
Sumber Ilustrasi : popularitas.com
Oleh : Pihasniwati (Dosen Prodi Psikologi UIN Sunan Kalijaga)
Wabah Covid-19 telah menelan banyak korban jiwa di seluruh dunia. Penyebarannya yang cepat berdampak pada berbagai aspek kehidupan. Berbagai upaya dilakukan untuk menekan laju penyebaran pandemi global ini. Salah satunya adalah aturan bekerja dari rumah dan belajar dari rumah. Kini, hampir seluruh sekolah mengambil keputusan yang sama dan bahkan untuk waktu yang diperpanjang. Mulai dari jenjang taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi melakukan pembelajaran jarak jauh.
Persoalannya, sebagian besar sekolah tidak memiliki fasilitas pembelajaran online semacam e-learning dan tak semua siswa memiliki akses terhadap teknologi dan internet yang mumpuni. Terlebih, jika harus merogoh kocek lebih banyak untuk biaya kuota yang lebih besar di saat sendi-sendi perekonomian terus mengalami kelumpuhan.
Tak dapat dimungkiri, kini menjamur aplikasi belajar online mulai dari yang rumit hingga sederhana. Mulai dari yang berbayar mahal hingga gratis. Bahkan beberapa institusi mulai memberikan fasilitas kuota gratis untuk pembelajaran. Namun kecepatan akses para guru dan siswa, serta afirmasi dari pemegang kebijakan belum selaras dari berbagai sisi. Sehingga, secara umum, strategi yang terjadi adalah guru memberikan banyak pekerjaan rumah sebagai sangu ‘libur’ siswa. Tak ayal, siswa dan orang tua terdampak dari penyesuaian yang berangkat dari kegagapan dan kegugupan ini. Sementara tak dapat dipastikan, kapan situasi akan kembali normal?
Siswa Paling Dirugikan
Melihat fenomena di atas, tampaknya siswa menjadi pihak yang dirugikan. Para pelajar yang notabene masih tergolong usia anak dan remaja semestinya menjadi perhatian dan pusat pertimbangan dalam pengambilan kebijakan. Bayangkan, belum genap dua pekan pembelajaran online diberlakukan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), hingga 19 Maret 2020 lalu telah menerima 51 pengaduan dari siswa dan orang tua yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia.
Mereka merasa lelah dan tertekan. Mereka keberatan dengan tugas online yang menumpuk dan harus diselesaikan dengan tenggat waktu yang sempit. Misalnya, seorang siswa mengaku dalam waktu dua pekan harus menyelesaikan 13 LKS (lembar kerja siswa) dari 13 mata pelajaran, sementara materi belajar dipelajari secara mandiri. Ada pula siswa yang mengeluh kesehatannya memburuk karena kurang istirahat dan kurang memperhatikan keseimbangan aktivitas harian. Ada juga orang tua yang mengadukan anaknya mengerjakan soal dari jam 7 pagi hingga 5 sore, tidak menikmati hari-harinya secara wajar.
Dari pengaduan tersebut, tampak ada tren guru menjadi lebih ‘agresif’, menjejali siswa dengan tugas yang lebih padat daripada saat belajar tatap muka di sekolah. Secara umum, fenomena ini lebih banyak terjadi di jenjang pendidikan SMP dan SMA. Hal menarik lainnya adalah beberapa siswa harus datang dan berkumpul di rumah temannya karena tidak memiliki cukup kuota untuk askses pembelajaran online dari guru. Otomatis, physical distancing gagal diterapkan.
Pantauan dari laman website dan media sosial juga mendukung temuan pengaduan melalui KPAI. Banyak siswa yang mengeluhkan, guru mereka tidak menguasai teknologi belajar online. Hanya menggunakan aplikasi WhatsApp untuk mengirimkan bahan belajar, khususnya tugas dan instruksi, tanpa ada interaksi timbal balik yang memadai. Akibatnya beberapa siswa uring-uringan, panik, dan sering marah-marah karena tidak memahami materi, atau merasa jengkel karena hanya dibebani tugas tanpa difasilitasi pertambahan pemahaman yang memuaskan. Belum lagi siswa mengaku, suasana rumah tidak kondusif untuk belajar dan tidak ada anggota keluarga yang dapat membantunya untuk memahami materi dan tugas. Suasana hati menjadi taruhannya. Bad mood.
Fenomena ini menggambarkan kegagapan guru dan sekolah dalam merespons perubahan. Atau lebih jauh lagi bentuk kekurangsigapan pemerintah menyiapkan penatalaksanaan dan SOP pembelajaran online jika situasi darurat terjadi. Alih-alih memastikan para siswa mereka tetap sehat, tetap bahagia, dan dapat menjalani rutinitas dengan seimbang sekalipun terkarantina di rumah masing-masing. Guru justru mengirimkan tekanan dan beban yang dapat menurunkan kesejahteraan fisik dan mental siswa. Sementara kondisi sehat dan selaras dituntut sebagai syarat terciptanya imunitas yang baik, sehingga dapat menangkal beragam virus jahat yang meneror.
Fenomena lain adalah, siswa dan orang tua yang gagal menciptakan suasana kondusif untuk pembelajaran di rumah. Di masa awal anjuran pembelajaran jarak jauh, masih ditemukan siswa yang justru bermain di warnet (tirto.id 18 Maret 2020). Banyak siswa yang mengeluh suasana rumah yang tidak kondusif untuk belajar. Orang tua mengeluh tidak mampu dan kerepotan mendampingi anak-anak belajar di rumah. Orang tua gugup dan gagap dituntut untuk menambah perannya sebagai ‘guru’ di rumah.
Sebagian besar orang tua pada akhirnya hanya dapat mengontrol dan memonitoring apakah anak sudah menyelesaikan tugas. Walhasil anak menjadi semakin tertekan. Padahal mereka membutuhkan bimbingan, dukungan, dan teman untuk menyelesaikan tugas yang menumpuk. Selain itu, bagaimana tetap menikmati suasana rumah, saat mereka tidak punya pilihan untuk jalan-jalan atau berkumpul bersama teman. Aktivitas khas anak dan remaja yang menjadi terampas sementara. Rasanya, hanya memindahkan beban dari sekolah ke rumah.
Adaptasi Proses Pembelajaran
Pembelajaran online selayaknya tetap memperhatikan terciptanya ruang interaksi guru dan siswa, dengan komunikasi timbal balik di dalamnya. Bukan justru menjadi ajang membebani siswa dengan tugas-tugas dan PR yang wajib diselesaikan dalam tenggat waktu sangat terbatas. Ingat, proses pembelajaran dimulai dengan proses pemberian stimulus belajar, menghubungkan siswa dengan sumber-sumber belajar, memberi ruang bagi siswa untuk mengeks-plorasi sumber belajar, dan mengonfirmasi bagian-bagian yang mereka butuh penjelasan lebih lanjut.
Baca selengkapnya di Rubrik Cakrawala, Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 5, Mei 2020
1 Comment