku seumur hidup, bukan hanya temporal.
Atas peluncuran platform PCI ini, ia menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada PP Ikatan Pelajar Muhammadiyah. “Mari bersinergi dan bersama-sama memerangi kekerasan seksual,” ajak Witri.
Baca Juga: Mernissi Bootcamp, Program Pengarusutamaan Gender DPD IMM DI Yogyakarta Resmi Dibuka
Sementara itu, Noviana melihat bahwa tingginya angka aduan kasus sebagaimana disampaikan Diyah juga dapat berarti kesadaran masyarakat untuk melaporkan kasus kekerasan seksual juga makin tinggi. Artinya, ada sisi “positif” dari tingginya angka kasus tersebut.
Novi menjelaskan bahwa kekerasan seksual bisa menimpa siapa saja; laki-laki maupun perempuan; anak-anak maupun remaja/dewasa; di dunia nyata maupun maya. Oleh karena itu, ia menegaskan agar masyarakat tidak menganggap kekerasan seksual sebagai hal yang biasa. “Semua harus sadar dan mendukung pelaporan korban,” kata dia.
Platform PCI merupakan bentuk ikhtiar PP IPM untuk ikut menjadi bagian dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual. Ketua Bidang Ipmawati PP IPM, Laila Hanifah menerangkan bahwa platform ini terdiri dari fitur pelaporan, curhat, dan edukasi. Kehadiran platform ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas penerimaan pengaduan kasus kekerasan seksual.
Ketua PP IPM, Nashir Effendi menegaskan bahwa platform PCI ini adalah inisiatif yang sebenarnya sudah diinisiasi jauh-jauh hari. “Ini merupakan manifestasi dari langkah kecil agar kita bisa sama-sama mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual,” paparnya.
Alpha Amirrachman dari Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah memberikan apresiasi terhadap langkah yang dilakukan kader IPM. Kekerasan seksual, menurut dia, adalah permasalahan yang kompleks. Ada banyak faktor yang melatarbelakangi maraknya kasus ini. Karenanya, melalui Zoom ia menegaskan, “Platform ini sangat dibutuhkan dibutuhkan di era sekarang”. (sb)