Oleh: Hana Mufidatul Roidah*
Dalam sejarah panjang peradaban Islam, ada sosok perempuan yang namanya terukir bukan karena kekuasaan, bukan karena keturunan, melainkan karena kemurnian jiwanya dalam mencintai Allah.
Dia adalah Rabi‘ah al-Adawiyyah. Seorang sufi perempuan yang lahir dari kalangan miskin namun mencapai derajat spiritual yang tinggi. Di tengah masyarakat patriarkis abad ke-8, Rabi‘ah menghadirkan wajah Islam yang lembut, penuh cinta, dan menembus batas duniawi. Kisah hidupnya menjadi inspirasi bagi banyak perempuan Muslim.
Dari Gelap Kehidupan Menuju Cahaya Cinta Ilahi
Rabi‘ah al-Adawiyyah lahir di Basrah, Irak, sekitar tahun 714 M (95 H). Ia hidup dalam keluarga yang miskin, namun penuh keimanan. Nama “Rabi‘ah” yang berarti keempat menandakan urutannya dalam keluarga.
Sejak kecil, Rabi‘ah sudah menunjukkan tanda-tanda kecerdasan spiritual. Namun, kehidupannya berubah drastis ketika orang tuanya wafat dalam keadaan miskin. Dalam kondisi sulit itu, ia terpisah dari saudara-saudaranya, lalu diculik dan dijual sebagai budak.
Meski hidup dalam penindasan, Rabi‘ah tak pernah kehilangan harapan. Suatu malam, tuannya melihatnya berdoa dengan penuh khusyuk: “Ya Allah, Engkau tahu bahwa keinginanku hanyalah untuk memperoleh keridaan-Mu. Jika aku memiliki kebebasan, maka aku akan mengabdikan seluruh hidupku hanya untuk-Mu.”
Mendengar doa tersebut, sang majikan tersentuh dan memerdekakannya. Dari situlah awal perjalanan spiritual Rabi‘ah dimulai.
Setelah merdeka, ia hidup zuhud dan mengabdikan diri sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah. Ia sering berpuasa, beribadah di malam hari, dan menolak segala bentuk kemewahan dunia.
Salah satu doa terkenalnya menjadi simbol kemurnian cintanya kepada Allah: “Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, maka bakarlah aku di dalamnya. Jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga, jauhkanlah aku darinya. Namun jika aku menyembah-Mu karena cinta kepada-Mu semata, maka jangan palingkan aku dari keindahan-Mu.”
Konsep cinta ilahi (mahabbah ilahiyyah) yang diperkenalkan Rabi‘ah kemudian menjadi fondasi penting dalam tasawuf. Ia mengajarkan bahwa hubungan antara manusia dan Tuhan seharusnya dilandasi cinta, bukan rasa takut atau harapan imbalan.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menjadikan tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah [2]: 165)
Cinta inilah yang menuntun Rabi‘ah keluar dari kegelapan hidup menuju cahaya spiritualitas yang abadi.
Spiritualitas dan Kesetaraan dalam Perspektif Perempuan
Pada masa hidup Rabi‘ah, dunia spiritual Islam didominasi oleh laki-laki. Namun, ia berhasil menembus batas itu dan menjadi guru bagi banyak tokoh sufi, termasuk Hasan al-Bashri, seorang ulama besar Basrah. Banyak riwayat yang menceritakan bagaimana Hasan sering meminta nasihat kepada Rabi‘ah, bahkan mengakui ketajaman spiritualnya melebihi banyak laki-laki pada zamannya.
Dalam salah satu dialognya yang terkenal, Hasan bertanya, “Bagaimana engkau mencapai kedekatan sedemikian rupa dengan Allah, wahai Rabi‘ah?”
Rabi’ah menjawab, “Aku meninggalkan dunia dan segala yang ada di dalamnya. Aku tidak mencintai Allah karena takut neraka atau mengharap surga, tetapi karena aku melihat-Nya layak untuk dicintai.”
Jawaban ini menjadi simbol spiritualitas yang berlandaskan tauhid murni tanpa pamrih, tanpa ketakutan, tanpa harapan duniawi. Ia memandang Allah sebagai satu-satunya tujuan, bukan sekadar pelindung atau pemberi balasan.
