Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Menyongsong Pemilihan Umum 2024, Pusat Studi Muhammadiyah menyelenggarakan diseminasi riset preferensi politik warga Muhammadiyah dalam lingkup DIY dan Jawa Tengah pada Rabu (27/12) di Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Forum diseminasi tersebut dibuka untuk umum dan dihadiri oleh berbagai elemen seperti warga persyarikatan, mahasiswa hingga pengurus organisasi otonom Muhammadiyah. Di dalam acara, penyampaian hasil penemuan turut mengundang akademisi, praktisi hingga pimpinan Muhammadiyah.
Acara dipandu oleh Iqbal Khatami selaku peneliti Pusat Studi Muhammadiyah dan dibuka dengan pengantar temuan riset oleh Direktur Pusat Studi Muhammadiyah, Bachtiar Dwi Kurniawan. Ia mengungkap temuan terbaru bahwasanya sebesar 92% warga Muhammadiyah sudah terbuka akan pentingnya Muhammadiyah terlibat dalam politik kebangsaan. Peran tersebut diwujudkan dengan pengisian posisi-posisi politik baik di kursi politik maupun struktur birokrasi politik. Di akhir penyampaian, Bachtiar menghimbau kepada seluruh warga Muhammadiyah agar menatap pesta demokrasi dengan riang gembira. Sehingga menurutnya, hal tersebut dapat meminimalisir konflik-konflik yang diakibatkan oleh perbedaan pendapat.
”Temuan riset ini menjadi surprise bahwa pemikiran warga Muhammadiyah sudah terbuka tentang peran politik kebangsaan. Warga Muhammadiyah berharap kader dapat mengisi posisi politik di kursi maupun birokrasi. Ini menegaskan tanda bahwa sifat Muhammadiyah itu kosmopolit, inklusif dan adaptif,” ungkap Bachtiar.
Selanjutnya proses diseminasi temuan riset disampaikan oleh Sekertaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah, David Effendi. Ia mengutarakan, terdapat pergeseran pandangan politik di kalangan warga Muhammadiyah. Saat ini, warga Muhammadiyah menilai pentingnya peran tokoh Muhammadiyah dalam berkhidmat di pemerintahan. Hal ini diikuti oleh pandangan bahwa perlunya kader Muhammadiyah untuk mengisi peran-peran dalam partai politik.
”Terdapat pergeseran pandangan di kalangan warga Muhammadiyah. Warga Muhammadiyah cenderung berpandangan bahwa tokoh, kader perlu berkhidmat di politik pemerintahan dan aktif di partai politik. Upaya ini perlu dilakukan untuk memperjuangkan kepentingan Muhammadiyah,” ujar David.
Temuan lain dalam riset ini menunjukan bahwa pemilih di kalangan warga Muhammadiyah cenderung bersifat cair. Bukti ini ditunjukan oleh temuan bahwa sebesar 30% pemilih muda warga Muhammadiyah yang berpartisipasi tidak terpatron pada ideologi maupun penokohan tertentu dalam menentukan pilihan. Bagi kalangan muda pemilih Muhammadiyah, aspek rasionalitas dalam menentukan pilihan cenderung besar, berbeda dengan pemilih tua. Kesimpulan temuan riset ini menunjukan tidak adanya barrier atau penghambat di kalangan warga Muhammadiyah dalam menentukan pilihannya.
Baca Juga: Nalar Kedaulatan dan Kesadaran Kritis Pemilih Muda
Penanggap pertama, Syahdara Anisa Makruf selaku Ketua Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah DIY menyampaikan penting bagi para pasangan calon untuk mengangkat isu perempuan dalam Pemilu 2024 nanti. Pemilih perempuan menjadi jumlah yang dominan di Pemilu nanti, namun menurutnya perempuan belum mampu mengolah isu perempuan itu sendiri. Selain itu, dorongan tersebut didasarkan atas keterwakilan perempuan di badan legislatif yang hanya menyentuh 23%.
”Perempuan peran strategis yang ditunjang dengan kapasitas dan kapabilitas dalam memajukan bangsa. Terlebih lagi perempuan muda Muhammadiyah merupakan sosok yang aktif. Upaya tersebut perlu dilakukan dengan cara melibatkan perempuan menjadi konco thinking, bukan sekedar menjadi konco wingking,” urai Syahdara.
Penanggap selanjutnya ialah Zuly Qodir, Guru Besar Sosiologi UMY. Zuly menyatakan bahwa sejak tahun 1955 pemilih Indonesia bukan lagi menjadi pemilih ideologis. Fakta tersebut berkaitan dengan tidak adanya partai ideologis murni yang mengikuti kontestasi politik. Dirinya pun menyoroti kalangan muda sejumlah 57% dan swing voters sejumlah 38% dalam Pemilu nanti. Menurutnya, tiap-tiap paslon yang berkontestasi harus mampu mengemas dan mengomunikasikan gagasan terbaik untuk menyasar kalangan tersebut.
”Kalangan pemilih muda dan swing voters masing-masing berjumlah 57% dan 38%. Ini menjadi pekerjaan bagi para pasangan untuk bagaimana mengomunikasikan gagasan mereka,” ujar Zuly.
Tanggapan terakhir disampaikan oleh Arif Jamali Muis, selaku Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DIY. Ia menilai warga Muhammadiyah sangat puritan dalam soal politik. Meskipun demikian, temuan riset tersebut menunjukan sifat cair para pemilih Muhammadiyah. Arif turut memberi masukan agar riset selanjutnya dapat menemukan gap bagi pola pemilih muda dan tua Muhammadiyah. ”Orang Muhammadiyah itu sangat puritan dalam politik. Namun temuan ini sangat menunjukan bahwa para pemilih cenderung cair dan terdapat 38% swing voters. Harapannya, ini menjadi hal yang bagus agar temuan riset selanjutnya dapat menguaraikan pola pemilih muda dan tua Muhammadiyah,” tutup Arif.
Temuan riset ini diharapkan dapat dikembangkan dan menjadi kajian akademik terkini bagi kajian politik Muhammadiyah. (Dimas/sa)