Sosial Budaya

Profil Muballighat di Era Digital

muballighat digital

Oleh: Arif Nur Kholis*

‘Aisyiyah sebagai bagian dari Muhammadiyah digerakkan oleh perempuan-perempuan yang memiliki komitmen tinggi pada ajaran Islam dengan wawasan kemajuan zaman yang tinggi. Wawasan kemajuan yang disematkan dalam konsepsi Islam Berkemajuan ini mendorong para perempuan penggerak ‘Aisyiyah untuk terus memberikan yang terbaik kepada umat, termasuk target dakwah yang dilakukan oleh para muballighat sejak berdirinya ‘Aisyiyah. Bahkan Nyai Siti Walidah perintis ‘Aisyiyah adalah seorang muballighat yang aktif membina umat secara langsung.

Sementara zaman terus berubah, karakter jamaah pun ikut berubah. Muballighat menjadi individu-individu terdepan yang harus menghadapi perubahan karakter jamaah. Bagi para muballighat ‘Aisyiyah, panggilan zaman ini tentu bukanlah pekerjaan berat, karena selama satu abad lebih, muballighat ‘Aisyiyah terbukti berhasil menjalankan tugas pencerahan ini sesuai dengan perkembangan zaman. Termasuk dengan hadirnya era digital ini.

Digitalisasi

Era digital adalah masa ketika informasi mudah dan cepat diperoleh serta disebarluaskan menggunakan teknologi digital. Diawali dengan hadirnya jaringan internet yang menghubungkan antar perangkat komputer dalam kecepatan tinggi, dilanjutkan dengan hadirnya perangkat smartphone yang menjadikan informasi menjadi murah, mudah digunakan, mudah dibawa, bahkan bisa digunakan dari kalangan lansia hingga balita. Kemudahan-kemudahan perangkat keras tersebut menjadi lebih cepat, mudah, dan revolusioner dengan hadirnya aplikasi media sosial yang terus melahirkan varian baru seperti YouTube, Facebook, Instagram, Twitter, Tik Tok, dan sebagainya.

Menurut survei terbaru dari agensi marketing We Are Social dan platform manajemen media sosial Hootsuite, terungkap bahwa lebih dari separuh penduduk di Indonesia telah aktif menggunakan media sosial pada Januari 2021. Dalam laporan berjudul Digital 2021: The Latest Insights Into The State of Digital disebutkan bahwa dari total 274,9 juta penduduk di Indonesia, 170 juta di antaranya telah menggunakan media sosial. Angka tersebut menandakan bahwa sekitar 61,8 persen telah menggunakan media sosial. Pada laporan tersebut juga disampaikan bahwa perangkat media sosial yang memiliki pengguna terbanyak adalah YouTube, diikuti Whatsapp, Instagram, Facebook, dan Twitter.

Berdasarkan data tersebut, maka sudah bisa dipastikan bahwa di antara 170 juta pengguna media sosial di Indonesia tersebut di atas sebagian besar adalah umat Islam di Indonesia yang menjadi target dakwah Muhammadiyah. Sehingga bisa dipastikan bahwa sebagian besar jamaah adalah para pengguna media sosial.

Baca Juga: Dakwah Digital dan Content Creator, Bagaimana Anak Muda Mengubah Konten Keislaman?

Fakta di atas berkonsekuensi pada pergeseran pola jamaah dalam mendapatkan informasi, termasuk informasi keagamaan. Pola distribusi informasi keagamaan yang awalnya berasal dari muballigh/muballighat melalui pengajian tatap muka tidak menjadi satu-satunya pola lagi. Setelah pada awal tahun 80an mulai dikenal hadirnya pengajian melalui radio dan televisi yang melahirkan fenomena mubaligh/muballighat televisi, kali ini pengajian berkembang juga melalui aplikasi media sosial sehingga lahirlah muballigh/muballighat di Facebook, YouTube, Instagram, dan sebagainya.

Pada jaringan Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah, berkembang pula kanal YouTube yang mengkhususkan pada pengajian, seperti YouTube Tarjih, kanal yang dikelola secara resmi oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dan juga YouTube Majelis Tabligh Muhammadiyah yang dikelola secara resmi oleh Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, dengan membawa narasumber juga dari Majelis Tabligh PP ‘Aisyiyah.

Berbagai kanal YouTube yang berafiliasi secara resmi maupun secara kultural dengan Muhammadiyah dan ’Aisyiyah juga berkembang pesat. Bahkan, banyak juga kanal YouTube yang dikelola secara mandiri oleh personel muballigh/muballighat Muhammadiyah/’Aisyiyah. Fenomena ini merupakan perkembangan yang positif dan perlu terus didorong perkembangannya. Namun, perlu dipikirkan bagaimana keselarasan narasinya dengan kanal YouTube resmi karena seharusnya materi dari kanal selain kanal resmi majelis mendukung dan tidak bertentangan dengan materi kanal resmi majelis.

