Dalam resepsi milad ‘Aisyiyah ke-104 (19/5), Ketua Umum PP ‘Aisyiyah Siti Noordjannah Djohantini mengusulkan kepada pemerintah untuk menetapkan dua kader ‘Aisyiyah sebagai pahlawan Nasional. Dua kader tersebut adalah Siti Munjiyah dan Siti Hayinah. Pengusulan tersebut berangkat dari fakta historis bahwa keduanya memainkan peranan penting di dalam proses memajukan kehidupan umat dan bangsa.
Siti Munjiyah
Siti Munjiyah lahir di Yogyakarta pada tahun 1896. Ia merupakan putri dari Haji Hasyim Ismail, seorang lurah Keraton Yogyakarta. Ia bersama saudara-saudaranya, yakni Jasimah, Syuja’, Fachrodin, Hadikusuma, Zaini, Siti Bariyah, dan Siti Walidah, merupakan aktivis Muhammadiyah-‘Aisyiyah periode awal.
Sejak kecil, oleh keluarganya Siti Munjiyah telah disiapkan sebagai seorang figur ulama perempuan. Bersama Siti Umniyah (putra Kiai Sangidu), ia memperdalam pengetahuan agamanya. Salah satunya dengan belajar langsung kepada Kiai Ahmad Dahlan dan Nyai Walidah.
Siti Mujiyah dikenal dengan kepiawaiannya berpidato. Kemampuan yang sama yang dimiliki oleh kakaknya, Fachrodin. Bahkan Fachrodin dikenal sebagai “singa mimbar” oleh karena kemampuannya membakar semangat para pendengarnya. Sementara bagi Siti Munjiyah, kemampuan berpidatonya ia ekspresikan ketika mewakili ‘Aisyiyah di berbagai forum penting.
Baca Juga
Milad Ke-104, ‘Aisyiyah Usulkan Siti Hayinah dan Siti Munjiyah Diangkat Sebagai Pahlawan Nasional
Suatu ketika, Siti Munjiyah diberikan kepercayaan Kiai Ahmad Dahlan untuk bersama-sama menghadiri undangan Sarekat Islam (SI) di Kediri. Pada waktu itu, ia merupakan satu-satunya utusan Hoofdbestuur Muhammadiyah perempuan yang naik mimbar untuk menyampaikan ceramah keagamaan. Pemahaman agamanya yang luas disertai kemampuannya berpidato adalah perpaduan yang tepat bagi seorang mubalighat.
Di hadapan banyak orang, dengan lantang ia menyatakan bahwa perempuan mempunyai kedudukan yang setara dengan laki-laki, terutama dalam hal memajukan agama Islam. Dalam salah satu orasinya, ia juga menyatakan bahwa sudah waktunya bagi perempuan untuk bangun dari tidur lelapnya. “…dengan adanya gerakan ini, mulai sadar dan bangunlah bangsa kita, perempuan Indonesia, dari tidurnya yang nyenyak, suara yang berderu-deru senantiasa menghampiri telinga mereka, dan memang sudah waktunya kita kaum perempuan mulai maju sebab matahari telah terbit dan menyilaukan mata kita”.
Siti Munjiyah pernah diamanahi menjadi ketua umum di ‘Aisyiyah. Ia juga terlibat aktif dalam berbagai pergerakan perempuan. Di Kongres Perempuan Pertama (1928), ia menjabat sebagai wakil ketua. Sebuah posisi penting yang hanya bisa diraih oleh perempuan yang mempunyai wawasan luas, kecakapan berorganisasi, dan integritas.
Siti Hayinah
Siti Hayinah lahir di Yogyakarta pada tahun 1906. Ia lahir dari keluarga pengusaha batik sukses, yakni Haji Mohammad Narju. Pendidikan formal ia tempuh di Holland Inlandsche School (HIS) dan Fur Huischoud School di Yogyakarta. Sementara pendidikan agama ia dapatkan secara non-formal melalui bapaknya dan pengajian agama yang diadakan Nyai Ahmad Dahlan.
Ia telah aktif di ‘Aisyiyah sejak kecil. Teman seangkatannya di ‘Aisyiyah adalah Siti Zaenab, Siti Aisyah, Siti Dauchah, Siti Dalalah, Siti Busyro, dan Siti Badilah. Di usianya yang ke-19, ia dipercaya mendampingi Nyai Ahmad Dahlan sebagai sekretaris. Siti Hayinah juga pernah menjabat sebagai Pimpinan Redaksi Majalah Suara ‘Aisyiyah.
Hal yang menjadi perhatian Siti Hayinah adalah pendidikan, khususnya bagi kaum perempuan. Ia getol menyuarakan pentingnya perempuan untuk membaca dan belajar. Sepak terjangnya dalam memberikan ruang belajar bagi perempuan direalisasikan melalui usulan berdirinya bibliothek bagi kaum perempuan dan badan penerbitan majalah khusus untuk kaum ibu.
Baca Juga
Ia juga dikenal sebagai perempuan dengan semangat persatuan yang tinggi. Di hadapan peserta Kongres Perempuan Pertama Indonesia (1928), ia mengatakan, “persatuan merupakan alat untuk mencapai tujuan utama seperti kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemakmuran. Jalan persatuan ditempuh melalui saling bergaul, berhubungan, memelihara persaudaraan, mendirikan perkumpulan, dan membicarakan hal ihwal yang perlu dilakukan bersama”. Persatuan, menurutnya, adalah alat untuk meraih kebahagiaan dan kesejahteraan.
Sepanjang karir organisasinya, Siti Hayinah pernah memimpin ‘Aisyiyah sebanyak lima kali. Amanat tersebut didapatkannya berkat kepandaian dan kecakapannya dalam berorganisasi. Selain di ‘Aisyiyah, ia juga aktif di berbagai organisasi, seperti Gabungan Wanita Islam Indonesia (GOWII), Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI), dan Badan Penasihat Perkawinan Perselisihan dan Perceraian (BP4).
***
Tulisan ini hanyalah secuil profil dari dua tokoh ‘Aisyiyah yang diusulkan untuk menerima penghargaan Pahlawan Nasional berkat peran dan kontribusinya untuk umat dan bangsa. Melihat peran dan kontribusi keduanya, rasanya tidak berlebihan jika usulan tersebut segera ditindaklanjuti menjadi kenyataan. (sb)
*diolah dari berbagai sumber