Oleh : Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, M.Ag. (Guru Besar UIN Sunan Kalijaga)
Prioritas yang dimaksud dalam tulisan ini sesuatu yang lebih didahulukan dan diutamakan daripada yang lain. Misalnya, pembicaraan mengenai undang-undang antikorupsi diberi prioritas dalam parlemen, walaupun kenyataan di lapangan berbeda. Semantara itu, pemberdayaan artinya proses, cara, perbuatan memberdayakan. Berdaya maksudnya berkekuatan, berkemampuan, bertenaga, yakni mempunyai akal, cara, dan sebagainya untuk mengatasi sesuatu.
Pemberdayaan adalah membantu pihak yang diberdayakan untuk memperoleh kemampuan mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan untuk dirinya sendiri serta mengurangi ketergantungan kepada pihak lain. Pemberdayaan juga berarti upaya membangun daya dengan mendorong, memberikan motivasi, dan meningkatkan kesadaran tentang potensi yang dimiliki, serta berupaya untuk mengembangkannya. Pemberdayaan meliputi penyediaan sumber daya, kesempatan, pengetahuan, dan keterampilan bagi masyarakat untuk meningkatkan kapasitas mereka sehingga dapat mewujudkan masa depan yang lebih baik.
Masyarakat ialah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Secara sosiologis dikenal masyarakat adat, masyarakat bercocok tanam, masyarakat desa, masyarakat hukum, masyarakat kelas atas, masyarakat kelas menengah, masyarakat kelas bawah, masyarakat komunal, masyarakat kota, masyarakat madani, masyarakat majemuk, masyarakat modern, masyarakat peladang, masyarakat pinggiran, masyarakat primitif, masyarakat tradisional.
Sudah menjadi sunatullah bahwa masyarakat terdiri atas tiga golongan, yakni golongan bawah, menengah, dan atas. Stratifikasi demikian itu ada di mana-mana, baik dari segi ekonomi, sosial, pendidikan, politik, budaya, dan sebagainya. Strata sosial golongan bawah biasa disebut kaum lemah (du’afa), baik lemah jasmani maupun rohani. Allah swt berfirman dalam al-Quran,
“Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu? Kamilah yang membagi-bagikan penghidupan di antara mereka dalam kehidupan dunia ini, dan Kami angkat derajat yang sebagian di atas yang lain beberapa derajat, supaya satu dengan yang lain dapat saling memanfaatkan. Rahmat Tuhanmu lebih baik daripada harta yang mereka kumpulkan.” (Q. S. 43: 32)
Adanya pihak yang kuat dan yang lemah di tengah-tengah masyarakat sebagai sunatullah meniscayakan manusia untuk tolong-menolong, saling berbagi, dan saling menguatkan satu dengan yang lain, baik secara moral maupun material, agar tercipta kehidupan yang harmonis dan damai. Gejolak sosial akan terjadi jika orang yang kaya tidak memiliki kepedulian kepada yang miskin dan yang kuat tidak memberikan rasa aman kepada yang lemah.
Dalam ayat yang lain Allah swt berfirman,
“Kemudian Kami wariskan Kitab itu kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami. Di antara mereka ada yang menganiaya diri sendiri, ada yang pertengahan, dan ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Itulah karunia yang besar.” (Q. S. 35: 32)
Al-Quran mewanti-wanti orang-orang beriman agar tidak meninggal-kan anak keturunan yang berstatus lemah.
“Adakah di antara kamu salah seorang yang ingin memiliki kebun kurma dan anggur dengan sungai-sungai mengalir di bawahnya. Baginya segala macam buah-buahan, lalu ia mengalami usia tua, anak-anaknya tidak cukup kuat untuk mengurus diri sendiri. Lalu kebun itu dilanda angin kencang mengandung api, sehingga terbakar? Demikianlah Allah menerangkan tanda-tanda-Nya kepadamu supaya kamu merenungkan.” (Q. S. 2: 266)
Perumpamaan orang yang melakukan sebaik-baik amal pada permulaan hidupnya, kemudian jalan hidupnya berbalik dan mengganti kebaikan dengan keburukan, terhapuslah amal salehnya terdahulu. Selanjutnya, datang masa tua dan anak keturunannya lemah tidak mampu menanam seperti orang tuanya. Demikian gambaran orang-orang kafir di hari kiamat. Anak-anak keturunannya tidak berguna baginya. Hanya orang-orang berilmu yang mengambil pelajaran dari perumpamaan itu.
Tentang generasi lemah yang tidak diharapkan, Allah swt berfirman,
“Hendaklah ada rasa takut pada orang-orang yang sekira-nya meninggalkan keturunan yang tak berdaya, khawatir terhadap nasib mereka. Maka, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan berbicara dengan tutur kata yang penuh kasih sayang.” (Q. S. 4 :9)
Ali bin Abi Thalib meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ayat itu berkenaan dengan seorang laki-laki yang meninggal dunia dan ia memberikan wasiat yang membahayakan ahli warisnya. Maka Allah swt memerintahkan agar orang bertakwa kepada-Nya dan membimbing anak-anak pada kebenaran.
Ketika Nabi Muhammad saw menjenguk Sa’ad bin Abi Waqqas, ia bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, aku memiliki banyak harta dan tidak memiliki ahli waris kecuali seorang putri. Bolehkah aku menyedekahkan dua pertiga hartaku?” Beliau menjawab, “Tidak.” Ia bertanya, “Bagaimana kalau setengahnya?” Beliau menjawab, “Tidak.” Dia pun bertanya lagi, “Bagaimana kalau sepertiga?” Beliau menjawab, “Ya, sepertiga boleh, dan sepertiga itu banyak.” Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Sesungguh-nya jika kamu meninggalkan keturu-nanmu dalam keadaan cukup adalah lebih baik daripada engkau biarkan mereka miskin dan meminta-minta kepada orang lain.” (H. R. Bukhari).
Muslim niscaya berusaha menjaga dirinya dari api neraka, lalu keluarga-nya.
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu; dijaga para malaikat yang keras dan tegar, tak pernah membangkang apa yang diperintahkan Allah kepada mereka, dan selalu melaksanakan apa yang diperintahkan.” (Q. S. 66: 6)
Setiap mukmin niscaya menjaga perilakunya sendiri, keluarganya, dan orang-orang terdekatnya dengan selalu saling mengingatkan untuk menetapi kebenaran dan kesabaran dalam menjalani hidup ini. Jika seseorang hidup hanya untuk dirinya sendiri, ia belum memenuhi seluruh kewajibannya. Apa pun kekayaan yang ada padanya, terutama dalam kehidupan moral dan spiritual, harus ia sebarluaskan kepada saudara-saudaranya. Di dalam harta seorang mukmin terdapat hak bagi peminta dan orang-orang yang kurang beruntung memperoleh rezeki (Q. S. 51: 19, 70: 24-25).
Prioritas dalam pemberdayaan menurut tuntunan al-Quran antara lain sebagai berikut.
“Mengabdilah kepada Allah dan jangan mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga-tetangga dekat dan tetangga-tetangga jauh, teman sejawat, dan orang dalam perjalanan, serta hamba sahaya yang dimiliki. Allah tidak menyukai orang yang congkak lagi membanggakan diri.” (Q. S. 4 :36)
Baca selengkapnya di Rubrik Hikmah, Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 6, Juni 2020