Pada masa pandemi Covid-19 yang berujung pada pola hidup dengan jarak fisik dan jarak sosial, mulai pula populer ragam seminar dan rapat daring (dalam jaringan) yang digunakan dalam dunia akademik, pekerjaan, dan pengajian. Kita dapat memakai beragam aplikasi seperti Zoom, Webex, Google Meet, dan sebagainya.

Akrabnya jamaah dengan media seminar online ini memperkuat efektifnya perangkat digital sebagai media dakwah karena jamaah bisa berinteraksi langsung dengan muballigh/muballighat tanpa terbatas ruang dan waktu. Misalnya, seorang jamaah pengajian di Papua pada era digital ini bisa menjadi jamaah aktif dan interaktif dengan seorang muballighat yang berposisi di Yogyakarta.

Fenomena ini juga menjadi tantangan baru bagi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah karena seorang ja­maah persyarikatan dengan mudah memiliki akses kepada mubaligh/muballighat dari berbagai kalangan di luar persyarikatan tanpa terbatas ruang, waktu, dan organisasi. Hal ini menjadi salah satu dasar mengapa Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah harus memperkuat efektivitas peran muballigh/muballighat pada era digital ini.

Dengan terbukanya informasi di era digital yang dapat menembus batas-batas budaya, maka muballighat juga akan menghadapi jamaah yang lebih kaya wawasan. Konsekuensinya, jamaah akan menjadi sangat kritis karena memiliki akses pada informasi pembanding dari materi yang disampaikan muballighat.

Baca Juga: Optimalisasi Dakwah Muballighat di Era Globalisasi

Selain itu, materinya juga akan menjadi sangat personal dari masalah akidah yang bisa berkembang dengan diskusi perbandingan akidah, diskusi fikih yang juga harus siap dengan perbandingan fikih dari sumber lain karena kemudahan mengakses sumber media lain, dan materi akhlak yang tentu akan mendapatkan tantangan karena adanya akses generasi Z pada gaya hidup lain yang bisa jadi tidak sesuai bahkan bertentangan dengan tuntunan akhlak. Pendek kata, muballighat harus siap memasuki kelompok jamaah yang sedemikian bebas menerima infiormasi sehingga akan banyak dihadapkan pada ja­maah yang kritis, rasional, dan juga fungsional.

Di sisi lain, karakter keagamaan yang sangat rasional ini akan berhadapan pada karakter keagamaan yang sangat radikal karena terkondisikan oleh algoritma media sosial yang cenderung mempertebal sentimen kelompok, termasuk kelompok pemahaman agama aliran, antarorganisasi. Sehingga muballighat harus memiliki kearifan tersendiri menghadapinya.

Berdasarkan berbagai kajian di atas, maka seorang muballighat pada era digital perlu memperkuat literasi keagamaan secara mendalam dan komprehensif, termasuk membekali diri dengan beberapa materi dakwah kontemporer, termasuk materi khusus terkait perkembangan era digital seperti fikih informasi yang telah dikembangkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.

Muballighat juga perlu memperkuat literasi digital, baik terkait karakteristik perangkat keras secara sederhana, pengenalan karakter masing-masing media digital/media sosial, dan memanfaatkan media yang akan dioptimalkan sebagai platform media dakwah. Setiap muballighat tidak perlu menguasai dan aktif di semua media sosial. Cukup memilih satu atau dua media saja yang diperdalam dan dipastikan efektivitasnya.

Muballighat juga perlu mendalami karakteristik jamaah karena adanya pergeseran karakter jamaah pada era digital ini. Hal ini menjadi bekal untuk memilih materi, menyusun strategi, sekaligus merumuskan perangkat evaluasi efektivitas dakwah melalui perangkat digital.

Khusus materi, muballighat perlu memperdalam materi untuk mendorong jamaah memanfaatkan media digital untuk kebutuhan positif, sehingga membantu jamaah mengurangi efek negatif media digital.

Karena muballighat juga secara khusus berhubungan dengan jamaah perempuan, materi dakwah yang khas bagi jamaah perempuan pada era digital ini juga mengalami perkembangan tema. Upaya ini dalam rangka mengurangi ketertinggalan literasi digital jamaah perempuan yang berpotensi membuat perempuan menjadi korban hoaks, misinformasi, dan disinformasi, dan tentu merugikan kaum perempuan.

*Manajer Pusat Syiar Digital Muhammadiyah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *