Kalam

Puasa Enam Hari di Bulan Syawal, Dalam Suasana Tradisi Silaturahim, Disertai Makan-Makan

Oleh: Siti Aisyah

Puasa Ramadan telah usai, di Hari Idul Fitri, terdapat tradisi silaturahim, saling berkunjung untuk menyampaikan tahniah, Selamat Hari Raya Idul Fitri. Tradisi ini, terkadang sampai satu pekan. Mereka juga mengunjungi saudara di luar kota, dan tradisi mudik untuk bersilaturahim dengan keluarga besar. Problem spiritual muncul, Ketika seseorang menunaikan puasa enam hari di bulan Syawal mulai tanggal 2 Syawal, sementara masih suasana tradisi silaturahim, saling berkunjung yang diikuti dengan sajian makan-makan, baik makan kecil (snack) maupun makan besar (nasi).

Puasa Syawal juga telah menjadi tradis di beberapa daerah dengan menunaikan ibadah puasa Syawal pada tanggal 2-7 Syawal, yang kemudian diakhiri di tanggal 8 Syawal menyelenggarakan Bada Kupat atau Riyaya Kupat. Tradisi ini memiliki filosofi, pesan bermakna. Kupat dimaknai laku papat dalam Bahasa Jawa, yang berarti empat perbuatan, yaitu Lebaran, Luberan, Leburan, dan Laburan. Huruf L pertama, Lebaran  yang bermakna telah selesai menunaikan puasa Ramadan dan puasa sunah enam hari di bulan Syawal. Ibadah ini memiliki keutamaan yang dipahami dari sabda Rasulullah saw.

Dari Abi Ayyub al-Anshari r. a. (diriwayatkan) … bahwa Rasulullah saw bersabda: Barang siapa sudah melakukan puasa Ramadan, kemudian menambahkan dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka seolah-olah ia telah melaksanakan puasa sepanjang masa. [HR Jama’ah ahli hadis selain dan  an-Nasa’i].

Huruf (L) kedua, bermakna Luberan, maknanya, berlebih. Setelah usai puasa Ramadan, diwajibkan menunaikan zakat fitri, dan dianjurkan berinfaq dalam suasana suka dan duka, sebagai salah satu ekspresi pribadi takwa [QS. Ali ‘Imran (3): 133-134]. Huruf (L) ketiga bermakna Leburan yaitu semua kesalahan telah luluh, dengan saling silaturahim, saling memaafkan [QS. Ali ‘Imran (3) : 133-134]. Huruf (L) terakhir (keempat), maknanya Labur, yaitu dicat dengan warna putih. Maksudnya, setelah puasa sebulan penuh dengan iman dan ihtisaban, saling maaf memaafkan, kembali suci, seperti selembar kain putih, tanpa noda.

Ketika lebaran atau Idul Fitri dengan tradisi saling berkunjung, silaturahim, sudah memulai puasa Syawal, secara ‘irfani, terkadang ada perasaan tidak nyaman, bila tuan rumah tidak rida dan dinilai tidak menghargai tuan rumah. Demikian juga ketika ada acara syawalan di kampung, kantor, di rumah makan, ada perasaan kurang nyaman.

Baca Juga: PCA Pasean Berbagi Sembako untuk Warga

Disisi lain, terdapat Muslimah yang memulai puasa sunah Syawal, di tanggal 2 Syawal, ada pertimbangan kesehatan. Dengan berpuasa setelah Idul Fitri di tanggal 1 Syawal dan memulai puasa di tanggal 2 Syawal, perut terasa nyaman, sakit lambung menjadi reda. Ada juga syar’i, hadis-hadis yang mengangkat puasa Syawal masih bersifat umum, tidak ada aturan kaifiyahnya, apakah harus dilakukan tanggal 2, atau setelah usai silaturahim, dilakukan berturut-turut atau terpisah. Dengan keumuman hadis, boleh menunaikan puasa Syawal dimulai tanggal 2.

Dengan memahami keumuman hadis, maka tidak ada masalah dalam arti dibolehkan menunaikannya di awal bulan Syawal, meskipun masih dalam suasana silaturahim. Selain itu, dengan memahami hadis Umu Umarah yang dikutip dalam Keputusan Munas Tarjih ke-26 tentang Puasa Tathawwu’.

Dalam hadis Riwayat al-Tirmizi, Ahmad, Ibn Majah, al-Darimi, Nabi tidak melarang Umarah berpuasa, meskipun dia menjamu Nabi saw, dan Nabi saw menikmati hidangan Umu Umarah. Kemudian Nabi memberikan apresiasi dengan menyampaikan bahwa Malaikat bershalawat maksudnya mendoakan kepada orang yang berpuasa, selama acara perjamuan atau sampai jamuan makan berakhir. Selengkapnya hadis dimaksud adalah

Dari Ummu ‘Ummarah binti Ka’ab, bahawa Nabi saw pernah mendatanginya, lalu Umarah meminta makanan untuk dihidangkan kepada beliau, maka Nabi saw bersabda kepadanya : “Silahkan engkau juga makan. Umi ‘Umarah menjawab : Saya berpuasa.” Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya orang berpuasa apabila ada perjamuan makan padanya, maka malaikat akan memberi salawat kepadanya, sampai perjamuan tersebut selesai, atau menurut lafal lain, sampai mereka selesai makan makan.” (HR. al-Tirmizi, Ahmad, Ibn Majah, al-Darimi).

Selamat menunaikan puasa sunah enam hari di bulan Syawal, sebagai kelengkapan keutamaan puasa Ramadhan yang memiliki nilai setara dengan pahala puasa satu tahun.

*Penulis adalah Ketua Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Periode 2022-2027

Related posts
Fikih Perempuan

Puasa Sunah Enam Hari di Bulan Syawal bagi Perempuan

Oleh: Siti Aisyah* Ramadan telah usai, Idul Fitri telah ditunaikan, menyusul puasa sunah di bulan Syawal. Bagi perempuan, yang Allah telah mentakdirkan…
Kalam

Berpuasa Syawal Dahulu, atau Bayar Utang Puasa Ramadan?

Saat berpuasa di bulan Ramadan, terdapat beberapa orang yang tidak bisa menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh. Bukannya tanpa alasan, saat Ramadan…
Kalam

Fadilah Puasa Syawal

Salah satu puasa yang dihukumi “sunnah muakkadah” bagi umat Muslim adalah puasa Syawal. Puasa Syawal ialah puasa sunnah yang dilakukan selama enam hari…

4 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *