
Webinar Pernikahan Anak
Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah (PPNA) mengadakan webinar dengan tema “Mencari Solusi Perkawinan Anak dalam Perspektif Sosial, Psikologi, dan Agama” (14/2/2021). Webinar ini menghadirkan narasumber yang kompeten di bidangnya: Hamim Ilyas dari Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Rita Pranawati selaku Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Anisia Kumala selaku Dekan Fakultas Psikologi Uhamka, dan Khotimun Sutanti dari PPNA.
Rita Pranawati menyampaikan bahwa perkawinan anak merupakan fenomena yang kompleks. Ada beragam faktor yang melatarbelakangi, seperti relasi kuasa yang timpang, kultur masyarakat, paham keagamaan, dan ekonomi. Ia mencontohkan, masih ada orang tua yang menganggap bahwa anak merupakan aset. Dengan pemahaman tersebut, orang tua bersegera mengawinkan anaknya bahkan jika sang anak belum cukup umur untuk menikah.
Senada dengan Rita, Anisia Kumala menyampaikan hasil risetnya yang memuat kesimpulan bahwa di lapangan, selain faktor individu, perkawinan anak juga diakibatkan oleh faktor sosial-kultural dan ekonomi. Ia menemukan fakta bahwa perkawinan anak juga disebabkan minimnya asupan edukasi. “Mereka tidak punya cukup asupan edukasi terkait dampak pernikahan anak, baik dari kurikulum pendidikan, atau juga dari tokoh masyarakat dan agama. Sebagian besar di antara mereka juga tidak tahu ada Undang-Undang yang melarang perkawinan anak,” jelasnya.
Berdasar UU Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dalam Ketentuan Pasal 7 setelah mengalami perubahan, diputuskan bahwa “perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun”.
Dalam konteks ini, menurut Hamim Ilyas, Majelis Tarjih dan Tajdid sepakat dengan perubahan batas minimum perkawinan anak tersebut. Meskipun begitu, Hamim menyadari bahwa kondisi yang terjadi di lapangan sangat kompleks, sehingga ketentuan tersebut tidak dapat betul-betul terlaksana. Itulah yang menurutnya menjadi sebab di UU Nomor 16 Tahun 2019 dalam ketentuan Pasal 7 Ayat (2) tertulis, “orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup”.
Indonesia sendiri saat ini menempati peringkat kedua di ASEAN terkait jumlah perkawinan anak. Lebih-lebih, menurut Khotimun Sutanti, angka perkawinan anak pada masa pandemi beranjak naik. Ia menyajikan analisis UNFPA (United Nations Population Fund) yang memprediksi angka perkawinan anak akan bertambah sebanyak 13 juta kasus secara global hingga 10 tahun ke depan akibat COVID-19.
Kompleksitas faktor di balik maraknya perkawinan anak ini menjadi catatan bagi semua narasumber. Hal ini mengingat dampak buruk yang terjadi akibat perkawinan anak sangat banyak. Khotimun menyampaikan beberapa dampak negatif yang ditimbulkan, seperti kesehatan reproduksi, hilangnya hak-hak dasar anak yang dijamin oleh konstitusi, potensi mengalami KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), dan berpotensi terjadi stunting, wasting, dan underweight.
Atas dasar itu, maka langkah yang harus dilakukan adalah dengan menyesuaikan antara solusi dengan faktor penyebabnya. Dan untuk itu, setiap elemen masyarakat harus terlibat. Menurut Anisia Kumala, selama ini peran guru dan tokoh masyarakat masih terbilang minim, padahal peran mereka sangat signifikan karena punya intensitas lebih banyak dengan masyarakat, terutama anak.
Sejauh ini NA sudah melakukan beberapa bentuk advokasi, seperti melakukan kampanye melalui media sosial dan mengadakan diskusi publik, mengadakan pendampingan melalui Family Learning Center, Samara Course, Posyandu Remaja, Diskusi Kelompok Ibu-ibu, Diskusi Kelompok Laki-laki, Pelatihan untuk Tokoh Agama, mengadvokasi Perdes Pencegahan Perkawinan Anak, dan sebagainya. (SB)