Dalam konteks kesetaraan gender, Rabi‘ah adalah bukti bahwa perempuan memiliki potensi spiritual yang sama tingginya dengan laki-laki. Ia tidak menolak kodratnya sebagai perempuan, tetapi menggunakannya sebagai kekuatan untuk menumbuhkan kepekaan, kasih sayang, dan empati.
Spiritualitas Rabi‘ah ini sejalan dengan semangat ‘Aisyiyah, yang sejak awal berdirinya memperjuangkan kesetaraan perempuan dalam pendidikan, dakwah, dan peran sosial semua berakar dari cinta kepada Allah dan sesama manusia.
Gerakan ‘Aisyiyah mengajarkan bahwa pengabdian sosial adalah wujud dari ibadah. Rabi‘ah mengajarkan hal yang sama dalam bentuk spiritual: bahwa cinta kepada Allah harus melahirkan kebaikan, bukan keterasingan dari dunia. Inilah spiritualitas aktif yang menjadi ciri khas Islam berkemajuan.
Warisan Cinta dan Refleksi bagi Perempuan Muslim Masa Kini
Rabi‘ah hidup dalam kesederhanaan hingga akhir hayatnya. Ia menolak lamaran banyak laki-laki saleh, termasuk para ulama, dengan alasan bahwa cintanya hanya untuk Allah.
Dalam salah satu kisah, seorang ulama bertanya mengapa ia tidak menikah. Ia menjawab, “Aku telah menikah dengan cintaku kepada Allah. Aku tidak ingin menukar cinta itu dengan siapa pun di dunia ini.”
Bagi Rabi‘ah, cinta kepada Allah adalah puncak kebebasan. Ia tidak mengasingkan diri dari kehidupan, tetapi menjadikan setiap nafas sebagai bentuk dzikir.
Baca Juga: Fatimah Al-fihri, Di Balik Lahirnya Universitas Pertama di Dunia
Rabi‘ah bukan hanya simbol kerohanian, tetapi juga lambang keberanian seorang perempuan dalam menentukan arah hidupnya sendiri, sebuah sikap yang relevan hingga kini.
Perempuan Muslim masa kini dapat belajar dari ketulusan dan keteguhan Rabi‘ah. Dalam dunia modern yang sering kali menuntut kesempurnaan lahir, Rabi‘ah mengingatkan bahwa nilai tertinggi terletak pada kemurnian hati. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)
Semangat Rabi‘ah juga hidup dalam perjuangan perempuan ‘Aisyiyah yang berkhidmat di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan umat. Ketulusan pengabdian mereka merupakan refleksi cinta kepada Allah yang diwujudkan dalam tindakan nyata. Cinta yang tidak berhenti di sajadah, tetapi mengalir menjadi amal yang menebar manfaat bagi sesama.
Ajaran yang Tetap Hidup
Rabi‘ah al-Adawiyyah mengajarkan bahwa spiritualitas bukanlah pelarian, melainkan kekuatan. Cinta kepada Allah memberi energi bagi setiap gerakan sosial, memperkuat daya juang, dan menumbuhkan keikhlasan.
Seperti Rabi‘ah, perempuan Muslim hari ini juga dipanggil untuk menjadikan cintanya kepada Allah sebagai sumber inspirasi dalam memperjuangkan keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan.
Lebih dari seribu tahun telah berlalu sejak wafatnya Rabi‘ah al-Adawiyyah, namun ajarannya tetap hidup. Ia mengajarkan kepada dunia bahwa cinta sejati bukanlah kata-kata, melainkan tindakan dan pengabdian.
Dalam diri Rabi‘ah, spiritualitas bertemu dengan keberanian, cinta berpadu dengan kebijaksanaan, dan ketulusan menjadi fondasi setiap amal.
Bagi perempuan Muslim di era modern, sosok Rabi‘ah adalah inspirasi untuk terus menautkan cinta kepada Allah dengan kerja kemanusiaan. Sebab seperti yang ia ajarkan, cinta kepada Sang Pencipta sejati akan selalu memancar dalam cinta kepada sesama.
*Mahasiswa Ilmu Komunikasi UNISA Yogyakarta dan Jurnalis Magang Suara ‘Aisyiyah


1 Comment